Kemenyan Misionaris Spanyol

picture by todosuna. org

Oleh: Aten Dhey, CMF*

Suasana pastoran sungguh berbeda. Beberapa anggota dewan paroki datang dengan wajah sedih. Mereka sangat terpukul mendengar berita yang beredar di media massa. Seorang misionaris perintis yang pernah berkarya di paroki ini, direnggut covid-19 di tanah Spanyol.

“Pater Miguel Celma Puig, CMF,” demikian mereka memanggilnya.

Banyak orang memberi ucapan selamat jalan di media massa. Dewan paroki berkisah tentang misionaris berewokan itu di pendopo pastoran. Mereka sangat akrab dengannya. Doa bersama mengiringi kepergian Pater Miguel.

“Teman-teman OMK. Latihan koor ditunda ke malam sabtu. Kematian Pater Miguel, duka bagi semua umat. Kita akan menghormati pelayanan dan pengorbanan beliau dengan doa bersama selama satu minggu. Semoga kita semua punya kesempatan untuk terlibat aktif di paroki,” jelas ketua OMK.

Aku kembali ke rumah pukul 22.00. Wajah Pater Miguel selalu muncul dalam ingatanku. Aku mendaraskan doa Salam Maria dan menyanyikan lagu Alabare. Lagu ini sangat familiar bagi semua umat di paroki.

“Selamat malam. Bapa, ini Kabosu,” ucapku sembari mengetuk pintu.

“Bapa tolong buka pintunya. Kabosu baru pulang dari paroki,” ujar Mama.

Bapa tidak mengindahkan permintaan Mama.

“Mama, Bapa masih nonton berita menarik seputar korona. Jumlah pasien dan angka kematian akibat korona semakin meningkat di negara kita.”

Mama memarahi Bapa yang tak mau beranjak dari tempat duduk. Bapa tetap fokus pada berita di televisi. Aku terbiasa dengan situasi keluarga seperti ini. Setiap hari Bapa dan Mama mengeluarkan suara yang sangat keras. Mereka selalu menyoal hal-hal yang sederhana. Namun, aku bangga pada mereka karena tidak pernah melakukan tindak kekerasan satu sama lain. Mereka sangat dewasa dalam menjalani bahtera rumah tangga.

“Kabosu, masuklah. Bagaimana kegiatannya?” tanya Mama sembari menutup pintu.

“Kegiatannya sudah selesai. Latihan koor ditunda ke hari sabtu. Bapa dan Mama ada berita duka dari paroki,” ungkapku sembari berlangkah menuju ruang tamu.

“Bapa!”

“Iya anak. Ada apa?” jawabnya sambil terus menonton televisi.

“Bapa, tolong jangan terlalu fokus dengan berita di televisi. Ada berita duka yang akan Kabosu katakan” ungkap Mama kesal.

“Oh iya. Maaf Mama. Berita apa Kabosu?”

“Bapa dan Mama, ini berita duka” ungkapku pelan.

“Berita duka apa Kabosu?” tanya Mama penasaran.

“Apakah Bapa dan Mama mengenal Pater Miguel Celma?”

Bapa kaget saat aku menyebut nama misionaris itu. Remotetelevisi di tangannya jatuh ke lantai.

“Kenapa Kabosu? Pater Miguel kenapa?” tanya Bapa.

“Aduh kasihan sekali orang kudus itu. Semoga dia sehat-sehat, ya,” harap Mama.

“Pater Miguel. Pater Miguel menghadap Tuhan pada sore tadi,” kataku dengan berat hati.

“Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria bantu kami. Mama sedih sekali. Dia orang kudus bagi kita. Tuhan lebih mencintai dia daripada kita. Pater sudah bahagia bersama para kudus,” doa Mama.

Lolongan anjing terdengar di luar rumah. Bulu badanku berdiri saat semua anjing di kampung bersahut-sahutan. Mereka meratapi kabar duka misionaris Spanyol penyayang binatang ini. Hampir sepuluh menit mereka melolong di tengah malam. Gemuruh angin juga mengempas daun-daun. Kain gorden pun ikut bergerak. Bunyi tokek memekik telinga.

Kami diam dalam sepi dan larut dalam sedih. Wajah bapa terlihat sangat pucat. Dia tidak percaya akan kabar duka itu. Ada kenangan yang menumpuk di benak bapa bersama Pater Miguel. Bapa menarik napas panjang.

“Kabosu, tolong bangunkan Miguel,” pinta Bapa.

“Miguel! Miguel! Bangun. Mari kita ke ruang tamu.”

“Ada apa? Besok saja. Aku mengantuk sekali.”

“Lima menit saja. Kita doa bersama malam ini.”

“Doa?”

“Iya betul. Kita doa bersama bapa dan mama.”

Di ruang tamu mama telah menyiapkan patung Keluarga Kudus. Dua lilin dinyalakan. Empat kursi diletakkan sejajar menghadap meja doa. Mama memberi kami rosario kudus. Miguel masih terbawa rasa kantuk.

“Doakan keluarga kami Pater Miguel Celma Puig, CMF,” tulis Bapa di sebuah kerta putih.

Kertas itu disimpan di depan patung Keluarga Nazaret. Mama menyentuh pundak Miguel yang tertidur di kursi. Wajahnya tersenyum.

“Mari kita berdoa bersama mengantar kepergian Pater Miguel,” bisik Mama.

“Pater Miguel?” tanya Miguel serentak.

“Iya. Pater Miguel. Tuhan lebih mencintai dia, sayang.”

“Mama, Kabosu dan Miguel mari kita menyerahkan keselamatan jiwa dari misionaris tercinta, Pater Miguel Puig, ke hadapan Tuhan. Kita berdoa rosario kudus dengan merenungkan peristiwa sedih. Kita awali doa rosario dengan menyanyikan lagu Alabare,” ungkap Bapa sembari bernyanyi.

