Tentang Biduk dan Bayu Senja, di Laut Lepas! | Renungan Harian

Picture By Baliexpress.jawapos.com

Rabu Hari Biasa Sesudah Penampakan Tuhan

Bacaan Pertama: 1 Yoh. 4:11-18

Bacaan injil: Mark. 6:45-52

Arus gelombang tantang, biduk tak daya,

 hati merayu Tuhan nada nan cemas…

Penaclare.com Itu adalah bait II dari lagu ‘Bayu Senja’, yang sering bergaung di biara-biara tua saat Vesper (Ibadat Sore) ataupun Taize. Pokoknya pada saat-saat hati diliputi tenteram memandang keajaiban Tuhan. Namun Bayu Senja adalah kisah si pelaut dalam mengayuh biduk di tengah arus laut lepas. Dan laut yang kendati tampak gemuruh oleh arus, mengutip Goenawan Mohamad, adalah bagian yang bisu dalam narasi tradisional. Itulah sebabnya, setiap lakon wayang tak dimulai dan diakhiri dengan laut, melainkan gunungan: kerucut dua dimensi yang berisi relief pohon dan hewan hutan.

Jadi, jika yang hendak dilambangkan di sana adalah semesta yang sakral dan berwibawa, laut tak masuk hitungan. Hanya pesisir, “siluet batu karang, pasir yang basah, lokan, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih”, menjadi dunia yang dilihat dengan rasa ingin tahu dan terkesima, tentang biduk yang terlihat dari kejauhan, dari suatu jarak— refleksi!

Para sahabat pena Claret! Sebenarnya Bayu Senja sama halnya dengan kidung para rahib. Pencipta lagu ini menempatkan biduknya dalam pelayaran yang terlihat tangguh di laut lepas, namun bagai hewan yang diburu dan terluka, merayu Tuhan dengan nada nan cemas. Karena seperti ‘Doa’ Chairlir Anwar, “Biar susah sungguh, mengingat Kau penuh seluruh”. Bayu Senja dan rahib adalah kisah tentang Pelaut bersama Tuhan-nya. Dan memang, Bayu Senja ditulis oleh penciptanya dalam sebuah katakombe dengan penuh marah dan kecewa mengadu pada Tuhan. 

Baca juga :  Seumpama, Supaya Dekat

Saat itu, dia berstatus sebagai seminarian di Hokeng. Konon, menurut cerita generasi setelahnya, penulis Bayu Senja adalah siswa ekstrovert yang akrab dengan masyarakat kecil di luar tembok seminari. Suatu ketika, pada saat libur Natal, dia kembali ke kampung halaman dan meminta ibunya menyiapkan banyak oleh-oleh khas Flores Timur berupa keripik pisang dan jagung titi (jagung pelat) untuk diberikan kepada para koleganya, masyarakat kecil di sekitar Seminari. Masa liburan pun usai. Dia bergegas ke seminari dengan banyak kardus berisi oleh-oleh. Namun, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Dia yang kala itu baru saja makan malam bergegas ke kamarnya dan mendapati semua jagung dan keripik pisang telah habis dilahap kon-seminarisnya. Dia marah, namun tak bisa berbuat apa-apa, dan dengan kecewa menyepi ke katakombe. Di saat itulah, “Hidup bagai biduk di laut lepas” ditulisnya lirih dan diberi judul ‘Bayu Senja’.

Baca juga :  Paulus Memihak Orang Yahudi

Para sahabat pena Claret! Ada yang aneh pada lagunya. Bagaimana mungkin di sebuah senja yang murung, ada hembusan bayu. Bagaimana mungkin pelayaran si biduk, alih-alih, menangkap ikan sebagai pengganti oleh-oleh, namun akhirnya diganti “merayu Tuhan dengan nada nan cemas”? Namun tentang “yang mungkin” hanya berlaku bagi biduk yang berlayar tanpa arah namun tetap mengayuh karena kuat-yakin pelautnya. Bahkan ketika harap serasa meludah ke udara— membuang daya percuma— toh ia akan tetap berlayar karena biduknya tetap didorong bayu.

Di saat harap tak ada, kekerdilan pelaut dan biduknya di hadapan keluasan laut tersingkap. Bahkan keselamatan dapat disangka “Nyanyian Siren” kaum Naiad yang hidup di lautan, memikat namun menjerat. Mungkin itulah alasannya, dalam narasi Injil Tertua Santo Markus, pedagogi para murid sebagai pelayar dengan biduk yang dihantam angin syakal, Tuhan disangka hantu. Namun tidak seperti prajurit Odysseus dalam pelayaran usai perang Troya. Mereka atas titah mengikat Odysseus pada sebuah tiang agar raja dapat menikmati nyanyian Siren, sedang mereka sendiri menutup rapat telinga agar tidak terjerat dan terbunuh. Bukan pula kekerdilan pelaut tanpa harap di hadapan keluasan laut lepas. Tidak!

Baca juga :  Kami Tidak Tahu | Renungan Harian

Prajurit Yesus berhasil menjadi murid, karena berhadapan dengan Tuhan dan laut sebagai misteri ciptaan-Nya, mereka mengakui keterbatasan mereka sebagai manusia. Sebagaimana yang dikatakan Roderick Strange dalam The Risk of Discipleship, “Tuhan memanggil kita sebagai murid-Nya, di saat Dia berhasil mengungkapkan kelemahan kita”. Kelemahan yang Dia sendiri rengkuh dengan rampung sebagaimana yang kita rayakan selama Natal. Itu artinya, Natal adalah antitesis, atau setidaknya “lirik balasan”, terhadap seminaris yang kecewa dalam katakombe.

Para sahabat pena Claret! Jangan takut jatuh dalam praduga “Tuhan disangka hantu” di saat biduk kita dihantam bayu syakal. Tuhan sendiri masuk dalam biduk manusia, mengayuh di lautan praduga yang lepas nan bebas— sesekali dihantam angin syakal, sesekali menikmati bayu senja—  hingga tiba pada Sion Abadi, tempat Allah berkanjang, sebuah kelurusan pada praduga yang salah. Semoga Tuhan memberkati biduk kita dalam pelayaran di tahun 2022 yang penuh misteri namun menjanjikan.  Tuhan Memberkati.