Hari Minggu Biasa XIX
Bacaan I: 1 Raj, 9:4-8
Bacaan II: Ef, 4:30-5:2
Bacaan Injil: Yoh, 6:41-51
PenaClaret.com – Hang do do porong gesing tau kerja, “Makan banyak supaya kuat kerja”. Adagium ini saya dengar dari seorang imam muda kala berkisah tentang kampung halamannya di Manggarai. Manggarai memang tanah yang subur (pengalaman saya kala berkunjung ke daerah Kisol). Banyak hasil bumi ditemukan di sana. Khususnya beras. Jadi jika orang Manggarai makan banyak, sebetulnya bentuk dari pembiasaan keluarga petani yang harus makan sebanyak mungkin untuk memiliki tenaga mengolah lahan tani yang ada.
Baca Juga :
Ngomong Doang
Fenomena Erotis: Resonansi Agustinian Dalam Fenomenologi Cinta Marion
Cerita tentang Manggarai ini dapat membantu melihat bacaan-bacaan yang direnungkan pada Minggu, pekan biasa XIX. Tepatnya di bacaan pertama dan Injil. Memang ada banyak kesamaan teologis antara bacaan pertama dan Injil. Jika dalam bacaan pertama Elia mencapai keputusasaannya kala masuk ke padang gurun menuju Horeb, Gunung Allah; dalam bacaan Injil orang Yahudi bersungut-sungut kepada Yesus tentang identitasnya sebagai Roti yang turun dari surga. Kata bersungut-sungut, gogguzo, digunakan dalam Alkitab Yunani tentang orang Israel yang menggerutu di padang gurun akan kondisi kelaparan mereka menuju tanah terjanji (Kel 16: 2,7,8). Yang menarik, keputusasaan Elia disegarkan dengan makan roti dan minum air, sedang gerutu orang Yahudi dijawab dengan pewahyuan Yesus sebagai Roti Hidup, ego eimi ho artos tes zoes, “Akulah Roti Hidup”. Elia harus makan roti dan minum untuk berjalan kaki sekitar 260 mil menuju Horeb. Satu kali makan menopang Elia selama empat puluh hari empat puluh malam— dan orang Yahudi harus makan Roti Hidup, yakni Yesus sendiri, untuk keabadian.
Baca Juga :
Adakah yang lebih indah dari kenyataan bahwa Tuhan mengasihimu setiap hari?
Hendaklah Kamu Kaya Dalam Pelayanan Kasih (2 Kor 8:7b)
Beberapa minggu terakhir ini, saya membaca buku Sleeping with Bread: Holding What Gives You Life. Yang kisahnya juga tentang makan. Buku karya Dennis, Sheila, dan Matthew Linn ini diawalidengan kisah anak-anak yatim piatu setelah serangan bom pada Perang Dunia II. Banyak yang selamat dirawat di kamp-kamp pengungsi, tetapi tidak bisa tidur karena besarnya kerugian dialami. Ketakutan mereka untuk bangun tanpa rumah dan tanpa makanan begitu besar sehingga seseorang menyarankan untuk memberi mereka sepotong roti untuk dibawa ke tempat tidur. Ketika mereka memegang roti, mereka akhirnya bisa tidur. Roti itu mengingatkan mereka bahwa mereka memiliki rasa aman karena mengetahui bahwa mereka akan makan lagi keesokan harinya.
Baca Juga :
Sedemikian makanan yang memberi harapan pada anak-anak yatim piatu korban Perang Dunia II, yang menguatkan orang Manggarai untuk mengolah lahan tani mereka, serta Elia dan orang Yahudi di padang gurun, semoga kita yang menerima tubuh Kristus dalam perayaan Ekaristi Minggu biasa XIX ini diberi kekuatan untuk berjalan di padang gurun menuju Horeb yang abadi. Tuhan memberkati.
Misionaris Claretian di Medan