Opini  

Antara Marvel dan DC | Refleksi Iman dari Dunia Perfilman

P. Gusty Jeramu,CMF

Antara Marvel dan DC
picture by ClaretPath.com

Pengantar

Antara Marvel dan DC

ClaretPath.com– Tahun 2008 lalu, film “Iron Man” mengguncang dunia perfilman dengan kisah superhero seorang milyarder dan playboy yang menciptakan suit robotik untuk menolong banyak orang. Pengalaman pahit ketika ditangkap oleh kelompok teroris “The Ten Rings” di Timur Tengah, justru menjadi blessing in disguise bagi seorang Tony Stark, sang tokoh utama. Dari situlah kisah Iron Man beranjak. Saat itu jugalah, kita mulai mengenal Marvel Cinematic Universe.

Marvel

 Marvel hampir bangkrut ketika menjelang periode millenium karakter-karakter Marvel satu per satu mulai dijual ke perusahaan-perusahaan film seperti Fox Studio, Sony Picture dan Universal Studio. Karakter populer Marvel semacam X-Men, Fantastic Four dan Deadpool dijual ke Fox Studio, Hulk dijual ke Universal Studio dan Spiderman, mungkin menjadi karakter Marvel yang paling dikenal, dijual ke Sony Picture. Alasan survival perusahaan menjadi alasan utama mengapa Marvel dengan berat hati melepas hak paten akan karakter-karakter di atas ke perusahaan-perusahaan tersebut. Angin perubahan mulai terasa di tubuh Marvel ketika pada tahun 2008 lalu, Marvel berani keluar dari comfort zone, tidak lagi hanya menceritakan kisah karakter mereka di atas buku komik, tapi melangkah lebih jauh, memproduksi sendiri karakter-karakter mereka ke layar lebar. Ide ini muncul dari kepala seorang Kevin Feige, yang kini menjabat sebagai Presiden Marvel Cinematic Universe.

Karya-Karya Marvel

Dari situlah, Marvel mulai rajin memproduksi film-film dari karakter-karakter yang masih menjadi hak paten mereka. Iron Man mengawali semuanya. Kesuksesan Iron Man pada tahun 2008 silam membuat Marvel lebih percaya diri untuk terus memproduksi film-film mereka sendiri. Kita perlahan-lahan digiring masuk ke dalam dunia Marvel melalui kisah Captain America, Thor, Avengers, Dr. Strange, Captain Marvel, dsb. Ternyata, keberanian Marvel berbuah manis. Meskipun terus melangkah tanpa karakter-karakter utama yang paling populer seperti Spiderman dan X-Men, Marvel merebut hati penonton dengan kisah dari superhero-superhero minor mereka. Dengan semakin banyak film yang diproduksi dan diterima, Marvel pun menancapkan kukunya di dunia perfilman hollywood.

Pengaruh yang kuat memaksa produsen film lain mulai melirik Marvel, termasuk pesaing langsung mereka. Kerja sama antara produsen film lain dan Marvel mulai terjalin. Ditandai dengan kisah Spiderman di layar lebar, produksi Marvel dan Sony Picture pada tahun 2017 lalu. Spiderman pun kembali ke pangkuan Marvel. Langkah Marvel tidak berhenti di situ. Lewat akuisisi Disney atas Marvel, karakter-karakter mayor seperti X-Men dan Deadpool kini kembali ke induknya, Marvel. Fox menjual karakter X-Men dan Deadpool ke Marvel sesudah tawaran besar yang datang pada tahun 2020 lalu. Marvel kini tidak terbendung lagi.

Ciri Khas Marvel

 Di antara semua film Marvel yang sudah tampil ke layar lebar maupun series, ada satu ciri khas yang membekas dalam benak penonton, superioritas. Film-film Marvel seolah membawa kekuatan dewa dalam genggaman tangan manusia. Mereka-mereka yang notabene adalah manusia biasa seperti Captain America, Iron Man dan Dr. Strange, adalah orang-orang biasa yang dulunya punya pekerjaan sebagaimana manusia pada umumnya, kemudian, entah melalui kecelakaan maupun eksperimen, berubah menjadi seorang superhero yang superior. Mereka meninggalkan masa lalu sebagai manusia biasa dan menjangkau masa depan sebagai superhero yang dielu-elukan. Mereka tak lagi terjebak pada masa lalu. Pola ini terus terlihat dan konsisten dalam hampir setiap film Marvel.

