Opini  

Korupsi Melekat pada Kekuasaan

By Oktavianus Ngago, Mahasiswa STIPAS St. Sirilus Ruteng

Korupsi Melekat pada Kekuasaan
Picture by blogspot.com

ClaretPath.com – Dalam sebuah tulisannya, seorang peneliti senior mengutip sebuah adagium yang paling bersejarah dari seorang ahli sejarah bernama Lord Acton, “Power tends to corrupt; and absolute power corrupts absolutely” (Lukas Benevides, 2023). Secuil kalimat pendek yang mau menggambarkan sifat manusia dan dampak yang muncul ketika seseorang memiliki kekuasaan yang besar dan penuh. Kekuasan yang cenderung menggiring manusia untuk melakukan tindakan korupsi dan melanggar etika.

Dalam banyak konteks sejarah dan politik, ungkapan “Power tends to corrupt; and absolute power corrupts absolutely” mau mengingatkan tentang pentingnya pembatasan kekuasaan dan perlunya mekanisme pengawasan yang efektif untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Namun, adagium di atas tidak memiliki kebermaknaan nilai bagi para pejabat elit politik di Indonesia. Hal itu terlihat dari jumlah kasus korupsi yang ditangani  sepanjang Tahun 2022 yang mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) dua tahun terakhir, dari Tahun 20221 ada sebanyak 533 kasus dan 1.173 tersangka meningkat menjadi 579 kasus korupsi yang telah ditindak dan 1.396 orang yang dijadikan tersangka korupsi di dalam negeri sepanjang Tahun 2022 (Dimas Bayu, 2023).

Berdasarkan data ICW, tindakan pemberantasan korupsi terlihat begitu jelas bahwa, betul banyak koruptor yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara. “KPK juga tak kurang-kurang canggihnya dalam mendeteksi gerakan koruptor. Namun, tindakan tersebut ternyata tidak menjamin supaya tidak terjadi lagi”. Justru, banyak kaum elit berseliweran keluar masuk penjara tanpa ada rasa malu. Menjadikan korupsi sebagai momok yang terpuji dalam mengais rejeki untuk menafkahi istri anak. KPK sebagai lembaga pencegahan dan pemberantasan korupsi juga sekaligus sebagai alat reboisasi korupsi itu sendiri (Budiman Tanurejo, 2022).

Bagi kaum elit, penjara dijadikan sarana mencari kehormatan pribadi sebab penjara bukan jeruji besi yang menakutkan bagi kaum lemah, tetapi rumah mewah yang tersembunyi di balik “hukum keluarga” atau sistem pemerintah yang lemah. Seperti Gayus Tambunan, seorang pegawai Ditjen Pajak golongan III A, yang tertangkap basah karena terlibat dalam sejumlah kasus mafia pajak. Gayus dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Namun, selama di balik jeruji Gayus bak orang bebas yang berleha-leha ke mana saja, baik itu dalam negeri pun di luar negeri (Lukas Benevides, 2023).

Baca juga :  Pemimpin a la HMPS IPM

Dan sekarang media sedang panas-panasnya memaparkan kasus korupsi BTS 4G yang dilakukan oleh Jhonny Plate sebesar 8 tryliun dari anggaran 10 tryliun. Proyek strategis nasional yang diperuntungkan untuk rakyat kecil berada di pinggiran, terluar atau tidak ada akses jaringan sama sekali. Dalam kasus korupsi BTS 4G, ada isu yang melaporkan dana tersebut mengalir ke tiga parpol besar. Sejauh ini, penyidik akan berusaha menelaah fakta berdasarkan alat bukti yang cukup bukan berdasarkan isu media sosial atau politik. Dan menurut Mahfud MD, isu ini hanyalah isu politik belaka. “Tapi saya anggap itu gosip politik. Kita bekerja dengan hukum saja. …ini hukum murni biarkan hukum yang bekerja,” katanya (Rizki Sandi Saputra, 2023)  

Namun, mengenai hal ini belum ada penegak hukum yang mampu mengungkapkannya. Lantas, apa alasan sampai hari ini penegak hukum tidak mampu mengungkapkannya? Apakah, karena sistem pemerintahan yang lemah? Ataukah mungkin korupsi embedded di dalam kekuasaan bersama dengan sistem pemerintah yang gemuk sehingga “KPK, kejaksaan, setiap kasus korupsi yang ditangani belum ada temuan yang mengarah bahwa kader partai yang korupsi oleh partai-partai besar atau partai penguasa secara umum” (Ibriza Fasti Ifhami, 2023).

Hukum adalah alat kerja yang dibuat oleh pemerintah atau para pemimpin yang punya kuasa untuk memaksa mereka yang lemah, dan lewatnya si kuat mendapatkan segala keinginannya(Gorgias 483b-d dalam Setyo Wibowo, 2016). Hukum adalah alat kebijaksanaan yang gampang kita temukan di mana-mana. Orang akan menaati dan melakukan hukum, jika hukum menguntungkan bagi dirinya. Dan sebaliknya si pembuat hukum akan melanggarnya jika hukum tersebut tidak lagi menguntungkan bagi dirinya. Dengan cara inilah orang kuat mendapatkan kekuasaan, kekayaan, reputasi, harta milik, dan segala keuntungan yang ia inginkan. Mereka membangun hirarki kehormatan dan kekuasaan di atas tangis bahkan darah Lyan. Menguras segala hasil keringat Lyan.

