Penaclaret.com – Daun-daun kering yang tunduk pada takdir musim gugur 1868 seolah ingin berkisah tentang monarki Spanyol yang sebentar lagi akan runtuh. Bisikan revolusi dari setiap sudut Spanyol semakin keras. Banyak penduduk telah muak dengan permainan politik Spanyol yang diwarnai peperangan internal kerajaan. Istana menjadi tempat perggelaran kaum elit yang haus kuasa. Kubu-kubu mulai menjamur dalam tubuh kerajaan. Karena itu, masa depan monarki Isabel II semakin redup.
Bila ditarik kembali ke belakang, desas-desus revolusi sebenarnya sudah tercium sejak pengangkatan uskup Claret sebagai bapa pengakuan ratu Isabel II atau bahkan jauh sebelumnya. Menegetahui bahwa Claret adalah orang kepercayaan ratu, banyak orang yang datang ke ruang pengakuan dengan tujuan yang tidak fair. Jadwal pengakuan dialihfungsikan menjadi kesempatan mencari kawan politik. Ada yang datang meminta kenaikan gaji, pangkat, martabat, dan aneka permintaan yang tidak masuk akal. Ribuan surat dengan konten permintaan untuk memperoleh kedudukan strategis dalam lingkungan istana meyerbu kotak posnya setiap hari. Polemik birokrasi dan kebobrokan tikus-tikus berdasi yang melahap habis uang istana inilah yang kemudian menumbuhkan benih revolusi dalam jiwa para revolusioner spanyol.
Atmosfir Spanyol terus memanas dan fitnahan kepada Claret tak kunjung mereda. Claret dikatai sebagai orang paling buruk yang pernah ada dan dituduh sebagai penyebab semua kemalangan di Spanyol (Bdk. surat P. Claret, 1869). Claret merasa dirinya sekarang bagaikan balok tua dan kasar yang sedang disokong di dinding istana ratu supaya jangan roboh. Meskipun demikian, uskup Claret tidak dapat berbuat banyak. Revolusi sepertinya tidak dapat dihindari lagi. Cepat atau lambat ratu dan keluarganya akan segera diseret ke pengasingan.
Saat yang telah diperkirakan pun tiba. September 1868 revolusi Spanyol pecah. Ratu ditemani Claret beserta rombonganya terpaksa melarikan diri ke Prancis, sebab Madrid tidak seaman dulu. Para penentang revolusi dibantai, hak milik gereja disita, para biarawan-biarawati diusir bahkan dibunuh, termasuk P. Francisco Crusarts, martir pertama Kongregasi tercinta. Para misionaris Claretian pun harus pergi mencari perlindungan di pengungsian Prades, Prancis.
Pengasingan memang menyedihkan, tetapi tak selamanya nirmakna. Ada oasis di pengasingan Prancis. Masa pengasingan justru membuat Claret merasa semakin menyerupai Yesus. Ia mengingat saat di mana bayi Yesus yang lemah terpaksa harus dilarikan ke Mesir karena kekejaman Herodes yang haus kuasa. Demikian pun dirinya, harus pergi layaknya seorang buronan akibat kekalutan hasrat dangkal segelintir orang.
Ketika tiba di prancis, ratu dan rombongannya berlindung di Hotel de Rohan sedangkan uskup Claret memilih menginap di biara suster-suster santo Yosef yang mendedikasikan diri pada misi pendidikan. Ia mendapat pelayanan yang sangat baik, sehingga ia merasa seperti sedang tinggal bersama keluarga Nasaret.
Uskup Claret menginap kurang lebih sebulan di Prancis, kemudian berangkat ke Roma untuk mengikuti konsili Vatikan I pada Desember 1868. Selamat mengembara bersama Claret, sang tawanan kasih Kristus.
Mahasiswa Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pengagum absurditas Albert Camus