Berjumpa Yesus, Mata Buta | Renungan Harian

Picture By Tirto.id

Jumat, 06 Mei 2022, Pekan Paskah III

Bacaan I         : Kis. 9:1-20

Bacaan Injil   : Yoh. 6:52- 59

Penaclaret.com – Saudara-saudari terkasih sebagai manusia normal dan bermoral, kita sepakat bahwa hal-hal jahat tidak akan diterima dalam kehidupan bermasyarakat. Seorang teroris misalnya, ia sering melakukan kejahatan. Otomatis ia dibenci, dan dikucilkan. Masyarakat mendeteksi tindakannya sangat tendensius, berbahaya dan mematikan karena melenyapkan nyawa orang lain.  Lantas setelah sekian lama melakukan kejahatan, ia mau bertobat dan hendak bergabung di dalam kelompok masyarakat yang pernah menjadi sasaran terornya. Serentak kita menjawab itu sebuah kemustahilan kalau masyarakat menerimanya lapang dada dan melupakan semua rekam jejak kejahatannya.   Dalam benak kita malah mencuat kumandang hukuman mati terhadap teroris kejam itu. Kita mau supaya ia mendapat hukuman setimpal atas tindakannya.

Kurang lebih dinamika inilah yang kita akan dalami terhadap Kisah Para Rasul yang menjadi pijak renungan hari ini. Dinarasikan Saulus bertobat. Kisah tersebut sangat terkenal dan kedudukannya sangat penting dalam perkembangan iman Kristiani.  Pertobatan Saulus ini merupakan turning point, sekaligus staring point untuknya memulai dinamika hidup yang baru.  Awalnya ia adalah seorang “teroris” untuk jemaat-jemaat Kristen bahari. Ia adalah pembunuh berdarah yang tak segan mendaratkan pedangnya pada tubuh orang-orang Kristen. Ketaatannya kepada taurat membutakan matanya untuk melihat orang lain sebagai manusia. Ia malah melihat orang lain sebagai penjahat. Ia mengkalim diri paling benar dan orang Kristen salah dan pembelot.

Baca juga :  Menuduh: Membebaskan loh! | Renungan Harian

Saulus berubah ketika berjumpa dengan Yesus dalam perjalanan menuju Damsyik untuk meneror jemaat Kristen. Yang unik dalam kisah itu adalah ketika Yesus menampakan diri dengan rupa berkilauan.  Mata Saulus menjadi buta. Kalau berbicara soal penampakan Yesus yang berkilau, kita boleh bandingkan kisah ketika Petrus, Yohanes, dan Yakobus melihat penampakan Yesus yang berkilauan di atas Gunung. Mata mereka tidak buta. Mereka malah dengan gamblang menyaksikan peristiwa itu lantas mengetahui sosok-sosok yang berbicara dengan Yesus. Lebih dari itu, mereka ingin melakukan sesuatu yang istimewa, yaitu mendirikan tiga kemah, satu untuk Yesus, satu untuk Musa, dan satu unuk Elia. Terhadap Saulus, penampakan Yesus adalah keremat karena membutakan. Di balik itu, Yesus merencanakan sesuatu yang besar kepada Paulus.

Baca juga :  Pilihan Hidup

Kebutaan Saulus ini mungkin kita tidak harus menangkapnya secara liter. Mari kita melihatnya secara analogis! Kebutaan Saulus itu bisa bermakna menutupnya atau membungkamnya segala kejahatan yang pernah dilakukannya. Dalam kebutaan, ia didelegasikan oleh Yesus untuk mengubur jauh kebenciannya terhadap umat Kristen. Ia dipaksa untuk menutup diri terhadap kejahatan.  Dengan kata lain, ia harus bertobat dan memulai hidup baru. Maka dari itu, setelah tiga hari matanya terbuka. Ia memakai mata yang baru untuk melihat realitas dunia, secara khusus melihat kehidupan jemaat Kristen sebagai sesuatu yang berharga. Dengan mata barunya, Saulus juga memulai dirinya sebagi pribadi yang baru.   “Bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal. 2:20).     

Baca juga :  Tidak Ada Yang Abadi | Renungan Harian

Dari perikop ini kita menjaring makna yang cukup jelas. Kita diharapkan menjadi “buta” terhadap kejahatan. Artinya, kita tidak pernah bisa melihat kejahatan itu apalagi untuk melakukannya. Belajar dari analogi teroris di atas, kita tidak mungkin diterima oleh orang lain kalau selalu melakukan kejahatan. Begitu pun dengan Paulus. Ia awalnya tidak diterima oleh orang Kristen bahari karena dicurigai masih memiliki bibit-bibit penjahat dalam dirinya.  Akan tetapi, karena keterbukaan dan ketulusannya untuk bertobat dan mewartakan Kristus, ia pada akhirnya diterima dan menjadi tokoh penting dalam perkembangan Gereja.