Mukjizat Terjadi Ketika Kita Berkorban

Picture by Wawasan Dunia Kristen

Oleh: Ignas Asis, CMF*

Hari Minggu Biasa XVII

Bacaan Injil: Yohanes 6:1-15

Sahabat Pena Claret yang terkasih.

Iman kita akan Allah merupakan sebuah tanggapan personal terhadap kasih Allah yang menyapa, memanggil, dan mengundang kita untuk hidup dalam kelimpahan kasih-Nya. Meskipun demikian, kita tidak menghidupi iman kita secara sendiri-sendiri. Kita menanggapi secara personal tawaran kasih Allah, tetapi pada akhirnya kita dipanggil untuk hidup dalam kebersamaan dengan orang lain. Dalam kebersamaan, kita tidak hanya menjadi kerumanan yang tanpa nama atau hanya sekadar ikut-ikutan ataupun tanpa usaha.

Bermodalkan kasih yang dianugerahkan Allah pada kita, kita dipanggil untuk keluar dari diri sendiri dan berjuang membangun persekutuan hidup agar semakin diwarnai oleh kasih. Karena kasihlah, Allah telah mengutus Putera-Nya yang tunggal untuk menjadi manusia, berkarya demi manusia, dan pada akhirnya harus mengalami penderitaan sampai wafat di kayu salib (Flp 2:8). Ketika kita mengatakan bahwa kita mencintai seseorang, konsekuensinya adalah siap untuk berkorban demi kebaikan orang lain.

Baca juga :  Jangan Gegabah, Nikmati Saja!

Dalam bacaan Injil hari ini dikisahkan mengenai orang banyak yang berbondong-bondong mengikuti Yesus karena mereka melihat berbagai mukjizat yang telah diperbuat Yesus, yakni menyembuhkan orang sakit (Yoh. 6:2). Kita bisa membayangkan bahwa mereka sudah berhari-hari mengikuti Yesus. Jika memang demikian, kemungkinan persediaan bekal mereka sudah menipis. Situasi ini menggerakan hati Yesus untuk mengenyangkan mereka. Persoalannya adalah bagaimana cara untuk memberi makan orang sebanyak itu?

Lima roti dan dua ikan dari si anak kecil jelas tidak cukup. Namun kerelaan anak kecil ini telah menggerakan hati banyak orang yang mengikuti Yesus tadi. Kenyataan bahwa semua memiliki persediaan yang terbatas, namun dengan saling memberi dan berkorban, semuanya pada akhirnya saling melengkapi. Inilah yang disebut mukjizat. Kita dapat mengalami mukjizat saat kita mau mengorbankan apa yang paling berharga yang kita miliki. Kita akhirnya bisa membayangkan andaikata dalam kebersamaan kita saat ini, semua orang memiliki semangat pengorbanan diri, kita yakin bahwa banyak hal menakjubkan yang dapat kita capai dan alami.

Baca juga :  Telinga dan Matamu adalah Sarana Tuhan

Kisah anak kecil yang merelakan miliknya yang berharga saat itu akhirnya menginspirasi kita untuk melihat dan mengevaluasi cita rasa kebersamaan kita selama masa pandemi ini. Covid-19 telah membuat kita hidup dalam satu perasaan yang sama, yakni perasaan akan adanya bahaya yang mengancam kehidupan kita setiap saat. Kita dapat mengandaikan bahwa saat ini kita seperti kerumunan massa -orang banyak yang berbondong-bondong mengikuti Yesus- yang merindu untuk dikenyangkan. Kita semua merindu wabah ini boleh segera berakhir agar rutinitas harian kita bisa berjalan normal kembali.

Baca juga :  Jangan Menjadi Batu Sandungan

Satu hal yang dapat kita renungkan bersama adalah berakhir atau tidaknya pandemi ini bergantung pada kita semua. Banyak orang ramai-ramai menghujat pemerintah karena wabah covid-19 ini, dan seolah-olah mengakhiri wabah ini hanya tanggung jawab pemerintah saja. Kita semua bertanggung jawab untuk mengakhiri wabah ini. Dengan berkorban dan menyerahkan milik kita yang paling berharga -kebebasan dan kenyamanan-, menaati setiap protokol kesehatan, kita yakin bahwa mukjizat yang kita rindukan -berakhirnya wabah Covid-19- akan terwujud. Kita akan mencecap kerinduan ini dan kita tetap memohon kerelaan Allah untuk memberkati setiap usaha kita dalam memutus rantai penyebaran virus Covid-19 ini.

*Penulis adalah Misionaris Claretian, anggota Komunitas Wisma Skolastikat Claretian Yogyakarta.