Dari fakta yang riil, sebagai masyarakat yang daif mampu memberikan asumsi terkait sistem yang ada di negeri tercinta ini. Sistem yang mencerminkan realitas dari kerasnya wajah para kaum elit yang terus-menerus mengeksploitasi kaum lemah. Dan hadirnya KPK bukan sebagai kekuatan bagi kaum lemah tetapi justru sebaliknya. KPK hadir sebagai komisi untuk melakukan reboisasi pada korupsi itu sendiri, dengan cara penanaman ulang pada tempat yang sama dengan benih-benih koruptor yang lebih elegan. Bibit-bibit baru yang lebih kreatif dan inovatif dalam memanipulasi data dan fakta agar masyarakat mudah terbius oleh anestesi “sok suci” para kaum elite sehingga masyarakat tidak mampu membedakan dan memahami jenis dan perilaku korupsi.

Baca juga :  Interkulturasi dan Harmoni: Cara Bersikap di Hadapan Keragaman Budaya

Di sinilah persisnya bahwa hukum itu tidak memiliki nilai intrinsik di dalam dirinya sendiri, melainkan sebuah ujud dari mereka yang secara de facto memang memiliki kuasa dan kekuata (Setyo Wibowo, 2016). Pada akhirnya keadilan yang karena hukum hanya akan berpihak dan milik mereka yang kuat daripada mereka yang lemah. Namun mengenai hal ini, Kallikles berpandangan lain bahwa, hukum diperlukan sebagai perlindungan diri. Dalam artian, hukum bukanlah tameng bagi mereka yang kuat jutsru bagi mereka yang lemah. Sekelompok orang-orang lemah dengan jumlah yang banyak bersekutu memaksa hukum guna melawan mereka yang kuat. Lalu pertanyaannya, siapa yang memiliki kekuatan akan tetap ditindas oleh hukum?

Di dalam sistem demokrasi yang paling kuat dan yang memiliki kekuasaan penuh sebenarnya adalah rakyat. Karena kekuasaan berasal dari rakyat. Dengan kata lain, rakyat selaku mayoritas mempunyai suara menentukan dalam proses perumusan kebijakan pemerintahan melalui saluran-saluran yang tersedia, seperti partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan pendapat umum. Namun hal ini tidak sejalan dengan realitas. Realitas lari dari ekspetasi dan teori. Rakyat takut untuk bersuara dan pasif menerima segala yang berbaur dan berlumuran korupsi. Cikal bakal korupsi sebenarnya berasal dari rakyat. Rakyat sebagai pemilik kekuasaan menjadikannya sebagai lahan yang bagus untuk ditanam korupsi. Dan sejak kecil rakyat sudah dilatih untuk berkorupsi. Berkorupsi mulai dari hal-hal kecil.

Oleh karena itu, perlunya kesadaran masyarakat untuk mengambil sikap tegas dalam menangani budaya korupsi di Indonesia dengan; meningkatkan kesadaran dan dampak negatif korupsi. Masyarakat perlu memahami bentuk-bentuk perilaku korupsi agar tidak termakan oleh anestesi “sok suci” kaum elit. Mengetahui dampak, bahwa korupsi bukan hanya merugikan negara dan perekonomian, tetapi juga mempengaruhi kualitas hidup mereka secara pribadi dan sosial.

Baca juga :  Aku Shopping Maka Aku Ada

Mendorong transparansi dan akuntabilitas. Masyarakat harus memperjuangkan transparansi dan akuntabilitas dalam tindakan pemerintah, termasuk penggunaan anggaran dan sumber daya publik, dan khususnya menguak dana yang mengalir ke tiga parpol besar. Supaya masyarakat bisa tahu sejauh mana usaha “hukum murni” menangani masalah tersebut dan bukan hanya sekadar gosip politik semata.

Prinsip transparansi dan akuntabilitas harus disistemkan atau diinstitusionalisasikan di negara ini. Niat baik, etika politik, atau integritas pribadi harus bisa dikontrol dan dibatasi. Para elit atau pelaku-pelaku koruptor yang keluar masuk penjara bisa selalu mawas diri tanpa terpantau setiap saat (Lukas benevides, 2023)

Mendukung kampanye anti-korupsi. Masyarakat dapat mendukung kampanye anti-korupsi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah untuk memerangi praktik korupsi di Indonesia. Karena lembaga-lembaga swadaya tidak akan berdaya tanpa “suara gonggongan” rakyat.

Mempertegas hukum jerat bagi pelaku korupsi. Di Indonesia, korupsi adalah masalah kronis yang sudah dianggap sebagai extraordinary crime (Harman, 2012). Apabila masalah ini dibiarkan dengan hukum dan sistem yang lemah, maka korupsi di Indonesia pada akhir tahun, lustrum dasarwasa, abad, bahkan millenium sekalipun tidak akan diketemukan ujungnya. Karena, korupsi terinstalasi dalam hukum dan kekuasaan.

Referensi