Baca juga :  Cara Terbaik Mengasihi Tuhan

Keunikan Marvel

Ditambah lagi, dengan akuisisi Disney, kisah superhero dibumbui cukup banyak adegan fun yang diterima oleh berbagai kategori usia penonton. Ungkapan khas Disney “ramah bagi semua orang”, juga mau tak mau berlaku bagi Marvel. Maka, kini lahirlah superhero-superhero Marvel yang superior tapi juga lucu. Model ini laku bagi penonton. Film marvel melejit mengantarkan mereka meraup keuntungan besar. Fase 1, Fase 2, Fase 3 dan Fase 4 film-film Marvel laku keras di pasaran. Tentu, kita masih ingat, bagaimana film Avengers: Infinity War (2018) dan Avengers: Endgame (2019) berhasil menduduki tangga atas, posisi 5 dan 2, sebagai film terlaris sepanjang masa. Bahkan, yang paling memorable, film Avengers: Endgame, mampu mengempaskan film Titanic, 1998, dari posisi dua film terlaris sepanjang masa. Sebuah prestasi yang bikin kita geleng-geleng kepala.

DC

Di sisi lain, ada DC Universe, perusahan film yang memproduksi film-film dari karakter-karakter superhero mereka sendiri. Batman, Superman, Green Lantern, Wonder Woman, The Flash dan Aquaman adalah sederetan superhero milik DC. Siapa yang tidak mengenal Batman dan Superman? Dua karakter ikonik ini sangat dicintai oleh para penggemar dan sudah lama ada dalam perjalanan hidup kita. Setiap anak kecil mungkin bermimpi untuk menjadi seperti mereka. Dengan kekuatan super, menyelamatkan orang-orang lemah yang tidak mampu melawan kejahatan dalam simbol para villain. DC Universe bermula dari perusahaan komik, DC Comic, yang sudah ada sejak  tahun 1934, 88 tahun silam.

Asal usul Nama DC

Nama “DC Comics” diambil dari nama “Detective Comics”, sebab karakter pertama DC adalah Batman, 1939, yang memang sejak awal identitasnya adalah detektif superhero. Pelan-pelan, DC Comics tumbuh sebagai perusahaan raksasa komik, tidak hanya di Amerika, tapi juga dunia. Mereka mencoba inovasi-inovasi baru dengan menciptakan karakter-karakter baru yang variatif, seperti Superman dan karakter-karakter lain sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Karakter-karakter DC disambut baik oleh masyarakat. Bahkan, komunitas-komunitas pencinta komik DC mulai menjamur di banyak tempat. Mereka mengadakan pertemuan dalam waktu-waktu tertentu. Semua tentu untuk menunjukkan rasa cinta dan apresiasinya terhadap karya-karya DC yang sudah terlanjur melekat dalam diri, sudah tidak dapat dipisahkan lagi.

Baca juga :  Penulis Kitab Suci dan Heidegger aja Mengutip. Apa lagi Kita?

Pada tahun 2017 silam, DC mengumumkan kepada dunia bahwa mereka kini memiliki perusahaan film tersendiri yang memproduksi karakter-karakter superhero mereka. Nama resminya adalah “DC Universe””. Sudah barang pasti, kesuksesan Marvel, tetangga sebelah, nyatanya memaksa DC juga untuk sedikit keluar dari kebiasaan mereka selama ini. Mereka tak lagi menampilkan kisah-kisah superhero di atas kertas komik, tapi juga berani mendorong diri lebih jauh, membuat perusahaan film sendiri yang berbasis pada karakter-karakter superhero mereka. Namun, harus diingat, bahwa film-film DC memang sudah pernah diangkat ke layar lebar, tapi bukan atas nama perusahaan DC sendiri tapi dalam kerja sama antara DC dan perusahaan film lain. DC, nyatanya, cukup percaya diri dengan bakal suksesnya film-film superhero mereka.

Utopia DC

Karakter-karakter DC, yang sudah memiliki penggemar fanatik dan komunitas basis, membuat DC amat yakin bahwa mereka akan mampu mengalahkan Marvel, sang tetangga sebelah. Ternyata, DC keliru. Over-confidence DC Universe berujung pada kegagalan film mereka di pasaran. Penggemar fanatik dan komunitas basis tidak berbanding lurus dengan kesuksesan mereka di pasaran. Masyarakat sudah terlanjur jatuh hati dengan cara Marvel menyusun kisah-kisah dalam film mereka, sambung-menyambung antara satu film dan film lainnya, hingga berpuncak pada ujung fase 3, dengan kisah Avengers: Endgame sebagai penutup yang epik dan fenomenal. Jangan lupa, unsur komedi yang ditambahkan dalam setiap film marvel bersama superioritas para superhero mereka menjadi faktor pendukung yang mengantarkan Marvel mendulang kesuksesan besar di pasaran. DC pun kalah telak!

