Warna Hidup Kita

Warna Hidup Kita
Sumber gambar: ClaretPath.Com

ClaretPath.ComWarna Hidup Kita

Hari Kamis Pekan Biasa Ke-II, 19 Januari 2023

Bacaan I: Ibr. 7:25-8:6

Bacaan Injil: Mrk. 3:7-12

Para kolega ClaretPath yang terkasih, Hidup kita ini berwarna bukan sewarna. Beragam bukan seragam. Ada suka, juga ada dukanya. Hidup tidak pernah berhenti pada satu warna saja, seperti warna suka. Tetapi, terkadang hidup juga mendandani kita dengan warna hidup yang suram, sakit maupun duka. Inilah dualitas hidup manusia. Dikotomi tersebut merupakan esensi dari manusia sebagai homo viator mundi, seorang musafir dunia. Bahwasannya, dunia ini hanyalah tumpangan bagi kita. Bukan tujuan kita untuk berada di dalamnya. Melainkan, melaluinya kita sedang terus bergerak menuju Yang Ilahi.

Dalam terang bacaan Injil hari ini, saya mencoba menautkan refleksi singkat dan sederhana ini pada situasi derita. Secara De facto, penderitaan hidup merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manusia. Selama manusia masih bereksistensi di dalam dunia yang fana ini, maka penderitaan merupakan suatu warna hidup yang tak terelakkan. Kita tidak bisa menolak situasi demikian. Satu-satunya langkah bijak bagi kita adalah menerimanya, hidup dan ikut berproses di dalamnya sambil memikirkan bagaimana cara kita memaknai penderitaan, sakit yang sedang kita hadapi.

Baca juga :  Kami Tidak Tahu | Renungan Harian

Penderitaan: Bukan Sebuah Jalan Buntu

Hari ini Pengarang Injil Markus menyuguhkan sebuah kisah yang begitu inspiratif.  Di mana Yesus menyembuhkan banyak orang (Mrk. 3:10) yang datang kepada-Nya. Lebih dari itu, Yesus pun membebaskan mereka dari segala dosa yang membelenggu hidup mereka. Narasi suci tersebut, menjadi bukti kuasa Yesus yang membebaskan. Pembebasan itu bukan saja sebuah pelepasan dari situasi penderitaan, melainkan melampaui itu, yakni lebih kepada sebuah emansipasi dari jeratan dosa. Dosa rupa-rupanya menjadi salah satu warna hidup manusia yang meski pun gelap tetapi selalu ikut mengambil bagian dalam keseharian hidup kita.

Selain itu, peristiwa penyembuhan yang Yesus lakukan itu juga menjadi satu tanda bagi kita. Bahwa penderitaan bukanlah sebuah jalan buntu bagi kita untuk terus bergerak menuju Allah. Sebab, jika kita kembali pada perspektif kaum Yahudi, di mana interpretasi mereka akan makna penderitaan itu selalu berkonotasi negatif. Penderitaan, penyakit atau warna hidup kita yang gelap itu selalu mengandung arti sebagai sebuah akibat dari kutukan Allah, yakni dosa. Mereka yang telah berdosa adalah mereka yang tidak mempunyai tempat lagi di hati Allah. Jalan pulang pun telah tertutup dengan sendirinya. Sehingga, Yesus juga sebenarnya ingin membebaskan mereka (orang banyak; orang-orang kecil) dari asumsi orang-orang Yahudi yang demikian. Meski begitu, Yesus tetap membuka ruang dialog dan belas kasih bagi semua orang yang selalu mencari-Nya.

Baca juga :  Sang Idola Sejati | Renungan Harian

Harapan: Kesaksian Kreatif

Allah tidak pernah menutup pintu kerahiman-Nya bagi kita. Dalam situasi apa pun, Allah tetap menyertai, menunggu kita pulang ke pangkuan dan rangkulan kasih-Nya. Allah tetap mengintervensi setiap perjuangan kita sebagai makhluk peziarah. Karenanya, Dia tetap hadir di kala kita berada dalam situasi suka maupun duka. Singkat kata, keran kasih Allah tidak pernah tertutup bagi kita. Ia (rahmat Allah) selalu mengalir setiap saat tanpa berhenti.

Baca juga :  Masih Perlukah Kita Cemas

Karena itu, hendaknya kita tetap berpegang teguh pada satu harapan bahwa, Allah tidak akan pernah meninggalkan kita. Gabriel Marcel (1889-1973), seorang filsuf eksistensialis, menyebut harapan itu sebagai kesaksian kreatif tentang “Engkau Absolut”, yakni Allah, yang memegang dan meliputi saya, meski saya menghadapi pelbagai warna-warni kehidupan yang penuh dengan penderitaan, dan kejahatan sekali pun. Sebab Allah tidak akan menutup berkat-Nya (=berekah) bagi setiap orang yang berharap pada-Nya. Semoga. Amin.