Cinta Diri di Tengah Pandemi Sebagai Bentuk Egoisme Etis

Sumber Gambar Qureta.com

Penaclaret.com – Pandemi Covid-19 yang masih belum mereda dan masih menjadi sebuah tantangan dalam kehidupan bersama. Gaya hidup sosialitas menuju individualitas menjadi sebuah gaya hidup yang mau tak mau dipraktekkan saat ini. Jika dahulu kesendirian menjadi momok yang menakutkan maka sekarang kesendirian seolah menjadi solusi utama agar bisa selamat. Perubahan ini menjadi antisipasi nyata agar keberlangsungan hidup tetap terjaga. Semua pihak mengambil bagian dalam menanggapi realitas ini; pemerintah memberlakukan aturan-aturan guna memutus rantai penyebaran pandemi, masyarakat pun harus menaati aturan-aturan dalam situasi darurat ini. Social distancing, physical distancing, work from home, menjadi trending  solusi yang mau tak mau harus ditaati. Berhadapan dengan situasi ini akankah mobilitas ekonomi serta situasi sosial tetap stabil?

Takut dan Tidak Takut Bukan Solusi

Saat ini terjangkitnya Virus Covid-19, bukan lagi hal yang menakutkan. Tetapi yang lebih menakutkan adalah situasi kematian karena kelaparan. Berhadapan dengan situasi ini, Covid-19 bukan hanya menjadi sebuah penyakit, tetapi juga menjadi sebuah tragedi yang mengombangambingkan semua sisi kehidupan manusia. Bahkan saat ini kematian bukan lagi soal utama. Toh terjangkit atau tidak terjangkit kita semua akan tetap mati. Di rumah saja tanpa beraktifitas manusia akan mati kelaparan.

Baca Juga:

Suara Hati Tumpul Karena Terbiasa Abai

Bekerja dengan resiko akan terjangkit virus pun manusia akan mati juga. Lantas apa yang penting di sini? Yang penting saat ini adalah bagaimana kita bisa mati dengan baik. Setidaknya kita sudah menerima situasi dan mempersiapkan diri, bahwa kita juga akan mati. Oleh karena itu, dalam situasi seperti ini individualitas menjadi hal yang cukup penting. Individualitas bukan berarti kita tidak memperdulikan orang lain, tetapi sebaliknya karena dengan mempedulikan diri sendiri di saat yang sama juga kita sedang memperdulikan orang lain.

Teori Egoisme Etis

Baca juga :  Kasih Memberi Asi

Eyn Rand seorang novelis dan filsuf perempuan berkebangsaan Amerika  Serikat, dalam bukunya yang berjudul “The Virtue of Selfishness” (1961), mengatakan bahwa: “pemenuhan kebahagian sendiri merupakan tujuan moral tertinggi”. Memang dalam situasi seperti sekarang ini, kebahagian bukanlah yang utama, tetapi keselamatan dirilah yang diprioritaskan. Dari pandangannya ini, ia juga merumuskan sebuah pemikiran yang cukup relevan untuk digunakan pada konteks kehidupan saat ini, yakni “Egoisme etis (ethical egoism)”. Ia tidak mengatakan bahwa bahwa dalam hidup ini kita harus bersikap egois. Tetapi kita perlu bersikap egois, agar diri kita sendiri dan orang lain akan menjadi lebih baik.

Ayn Rand menyatakan bahwa kita juga harus menghindari tindakan untuk menolong orang lain. Egoisme etis adalah pandangan yang radikal, bahwa satu-satunya tugas kita adalah membelah kepentingan dirinya sendiri. Menurut ia hanya satu prinsip perilaku yang utama, yakni prinsip kepentingan diri dan prinsip ini merangkum semua tugas dan kewajiban alami seseorang. Namun egoisme etis tidak mengatakan bahwa anda harus menghindari tindakan untuk menolong orang lain. Bisah jadi dalam banyak kesempatan kepentingan anda bertautan dengan kepentingan orang lain, sehingga dalam menolong diri sendiri mau tak mau anda juga menolong orang lain.