Ciri Khas DC

Apa yang membuat DC kalah telak? Saya punya teori tersendiri. Berbeda dari Marvel, DC justru menampilkan kisah superhero yang gelap, yang punya masa lalu kelam dan itu menghantui mereka kapanpun. Jika Marvel adalah superioritas, DC adalah kebalikannya, inferioritas. Marvel adalah komedi, DC adalah serius dan suram. Jika Marvel menurunkan kekuatan dewa ke genggaman tangan manusia, maka DC mengangkat manusia untuk memiliki kekuatan dewa. Kerapuhan manusia, yang somehow, memiliki kekuatan dewa. Dua gambaran ini tentu saling bertolak belakang. Gambaran Marvel yang lebih fun dan colourful sudah tertancap kuat dalam benak masyarakat.

Orang-orang sudah terbiasa dengan superhero mereka yang lucu dan bagaimanapun juga akan menang pada akhirnya. Sedangkan DC, dengan superhero mereka yang dihantui masa lalu, seperti Batman dan tidak selalu menang meski punya kekuatan over power seperti Superman, menjadi sulit diterima oleh selera penonton. DC harus angkat topi untuk keberhasilan Marvel. Meniru cara Marvel dalam membangun kisah dengan unsur komedi dan colourful serta superior, berarti tidak setia lagi pada origin story dari kisah karakter-karakter DC sendiri yang bernuansa kehilangan, kerapuhan, kekalahan dan pengorbanan meski lemah. DC pun kehilangan arah.

Baca juga :  Kesadaran Relasionalitas dalam Simbol Puah-Manus: Optimalisasi Inklusivitas Persaudaraan Mahasiswa Milenial |Opini

DC Meluncurkan The Batman

Namun, harapan mulai muncul. Awal tahun 2022 ini, DC meluncurkan filmnya yang berjudul “The Batman”, diperankan oleh aktor muda berpengalaman, Robert Pattinson. DC punya harapan agar kisah ini mampu melipur lara sesudah kegagalan mereka dengan Justice League, 2017 lalu, dengan segala carut-marut dan drama di dalamnya yang sudah diketahui publik luas. Rupanya, kisah “The Batman”, dapat diterima dengan baik.

Marvel Membosankan, DC Bangkit

Dengan menampilkan kisah “The Batman” yang lebih condong kepada detektif daripada superheronya melulu, justru menjadi tontonan yang baru dan mengasyikkan bagi khalayak, karena kita diajak untuk menelusuri jejak-jejak dan petunjuk yang ditinggalkan oleh enigma, sang jenius yang sekaligus villain utama, kepada Batman, sang detektif. Dari sini, ada satu fenomena baru yang muncul di tahun 2022 ini. Dalam kaca mata saya, mungkin saja orang-orang mulai bosan dengan gaya bercerita Marvel yang itu-itu saja, terutama fase 4 Marvel entah series atau layar lebar yang banyak dikeluhkan membosankan, dan berpaling pada gaya bercerita DC yang lebih manusiawi, masuk akal dan tentu saja membuat kita untuk tidak lari dari kenyataan. Gaya bercerita DC, lewat “The Batman”, yang lebih dewasa dapat diterima oleh kita. Mungkin saja pertanda bahwa dunia kini lebih dewasa.

Penutup: Antara Marvel dan DC: Sebuah Relevansi

Persaingan dua perusahaan raksasa film di atas, seharusnya tidak dilewatkan oleh kita begitu saja. Ini membawa suatu relevansi bagi kita. Berhadapan dengan berbagai perkembangan dunia yang bisa saja menguntungkan atau sebaliknya, melelahkan, kita dihadapkan pada dua pilihan dasar manusia, mau menerimanya atau lari daripadanya. Kisah Marvel dan DC di atas mengajarkan kita tentang nilai kehidupan. Apakah kita mau menerima dunia saat ini dengan segala plus-minusnya atau justru lari daripadanya, mengungsi ke suatu dunia khayalan yang kita ciptakan sendiri, berbuat seolah-olah tak ada sesuatupun yang terjadi di sekitar kita. Demikian halnya dengan kita umat Katolik, siapapun umat Katolik. Berhadapan dengan dunia saat ini, kita sebagai umat Katolik, mau berbuat apa. Kita berani menjawab tantangan, menerima dunia dengan segala plus-minusnya, atau lari daripadanya, menciptakan dunia sendiri yang fun dan colourful tetapi jauh dari kenyataan. Pilihan ada di tangan kita. ***