Lagu Alabare selalu dinyanyikan oleh Pater Miguel saat mengunjungi stasi, lingkungan, sekolah ataupun keluarga. Lagu sukacita itu tetap membekas di hati semua umat. Aku melihat bapa dan mama menyanyikan lagu itu penuh semangat. Mereka fasih mengucapkan kata demi kata walau dalam bahasa Spanyol. Airmata menumpuk di pelupuk mata mama. Suara nyanyian berubah menjadi isak tangis.

Ketika merenungkan peristiwa sedih kelima ‘Yesus wafat di salib’, tercium aroma kemenyan di seluruh ruangan. Wangi kemenyan terasa seperti saat mengikuti perayaan malam Paskah. Bulu badanku berdiri. Nyala lilin bergerak meski tanpa tiupan angin. Kertas di atas meja jatuh ke lantai. Bapa terus mendaraskan Salam Maria. Mama memejamkan mata dan terus berdoa.

Aku memindahkan kursi di samping bapa. Miguel juga merasakan hal yang sama. Dia mendekati mama. Tiupan angin dan wangi kemenyan menjadi puncak dari semua rasa takutku. Aku mulai bertanya dari manakah wangi kemenyan dan angin yang meniup lilin dan kertas itu.

“Pater Miguel doakanlah keluarga kami, Amin. Dalam Nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, Amin,” Bapa menutup doa rosario.

“Apakah Bapa dan Mama membakar kemenyan?” tanyaku tanpa menunggu lama.

“Tidak. Kita tidak tahu dari mana wangi kemenyan ini,” jawab Mama.

“Mungkin dari rumah tetangga,” Bapa meyakinkan.

“Tidak mungkin. Sekarang jam 23.15. Untuk apa mereka membakar kemenyan saat tengah malam seperti ini,” ujarku.

“Lalu dari mana?” tanya Miguel.

Kami saling memandang satu sama lain. Tidak ada yang tahu persis dari mana wangi kemenyan itu berasal. Yang pasti aromanya tetap tercium. Aku mengembalikan patung Keluarga Kudus ke kamar Bapa dan Mama. Saat membuka pintu kamar wangi kemenyan memenuhi semua ruangan. Aromanya menusuk hidung.

Jantungku berdetak kencang. Keringat membasahi tubuhku. Aku merasakan kepalaku membesar. Mulutku tak mampu mengeluarkan suara. Aku ingin berteriak namun suaraku menghilang. Langkah kakiku berat. Suara hatiku berteriak dan ingin melepaskan ketakutan yang menguasaiku. Aku membuka pintu kamar dan berlangkah secepat mungkin menuju ruang tamu.

“Ada sesuatu di kamar Bapa dan Mama,” ucapku sembari duduk di kursi.

“Ada apa Kabosu?” tanya Bapa penasaran.

“Aku tidak tahu.”

“Mengapa kamu berkeringat seperti itu?” tanya Mama.

“Kemenyan! Wangi kemenyan itu berasal dari lemari Bapa dan Mama.”

Tanpa berpikir lama Bapa beranjak menuju kamar. Dia membuka lemari dan wangi kemenyan menyelubungi seluruh tubuhnya. Pakaian-pakaian tersusun rapi. Empat baju kemeja disimpan di rak paling atas. Dari sanalah sumber wangian kemenyan itu berasal.

Bapa tersenyum dan berkata dalam hati, “Terima kasih Pater Miguel sudah datang berkunjung ke rumah kami malam ini.”

Bapa membawa empat kemeja itu ke ruang tamu. Dia tidak pernah mengenakannya. Motifnya unik. Warnanya menarik. Ukurannya sangat besar.

“Empat baju kemeja ini milik Pater Miguel. Bapa menerima hadiah ini ketika dia berpindah ke Paraguay pada tahun 2005. Dia berpesan agar Bapa menjadi guru agama yang mampu membawa Tuhan kepada umat. Bapa pernah dikritik dan dikatakan bodoh olehnya saat bertanya di mana tulang-tulang Yesus setelah kematian-Nya. Pater Miguel seorang pengajar Kitab Suci yang sangat pintar. Pada hari minggu ketika umat belum datang ke kapela, Bapa selalu bertanya tentang metode tafsir Kitab Suci. Hal ini demi mengulur-ulur waktu agar semua umat bisa hadir dan mengikuti perayaan ekaristi,” kenang Bapa.

“Miguel, nama kamu diberikan oleh Pater saat pembaptisan. Dia berjanji akan berdoa kepada Tuhan untukmu. Satu pesan Pater jadilah anak yang taat kepada orangtua,” ujar Mama sembari memeluk Miguel.

“Pater Miguel selalu memberi kami permen saat berkotbah di gereja atau kapela. Dia mengajak anak-anak untuk duduk di dekat meja altar. Dia sangat mencintai anak-anak. Pater juga mengajarkan lagu-lagu Spanyol kepada kami,” kisahku dengan sedih.

Bapa mengangkat baju kemeja pertama. Tampak sebuah kertas putih yang mulai luntur terselip di antara baju kemeja. Pater Miguel meninggalkan pesan di kertas itu.

“Untukmu, Bapa dan Mama Kabosu serta Miguel. Terima kasih atas semua kebaikan yang kalian berikan kepadaku. Doaku menyertai kalian semua. Jika kita tidak bertemu lagi di dunia ini, yakinlah kita akan bertemu di surga kelak.”

“Terima kasih Pater. Doakan kami semua,” ungkap Bapa sembari menahan tangis.*

Penulis adalah Misionaris Claretian yang sedang bermisi di Amerika Latin (Peru) dan Pencinta kata yang terlepas dari rantingnya*