Fenomena Erotis: Resonansi Agustinian Dalam Fenomenologi Cinta Marion

Photo by KapanLagi.com

Eoin Cassidy dalam “Le phénomène érotique: Augustinian Resonances in Marions Phenomenology of Love” (2005)[1] dengan apik menarasikan pemikiran teologis Marion. Dalam uraian tersebut, Cassidy berusaha mencari titik konvergensi dari pemikiran Marion dan Agustinus mengenai cinta. Fenomenologi cinta Marion dikaji sebagai tanggapan atas tantangan kaum nihilisme yang selalu mempertanyakan mengenai apa gunanya? Atau untuk tujuan apa? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan fondasional yang lahir dari kegalauan eksistensial manusia mengenai identitas dirinya. Apa gunanya saya hidup? Dan apa tujuan saya hidup?

Hasrat untuk Memahami

Bagi Marion, orang hanya akan dapat memahami identitas dirinya bila ia berkeinginan atau berhasrat untuk memahaminya (disire to know). Hal ini senada dengan apa yang pernah disampaikan Agustinus: Percayalah agar Anda dapat mengerti! atau Cintailah agar Anda dapat memahami! Ketika berbicara soal cinta, Marion berpendapat bahwa orang perlu memperhatikan apa itu hakikat filsafat. Filsafat in se (pada dirinya sendiri) berarti cinta akan kebijaksanaan. Ketika orang ingin memahami dirinya, maka ia perlu berangkat dari cinta. Cinta selalu berkorelasi dengan yang lain (being-oneself-in-another).[2] Di dalam dan dari yang lain (the other) itulah kita menemukan dan memahami eksistensi kita sebagai pribadi atau subjek. Subjektivitas kita lahir dari inter-subjektivitas, bahwa ‘saya’ berasal dari ‘kita’.

Kembali pada pandangan Marion. Ia mengatakan bahwa pemahaman identitas diri akan terwujud bila orang memiliki keinginan (desire,  hasrat) untuk memahami. Dalam hal ini, Marion sependapat dengan Agustinus yang memiliki keyakinan bahwa hanya dengan memelihara karunia keinginan kita dapat membina hubungan yang benar dengan diri kita sendiri, dengan Tuhan, dan dengan sesama manusia. Orang yang tak mampu memelihara karunia keinginan (the gift of desire) akan kehilangan karunia itu. Orang yang demikian ini, biasanya ada dua tipe, yakni mereka yang putus asa (terpaku pada kesia-siaan keinginan) dan mereka yang hidupnya dibentuk oleh kesombongan. Efek paling merusak dari kesombongan menurut Agustinus adalah bahwa hal itu mencegah orang bahkan untuk memulai perjalanan kepada Kristus karena itu membunuh keinginan untuk melakukan perjalanan ke arah sana. Untuk itu, Agustinus menekankan pentingnya karunia “hati yang gelisah” sebab itu akan membuka jalan keinginan yang menuntun orang kepada pemahaman diri dan kepada Tuhan.[3] Hatiku gelisah sebelum beristirahat di dalam Engkau, ya Tuhan (St. Agustinus dari Hippo).

Baca juga :  Cinta Diri di Tengah Pandemi Sebagai Bentuk Egoisme Etis

Cinta Menurut Marion dan Agustinus

Baik Marion maupun Agustinus sama-sama melihat arti penting cinta dalam kerangka pemahaman diri. Keduanya sangat sadar bahwa kodrat manusia dibentuk oleh cinta dan hanya dengan memperhatikan suara cinta, seseorang dapat mengenali di mana pemenuhannya dapat ditemukan. Bagi Marion, orang dapat sungguh-sungguh memaknai dirinya bila ia tidak hanya menjawab pertanyaan apakah ada yang mencintaiku, tapi juga dapatkah saya memulai cinta.[4]  Bisakah saya menjadi pengasih? Mencintai dan dicintai merupakan dua hal yang amat penting dalam pandangan Marion dan Agustinus.

Bagi Marion, orang dapat mencintai dirinya sendiri karena ia menerima kepastian dari orang lain. Orang menemukan dirinya menyenangkan melalui pemberian atau panggilan orang lain. Lebih lanjut, Marion mengatakan bahwa ia menerima kepastian dirinya sebagai pengasih dalam tindakan bercinta, sebab di sana ia menerima kepastian dari cinta itu sendiri, yang pada akhirnya diterima sebagai anugerah dari orang lain yang menerima cintanya. Dengan kata lain, anugerah cinta erotis mengungkapkan diri saya kepada diri saya sendiri bahwa saya bukan hanya sebagai orang yang dicintai tetapi, sama pentingnya, sebagai seorang yang mencintai.

Senada dengan itu, Agustinus menyatakan bahwa satu-satunya cara memahami kegelisahan hati yang membentuk sifat manusia adalah dengan melihatnya dalam konteks keinginan untuk mencintai dan untuk dicintai.[5] Orang dapat mencintai hanya karena ia lebih dulu dicintai. Begitu pula kita dapat menginginkan Tuhan hanya karena Dia lebih dulu menginginkan kita. Inisiatif selalu berasal dari Tuhan. Orang akan mampu mencintai Tuhan kalau ia telah merasa dicintai oleh Tuhan.

