Selasa Pekan Adven III
Pesta St. Yohanes dari Salib
Bacaan I : Zef 3:1-2.9-13
Bacaan Injil: Mat 21:28-32
Penaclaret.com – Mungkinkah kosa-kata manusia sungguh merepresentasikan tindakannya atau bisa sebaliknya bisakah tindakan manusia merepresentasikan kosa-katanya? Pertanyaan ini timbul di benak penulis ketika menyadari bahwa kehidupan manusia dikelindani oleh berbagai kosa-kata menarik dari berbagai sisi kehidupannya, yakni filosofis, teologis, antropologis, dan sosiologis. Kosa-kata ini tentu lahir ketika manusia mengambil jarak dari kesehariannya, merenungkannya, dan mengatakannya secara kritis dan reflektif. Tujuannya hanya satu, yakni memberi paradigma agar manusia dapat menjalankan kehidupannya dengan baik (etis), benar (epistemologis), dan elok (estetis).
Namun, penulis sendiri mengalami bahwa tidak selamanya perilaku itu selaras dengan berbagai kosa-kata yang dikemukakan di atas. Inilah sebuah kenyataan eksistensial yang menyingkapkan bahwa ada enigma terkait kelerasan antara manusia dan kosa-katanya. Sebagaimana sebuah enigma. Jawaban atasnya tidak tunggal. Atau setiap jawaban hanya bersifat perspektival dan tidak pernah total menguraikan enigma tersebut. Dalam pertentangan seperti ini, nampaknya narasi Yesus hari ini bisa menjadi salah satu paradigma atau perspektif kita merenungkan enigma relasi antara manusia dan kosa-katanya.
Yesus mengingatkan jemaatnya untuk tidak mengutamakan kosa-kata (Matius 21:31). Yang terpenting adalah tindakan. Orang-orang yang dicap pendosa, misalnya para perempuan sundal dan pemungut cukai dibenarkan Allah hanya karena mereka mendengar nubuat Yohanes pembabtis dan menjadikannya sebagai kerangka etis, epistemologis, dan estetis dalam bertindak (Matius 21:31). Yohanes tentu memainkan peran penting di sini sebagai penggagas kosa-kata. Kosa-katanya memantik imajinasi, membentuk pola pikir, dan mengarahkan perilaku. Kosa-kata Yohanes tidak pernah muluk-muluk. Karena berangkat dari pencermatan yang kritis dan reflektif terhadap fenomena kehidupan orang-orang Israel (bdk. Lukas 3:7-17). Kosa-katanya lahir sebagai suatu konfrontasi terhadap kehidupan yang dicirikan dengan dekandensi iman dan moral (bdk. Matius 3:7-10). Artinya kosa-kata yang lahir dari pergumulan kehidupan riil memiliki power untuk mentransformasi pola pikir dan perlaku.
Refleksi ini diawali dengan mengemukakan sebuah pertanyaan yang menyoroti relasi antara manusia dan kosa-katanya. Penulis sendiri mengalami bahwa relasi ini bersifat enigmatis bila ditanya lebih lanjut mengapakah perilaku manusia tidak sepenuhnya selaras dengan kosa-katanya? Dengan Yohanes pembabtis, penulis mengajak kita untuk mencermati kehidupan riil saat ini. Kosa-kata yang ditelurkan dari pergumulan riil memilki daya ubah yang luar biasa bagi kehidupan personal dan komunal. Menyongsong masa depan ditempuh dengan merenungi kehidupan saat ini.
Dengan spirit ini, penulis mengajak pembaca sekalian untuk menatap momentum kelahiran Putera Tunggal Allah. Momentum ini sebenarnya menjadi tanda solidaritas Allah karena manusia tidak selamanya hidup selaras dengan kosa-kata Allah. Allah mengambil inisiatif untuk memperbaiki relasi yang rusak dengan menunjukan bagaimana manusia harus hidup. Inkarnasi Allah ini menjadi fondasi kita berharap bahwasannya dalam kenyataan adanya jarak antara manusia dan kosa-katanya dan kosa-kata Allah, kita tetap membangun optimisme terhadap kemanusiaan kita. Karena kemanusiaan inilah yang dikenakan Allah untuk merestorasi semua tatanan kosmos yang rusak akibat salah dan dosa manusia. Semoga kita tetap teguh berharap.
ClaretPath.Com adalah ruang pengembangan bakat menulis dan media kerasulan, terinspirasi dari Santo Antonius Maria Claret, Pelindung Pers Katolik.