Baca Juga:

Monik, I Love You

Ada tiga argumen pendukung egoisme etis mampu membuat kiita paham mengapa kita perluh bersikap egois. Yang pertama adalah bahwa kita masing-masing mengenal keinginan dan kebutuhan kita. Sementara mengenai keinginan dan kebutuhan orang lain kita hanya tahu secara tidak sempurna dan tidak pada tempatnya kita memenuhinya. Oleh karena itu bisa dipahami bahwa kalau kita mulai peduli pada orang lain, sering kita menjadi ceroboh dan hasilnya lebih sering berakhir dengan kekacauan. Yang kedua adalah, mempedulikan orang lain merupakan gangguan yang ofensif terhadap urusan pribadi orang lain. Pada hakikatnya, hal seperti itu adalah mencampuri urusan orang lain. Yang ketiga adalah, dengan mempedulikan orang lain kita membuat mereka sebagai objek cinta kasih, dan disaat yang sama kita merendahkan orang lain dan merampas martabat pribadi dan kehormatan dirinya. Akibatnya tawaran cinta kasih sepertinya mau mengatakan seolah-olah orang lain itu tidak kompeten dalam mengurus dirinya sendiri.[1] Dengan demikian kebijakan mempedulikan orang lain ini akan berakhir dengan mengalakan diri sendiri. Sebaliknya jika setiap orang memperhatikan dirinya sendiri, tampaknya hal itu akan lebih baik.

Baca juga :  Bahagia Kok Pura-Pura?

Egoisme Praktis dan Teoritis

Egoisme dapat dirumuskan baik dalam arti praktis maupun dalam arti teoritis. Egoisme praktis merupakan perilaku yang diwarnai cinta diri yang sistematik. Sedangkan egoisme teoritis merupakan teori yang mendasarkan moralitas pada kepentingan diri. Egoisme etis yang dimaksud dalam tulisan ini adalah egoisme teoritis. Karena kita melihat sikap egois dalam tataran moral pribadi. Para ahli ekonomi pasar bebas dari Mazhab Austria mengatakan bahwa, kepentingan diri merupakan satu-satunya motif yang dapat menghasilkan secara efektif masyarakat yang sehat dan kaya.[2] Dari sini kita bisa melihat sisi positif dari sikap egois. Kita tidak bisa langsung mengatakan bahwa sikap egois adalah sikap yang tidak baik. Tetapi sebaliknya kita perlu menelaah secara pasti pandangan positif dari setiap tindakan egois. Sikap egois di sini harus dipandang sebagai sebuah penghargaan akan diri sendiri. Penghargaan akan diri sendir membantu kita untuk bisah menghargai orang lain. dalam konteks situasi covid ini, egoisme harus dipandang sebagai sebuah usaha untuk merehabilitas diri. Mengurangi keterlibatan dengan orang lain dan memperhatikan diri sendiri.

Baca Juga:

Kekerasan Seksual: Mengganti Budaya Diam dengan Sensibilitas

Cinta Diri Sebagai Solusi

Memperhatikan diri sendiri berarti kita sedang mencintai diri kita sendiri dan juga kita sedang mencintai orang lain. Seandainya kita turun ke tempat keramaian dengan alasan bosan di rumah atau alasan lainnya, kita akan mengalami dua kemungkinan terjangkitnya virus Covid-19. Yang pertama kita akan terjangkit dari orang lain yang telah diserang virus. Kemungkinan kedua adalah kita bisa membawa virus untuk orang lain. Sebab kita tidak tahu apakah kita benar-benar negatif atau positif terjangkit Covid. Kedua kemungkinan ini tentunya merugikan orang lain dan juga diri kita sendiri. Oleh karena itu alangkah baiknya jika kita melakukan tindakan prefentif sebelum semuanya menjadi bencana bagi orang lain dan juga diri sendiri. Hal ini mampu menyelamatkan diri kita sendiri dan orang lain. Kesendirian dan kesepian sudah menjadi konsekuensi yang harus kita terima dengan kaca mata yang positif. Bertahan sementara dengan menaati protokol kesehatan yang ada tidak akan membunuh kita. Tetapi membantu kita untuk hidup lebih lama dan layak.

Baca juga :  Kekerasan Seksual: Mengganti Budaya Diam dengan Sensibilitas

Simpan rasa peduli kita terhadap orang lain, dan mulailah memperhatikan diri sendiri. Sebab ketika kita dalam kondisi yang baik, ada saatnya kita mampu menolong orang lain. Dalam hal ini rasa peduli terhadap orang lain harus ditempatkan pada konteknya. Sehingga penyebaran virus ini bisah kita berhentikan. Dan harapan dunia untuk kembali ke dalam situasi normal bisa dinikmati bersama. Sebab cinta  terhadap sesama mendapat makna yang mendalam jika kita sampai pada kesadaran bahwa mencintai diri sendiri merupakan perwujudan cinta kepada orang lain. Maka mari mulai memperhatikan diri sendiri agar kita mampuh memperhatikan orang lain.

Baca juga:

Bahagia Kok Pura-Pura?


[1] James Rachels,Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius,2004), 149.

[2] Jenny Teichman, Etika Sosial, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 8.