Tubuh kecil yang terbalut oleh jubah mulai menginjakkan kaki di Roma. Claret, seorang uskup dari Cuba dengan aura keindahan. Senyum mulai merekah pada wajahnya yang mulai termakan oleh waktu. Hatinya seakan terbakar oleh api kerinduan, rindu untuk bertemu dengan figur nomor satu dalam Gereja Katolik. Ia seakan tak percaya hadir dalam momen bersejarah itu. Namun, sebelum bertemu dengan paus, Claret menyempatkan untuk menghadiri perayaan Ekaristi bersama dengan para Uskup dari seluruh dunia.
Setiap uskup yang hadir, mendapat hak istimewa berdialog bersama Paus. Tibalah giliran Claret. Ia dengan hati yang penuh sukacita mulai melangkah maju. Dia sangat senang mendapat hak istimewa tersebut. Dialog santai, namun bermakna. Di sela dialog, Paus berkata, “Kasihku! Saya tahu semua fitnah dan hal-hal buruk yang telah dikatakan melawan engkau. Saya telah membacanya”. Kemudian, Paus mengutip Kitab Suci yang memberi kesegaran baru baginya. Cinta dan kebijaksanaan Paus telah memberi angin segar bagi Claret. Kalimat mengandung perhatian dan cinta yang dalam. Claret merasa seakan dia sedang berdialog dengan figur ayah. Ayah yang peduli dengan situasi anaknya. Dialog singkat bermakna yang tidak akan dilupakan oleh Claret.
Hari bersejarah, dan sukacita mulai tampak. Hari di mana Konsili Vatikan I akan digelar. Claret mulai bersiap-siap. Di kamar yang kecil dan sederhana, menjadi ruangan dimana Claret beristirahat. Sebelum berangkat, Claret menyempatkan diri untuk berdoa. Claret berkata, “Ya Allah, saya bersyukur, sebab Engkau masih mengasihi saya. Berkatilah saya. Semoga saya bisa mengikuti sidang ini dengan gembira dan semangat”. Demikianlah doa yang Claret panjatkan kepada Yang Maha Kuasa. Doa sederhana, penuh kerendahan hati, namun mendalam.
Para uskup dan orang-orang yang diundang mulai berarak masuk. Claret dengan langkah yang pelan, diiringi sukacita dan rasa syukur. “Ya Allah, betapa gembiranya hati ini. saya berterima kasih, sebab engkau telah membawa saya sampai di sini. Suatu pengalaman yang penuh kerahiman”. Katanya dalam hati.
Pada peristiwa bersejarah itu, setiap uskup mendapat hak untuk berbicara. Setelah beberapa uskup selesai menyampaikan maksud mereka, kini tibalah giliran Claret. Claret mulai berkata-kata di dalam hatinya. “Ya Allah, bantulah hamba-Mu ini”. Sepotong doa indah penuh penyerahan diri yang total. Tampak, kata-kata mulai keluar dari mulutnya. Momen indah yang tidak akan lenyap oleh waktu. Momen dimana Claret menyuarakan untuk membela infabilitas Paus. Pembelaan terhadap hak-hak Gereja dan Bapa Suci menjadi tujuan Claret hadir. Suara lantang dan penuh keberanian. Fisik yang kecil tidak membuat Claret gentar menyuarakan maksudnya. Tujuan mulia yang selalu ingin disampaikan olehnya. Paus dan para uskup yang mendengar sangat takjub akan keberaniannya. Sikap dan keberaniannya menjadikannya, sebagai pribadi yang diperhitungkan dalam konsili tersebut. Senyum mulai merekah diwajahnya yang keriput. Rasa syukur yang tak hentinya selalu ia panjatkan di dalam hatinya. Itulah Claret, bertubuh kecil, namun raksasa dalam iman. Iman yang mendorong Claret untuk bersuara. Api cinta kasih yang selalu ditampilkan dimana saja ia berdiri. Nama yang akan selalu terukir dalam sejarah penyelenggaraan Konsili Vatikan I.
Misionaris Claretian yang sedang menempuh pendidikan Filsafat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.