Marion juga menekankan bahwa tindakan mencintai hanya dapat dipahami sejauh itu mencakup janji bahwa momen ini adalah untuk sepanjang waktu, mengarah pada keabadian. Karena mengarah pada keabadian, maka cinta itu juga menuntut adanya kesetiaan. Marion mencatat bahwa batas-batas cinta erotis tidak ditetapkan oleh apapun selain kesetiaan pada perjanjian. Ia juga mengatakan bahwa bukan kematian yang memberikan batasan terakhir untuk cinta, melainkan kesetiaan, dan kesetiaan apa pun pada perjanjian mengandaikan kekekalan atau keabadian. Bagi Marion, Tuhanlah yang sebagai saksi setia abadi atas perjanjian cinta, menyimpan janji itu dengan membuatnya tahan lama dan terlihat secara definitif.[6] Agustinus juga mengungkapkan hal yang serupa. Agustinus mengatakan bahwa hanya cinta yang ada di dalam Tuhan atau kepada Tuhanlah yang kekal. Cinta hanya dapat terpenuhi dalam cakrawala semacam itu.

Baca juga :  Reba: Pesona Inkulturasi dari Tanah Ngada

Kontribusi Marion bagi Teologi

Salah satu tesis terpenting yang muncul dari fenomenologi Marion tentang cinta erotis adalah bahwa ada kesatuan untuk mencintai dan lebih lanjut lagi, kesatuan ini didirikan di atas pola cinta erotis. Marion membedakan antara cinta erotis dan dorongan erotis. Hanya cinta erotislah yang mengalir dari kebebasan orang.[7] Ia juga menekankan bahwa kita dapat mencintai secara erotis tanpa kontak fisik, misalnya cinta orang tua kepada anaknya, cinta teman kepada teman, dan tentu saja cinta manusia kepada Tuhan. Dengan demikian, pandangan cinta erotis Marion ini juga telah mencakup cinta yang secara klasik disebut sebagai eros, filia, dan agape. Inilah yang ia sebut sebagai kesatuan cinta.

Berdasarkan pandangannya tentang cinta, Marion menekankan pentingnya memandang wahyu inkarnasi Allah dari perspektif fenomenologi cinta erotis. Dalam konteks ini, wahyu Allah memberikan model kepada orang beriman kristen untuk memahami kesatuan cinta yang adil dengan pentingnya keintiman. Marion menciptakan potret yang menggugah tentang Allah yang imanen dan transenden.  Allah yang dekat dengan kita dan menyukai kita karena Dia mengasihi seperti kita, dan Allah yang kasih-Nya melampaui kapasitas kita yang terbatas. Allah mendahului kita dan melampaui kita, tetapi di tempat pertama dan yang utama adalah bahwa Dia mencintai kita lebih dari kita mencintai-Nya.

Baca juga :  Kekerasan Seksual: Mengganti Budaya Diam dengan Sensibilitas

Manusia dapat menemukan dirinya berharga karena telah merasa dicintai oleh Tuhan. Bukti nyata kasih Tuhan bagi manusia adalah wahyu inkarnasi Allah dalam diri Yesus Kristus. Karena cinta-Nya yang amat besar kepada manusia, Allah telah mengosongkan diri, mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Hal ini secara lebih lanjut, oleh Agustinus dalam teorinya tentang keselamatan sebagai deificatio. Secara sederhana deificatio diartikan sebagai pengilahian manusia oleh Allah.[8] Allah menjadi manusia (dalam diri Yesus Kristus) supaya manusia (berdosa) diilahikan sehingga dapat memperoleh keselamatan. Maka, inisiatif cinta itu selalu berasal dari Allah. Allahlah yang pertama-tama mengasihi kita, baru kemudian cinta Allah itu menggerakkan kita untuk mengasihi-Nya, tinggal dalam kasih-Nya, dan meneladani kasih-Nya yang setia, universal, dan kekal.


[1] Eoin Cassidy, “Le phénomène érotique: Augustinian Resonances in Marions Phenomenology of Love” dalam Givenness and God: Questions of Jean-Luc Marion (New York: Fordham University Press, 2005). 201-206.

[2]  Paul Ricoeur, Oneself as Another (Chicago: Chicago University of Press, 1992), 18.

[3]  Catherine M. LaCugna, God For Us (San Fransisco: Harper/Collins, 1991), 118.

[4]  Jean-Luc Marion, The Erotic Phenomenon (Chicago: Univeristy of Chicago Press, 2008), 12.

[5] Herbert Deane, The Political and Social Ideas of St. Augustine (New York: Columbia University Press, 1963), 3.

[6]  Jean-Luc Marion, The Erotic Phenomenon, 18.

[7]  Eoin Cassidy, Givenness and God: Questions of Jean-Luc Marion, 207.

[8] Matthew Levering, The Theology of Agustine: An Introductory Guide to His Most Important Works (Michigan: Baker Academic, 2013), xi-xii.

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat Keilahian Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Sekarang sedang menyelesaikan tulisan akhir. Pengagum Axel Honneth.

Penulis: Frido Afrido, CMF*