Menuduh: Membebaskan loh! | Renungan Harian

Picture by Blogspot.com

Penaclaret.com

Senin, 20 Juni 2022, Pekan Biasa XII

Bacaan I         : 2 Raj. 17:5-8,13-15a,18

Bacaan Injil   : Mat. 7:1-5

Ketika pandemi berkecamuk di seluruh seantero dunia, Para saintis yang juga identik dengan “barat” bertanya-tanya, “di mana Tuhan?” – dalam artian negatif dan sinis untuk meruntuhkan bangunan teodise yang selama ini diusung filsafat dan teologi. Berbeda dengan barat, di “timur” yang cukup kental dengan mistisisme, orang justru menyikapi pandemi covid-19 dengan keyakinan, “kita telah berdosa!” Singkat kisah, baik orang barat, maupun orang timur percaya bahwa pandemi adalah bentuk nyata murka Tuhan atas kedosaan manusia. Tuhanlah dalang.

Penulis sendiri tidak berani untuk menjustifikasi siapa benar dan siapa salah. Lagi pula kedua gagasan tersebut merupakan tema yang selalu evergreen, tidak pernah basi pada setiap zaman. Lihat saja justifikasi atas pembuangan ke Asyur dalam bacaan pertama hari ini (2 Raj. 17:5-8,13-15a,18). Orang Israel yakin bahwa hukuman adalah murka Tuhan. Barangkali konsep the One – “Yang Satu” yang selalu dialamatkan pada Tuhan menjadi biang keladi. Semua hal, entah baik, entah buruk  selalu dipercayai berasal dari Tuhan. Konsekuensinya, Tuhan “didemo” setiap hari oleh orang-orang yang malang.

Seorang Profesor (penulis sengaja tidak mencantumkan namanya) pernah menulis sebuah opini yang dimuat di Pos Kupang 2020 silam – sesaat setelah makhluk renik bernomenklatur covid-19 mulai mengguyur Indonesia. Sang profesor mengiyakan bahwa semua orang, lebih-lebih orang Kristiani hendaknya menerima pandemi covid-19 dengan lapang dada, karena Yesus sendiri (Tuhan orang Kristen) telah mengalami pandemi, meski dalam wujud yang berbeda, yaitu salib. Kurang dari seminggu, Pos Kupang sudah men-take down artikel tersebut kemudian disusul dengan permohonan maaf juga klarifikasi dari sang profesor. Tentu saja karena tulisannya menuai banyak keberatan, seolah hendak membenarkan penderitaan manusia. kira-kira keberatabya demikian, jika memang pernyataan sang profesor benar, mengapa diskusi persoalan serupa tidak pernah usai. Manusia masih terus mencari.

Baca juga :  Kehadiranmu Mengancamku

Albert Camus dalam novelnya La Peste (1974) pernah mengetengahkan persoalan serupa dalam diskursus etika. Camus memiliki keberatan, bagaimana membenarkan murka Allah terhadap kedosaan manusia di depan para korban keganasan wabah sampar yang adalah anak-anak yang belum mengenal dosa. Sesadis itukah Tuhan! Dalam kontes Israel dalam bacaan hari ini, bukankah yang membual kepada YHW adalah para pemimpin umat. Pasti ada kawanan kecil yang masih setia pada YHW. Tetapi toh mereka harus tunduk di bawah dominasi kesalahan mayoritas. Ikut terseret lantaran dianggap tidak ada. Situasinya pelik, bukan?

Penyair Inggris, James Henry Leigh Hunt (1784-1859), menulis puisi  tentang seorang sufi: Abou Ben Adhem. Suatu malam Abou Ben Adhem terbangun dari suatu mimpi indah. Ia melihat bulan purnama di kamarnya, yang kemilau seperti lili yang mekar, dan seorang malaikat menulis di dalam kitab emas. Kedamaian jiwa membuat Abou berani bertanya kepada sosok yang ada di kamarnya, ”Apa yang sedang Anda tulis?” Sosok yang terang itu mengangkat kepalanya dan dengan wajah manis ia menjawab, ”Nama-nama orang yang mencintai Tuhan.” ”Adakah namaku di situ?” tanya Abou. ”Tidak ada,” jawab sang malaikat. Abou berkata dengan ceria, tetapi dengan suara lebih rendah, ”Kalau begitu, mohon supaya namaku ditulis sebagai orang yang mencintai sesama manusia.” Malaikat menulis dan lalu menghilang.

Baca juga :  Popularitas | Renungan Harian

Pada malam berikutnya, malaikat itu datang kembali dengan cahaya yang menyilaukan dan memperlihatkan nama-nama yang diberkati cinta Tuhan. Amboi, nama Abou tertera di atas semua nama. Abou Ben Adhem lebih dikenal dengan nama Ibrahim bin Adham. Pada 1923 di Mississippi, AS, didirikan auditorium untuk menghormati Abou Ben Adhem. Itu menunjukkan bahwa Abou dihormati di dunia Barat. Sama dengan Jalaluddin Rumi yang lebih terkenal. Abou Ben Adhem menyampaikan pesan bahwa kita tidak bisa mencintai Tuhan tanpa mencintai manusia (Kompas, 01/082014).

Searah dengan kisah fiktif James Henry Leigh Hunt  di atas, Camus mengingatkan bahwa manusia harus sungguh-sungguh mencintai realitas kehidupan (Camus,1958). Jangan cepat-cepat mencari pembenaran dengan ide-ide yang abstrak. Karena itu hanya bentuk pelarian dari realitas yang sebenarnya. Pelarian itu mungkin mendatangkan rasa nyaman, tetapi kenyamanan yang semu atau penyakit (Camus, 1956). Menuduh Tuhan sebagai dalang dari semua hal, termasuk kejahatan adalah bahaya baru, karena orang lalu bersembunyi di bawah tuduhannya sendiri. Dengan menuduh Tuhan, ia menjadi bebas masalah. Namun, apakah itu kebebasan yang hakiki?

Baca juga :  Sesama Sebagai Tuhan yang Hadir

Sahabat Pena Claret yang terkasih, pesan kecil bagi kita adalah tidak pernah mengenal titik akhir untuk melihat diri. Sebelum melihat secara vertikal, yakni “aku dan Tuhan”; pandanglah relasi horizontal antara “aku dan aku yang lain”. Jangan tergesa-gesa mengkambinghitamkan Tuhan, apalagi sesama di hadapan realitas yang kurang bersahabat. Lihatlah tindakan kita. Siapa tahu, sebuah musibah lahir karena keteledoran tangan atau  untaian kata-kata yang mengalir lewat bibir kita. Lagi pula manusia dibekali kehendak bebas. Dan di dalam doktrin agama-agama besar, pun keyakinan personal kita Tuhan tidak pernah menyesali itu. Bahwa Ia terlanjur menciptakan manusia yang bebas.

Mengakhiri pergulatan batin ini dan belajar dari kisah-kisah yang telah terjadi, penulis mau mengatakan bahwa tulisan ini bukan sebuah jawaban final atas realitas manusia. Lagi pula manusia itu sangat kaya dan kompleks. Pemikiran-pemikiran yang ditawarkan di atas hanyalah satu dari sekian kemungkinan yang ada. Semoga semuanya ini memperkaya pemaknaan hidup kita sebagai manusia yang sedang membumi, bukan terbang. Selamat mengembara!

Vendy Koli, Ruang Inspirasi