Absurditas dan Pengkhotbah

Absurditas dan Pengkhotbah

ClaretPath.com – Absurditas dan Pengkhotbah

  • Bacaan pertama: Pengkhotbah 2:2-11
  • Bacaan Injil: Matius 9:7-9

Ada satu kisah Klasik dalam literatur bangsa Yunani Kuno yang sangat menarik yang barangkali dapat mengantar kita pada pesan bacaan hari ini. Konon ada seorang putra dewa yang bernama Sisifus. Sisifus kemudian mencuri api dari Orimpus (tempat tinggal para dewa) dan membawanya ke bumi. Pada waktu itu di bumi belum ada api. Tindakan Sisifus ini kemudian diketahui oleh Para dewa. Zeus, pemimpin para dewa kemudian menghukum Sisifus untuk mendorong sebuah batu berukuran besar dari lembah menuju puncak sebuah bukit. Dengan susah payah Sisifus melakukannya. Akan tetapi ketika hampir tiba di puncak bukit, batu itu bergulir lagi ke bawah. Penuh kesabaran, Sisifus pun mengulangi lagi usahanya itu dan pengalaman yang sama terjadi lagi. Demikian pun seterusnya. Singkat kisah, Sisifus akhirnya mengalami hukuman abadi, karena tidak pernah berhasil!

Baca juga :  Mengeluh: Tanda Tidak Sadar, Allah Berjalan Bersama Kita

Mitologi kuno di atas oleh beberapa penafsir kemudian digambarkan sebagai usaha manusia yang kemudian tidak membuahkan sesuatu. Seperti Sisifus, manusia pun berada pada rutinitas yang konstan atau tetap. Seorang Frater bangun pagi, berdoa, pergi kuliah, olahraga, mengerjakan tugas, istirahat, lalu esok pagi harus mengulang kembali ritme yang sama seperti hari kemarin. Begitu pula profesi-profesi yang lainnya. Kenyataan semacam ini niscaya membuat orang bosan. Ironisnya lagi, segala usaha yang dilakukan itu akhirnya harus ditutup dengan sebuah fakta kutukan, yakni kematian. Mengutip termin Albert Camus, hidup ini absurd, tanpa makna.

Baca juga :  Mengasihi: Kunci Kesetiaan

Persis absurdnya kehidupan ini yang diangkat oleh kitab Pengkhotbah pada bacaan pertama hari ini, “Sang Pemikir berkata: Semuanya sia-sia dan tidak berguna! Hidup itu percuma, semuanya tak ada artinya….Segalanya membosankan dan kebosanan itu tidak terkatakan….” (Pengk. 1:2,8). Jika demikian, sebagai orang kristiani apa gunanya hidup? Toh hidup ini absurd.

Adalah St. Ignasius Loyola dengan jargon Ad Majorem Dei Gloriam (Demi Kemuliaan Allah yang lebih besar), yang kemudian dikutip oleh St. Antonius Maria Claret. Loyola (dan Claret) menganjurkan agar setiap orang berusaha agar di dalam setiap tindakan dan pergumulan hidupnya orang dapat menemukan Tuhan dan hendaknya semua tindakannya diperuntukkan semata-mata demi kemuliaan Allah. Kedua tokoh ini menghendaki agar orang-orang Kristiani menyikapi hidup dengan kreativitas agar tidak tenggelam dalam rutinitas belaka. Hidup yang hanya sekadar rutinitas, lambat laun akan berujung pada kejenuhan. Melalui metode Loyola ini, kiranya kehidupan yang  absurd ini dapat di maknai secara positif dan hidup di dunia yang hanya sekali ini dapat berguna.