Pelita Kecil Seorang Martir

Picture by IphinCow.com

Pekan Biasa XXV

Peringatan Wajib St. Andreas Kim Taegon dan Paulus Chong Hasang, dkk (Martir Korea)

Bacaan I : Ezra 1:1-6

Bacaan Injil : Lukas 8:16-18

Penaclaret.com – Dulu, ketika peradaban manusia masih jauh dengan listrik, satu-satunya penerang yang dapat digunakan adalah pelita. Semua tahu bahwa pelita menjadi begitu bermanfaat ketika hari mulai gelap. Ketika seseorang hendak bepergian di tengah malam, pastilah yang dibawanya adalah pelita dengan tujuan agar ia tidak tersesat. Ketika pun berdoa cahaya pelita mampu membawa seseorang ke dalam situasi ketenangan dan kedamaian hati.

Pengil Lukas hari ini menampilkan kepada kita sebuah perumpamaan yang menarik tentang bagaimana seharusnya kita memperlakukan sebuah pelita. Tidak ada yang menyalakan pelita lalu menutupinya dengan tempayan atau menempatkannya di bawah tempat tidur, tetapi menempatkannya di atas kaki dian, supaya semua orang yang masuk ke dalam rumah dapat melihat cahayanya (bdk. Luk. 8:16). Sebuah pelita dikatakan berfungsi ketika ia memancarkan sinarnya. Nah! Sekarang, cobalah untuk menempatkan dirimu seperti sebuah pelita dan bertanyalah kepada dirimu sendiri, sudahkah saya memancarkan sinar?

Baca juga:

Tidak Pernah Merasa Cukup

Sahabat Penaclaret yang dikasihi Tuhan, dengan pelita, apa yang ada di sekitar kita akan menjadi tampak dan terlihat dengan jelas ketika kita berada dalam situasi kegelapan. Menjadi pelita adalah panggilan Tuhan bagi setiap orang percaya karena Tuhan telah memanggil kita keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib (bdk. 1Ptr. 2:9).  Oleh karena itu, Tuhan menghendaki agar kita pun mampu menjadi terang yang mampu menuntun sesama dalam situasi kegelapan dunia yang semakin hari semakin membawa seseorang jauh dari sumber terang yang sejati. 

Baca juga:

Membendung Keinginan

Hari ini, Gereja Katolik memperingati peringatan wajib St. Andreas Kim Taegon dan paulus Chong Hasang, dkk. Mereka adalah saksi mata kekejaman pengauasa terhadap kelompok-kelompok Kristen di Korea. Mereka mati sebagai martir Gereja yang perkasa. Dari pengalaman kemartiran mereka, kita bisa belajar bahwa menjadi pelita bukanlah sesuatu hal yang mudah. Artinya, kita harus selalu siap menjadi alas cambukan kekejaman orang-orang yang membenci dan tidak menyukai keberadaan kita. Satu hal yang harus selalu diingat adalah menjadi martir tidak harus selalu dengan mengorbankan darah. Tetapi, dengan berkorban dari hal-hal yang kecil dalam kehidupan kita sehari-hari adalah wujud nyata sebuah pelita yang mampu menerangi dunia dan sesama. semoga Tuhan memberkati Kita.

Baca juga:

Politisasi Tembok dan Defisit Relasionalitas