SINODALITAS DALAM PERSPEKTIF ASIA DAN INDONESIA

Oleh Fr. Rony Hurit CSSR

Sinodalitas Dalam Perspektif Asia dan Indonesia

Pengantar

ClaretPath.com – Gereja yang sinodal menjadi gerakan universal Gereja abad ini. Gereja yang sinodal memainkan peran penting dalam kehidupan menggereja saat ini. Peran penting Gereja yang sinodal ini dapat terlihat dari program-program Gereja yang selalu bermuara pada sinodalitas. Namun, hal yang perlu disadari adalah konsep sinodalitas tidak memiliki satu bentuk yang sama yang dapat dipakai di seluruh dunia karena persoalan-persoalan yang dihadapi umat berbeda-beda. Karenanya konsep sinodalitas ini perlu untuk diinterpretasikan sesuai dengan konteks dimana Gereja itu berada. Tulisan ini mencoba mendalami konsep sinodalitas dalam konteks Asia – Indonesia.

SINODALITAS: KEKHASAN DAN ARAH SINODALITAS DALAM PRESPEKTIF ASIA – INDONESIA

Secara etimologis, kata sinodalitas berasal dari kata dasar sinode. Sinode sendiri berasal dari kata bahasa Yunani yaitu synodos[1]. Kata synodos ini kemudian diserap ke dalam bahasa Latin menjadi kata synodus  atau concolium yang dalam penggunaan profan merujuk pada pertemuan yang diselenggarakan oleh otoritas yang sah[2]. Oleh Gereja kata sinode ini kemudian dimaknai secara baru menjadi berjalan bersama yang bermakna religius. Sinode atau Sinodalitas dalam Gereja selalu dikaitkan dengan konsep Gereja sebagai Umat Allah yang berziarah di tengah dunia ini. Sebagai umat Allah, Gereja yang sedang berziarah di tengah dunia senantiasa berjalan bersama, ber-sinodal[3].

Konsep Gereja yang sinodal menjadi tema penting dalam kehidupan menggereja pada saat ini. Paus Fransiskus menegaskan pentingnya sinodalitas dalam Gereja dalam menghadapi situasi zaman sekarang. Konsep tentang Gereja yang sinodal sendiri “bermula dari pidato Paus Fransiskus tahun 2015 dalam rangka memperingati 50 tahun dewan para uskup di aula Paulus VI, Sabtu, 17 Oktober 2015.[4]” Namun konsep tentang Gereja yang sinodal bukanlah hal baru dalam Gereja sebab konsep Gereja yang Sinodal sudah ada sejak Konsili Vatikan II. Konsili Vatikan II yang menjadi babak baru dalam sejarah Gereja memberi arah baru dalam konsep eklesiologi Gereja. Eklesiologi Gereja setelah Konsili Vatikan selalu bercirikan communio atau persekutuan. Konsili Vatikan II mengerti Gereja terutama sebagai Persekutuan Umat Allah karena baptisan[5]. Karena itu perlu kiranya sinodalitas ini menjadi motor penggerak Gereja zaman ini.

Gerakan Sinodalitas dalam Gereja tidak dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa Gereja selalu bercirikan communio. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Lumen Gentium, bahwa “Adapun semua anggota tubuh manusia, biarpun banyak jumlahnya, membentuk satu tubuh, begitu pula para beriman dalam Kristus,[6]” maka sinodalitas berkaitan erat dengan persekutuan sebagai Umat Allah. Karena Gereja sebagai tubuh mistik Kristus maka tidak mungkin untuk berjalan sendirian. Gereja diajak untuk berjalan bersama-sama sebagai satu tubuh dalam Yesus Kristus.

Sinodalitas dapat dipahami sebagai suatu fenomena dimana Gereja sebagai Umat Allah di dunia ini berjalan bersama di dunia ini. Umat beriman yang berjalan bersama itu bukanlah umat beriman yang sifatnya homogen. Umat beriman yang berjalan bersama terdiri dari berbagai macam latar belakang budaya, bahasa, ras, suku dan bangsa yang berbeda-beda. Karena itu gerakan sinodalitas yang menjadi gerakan Gereja di abad 21 ini juga harus memperhatikan keragaman yang terdapat dalam diri Gereja sendiri.

Dalam kaitannya dengan konteks Asia – Indonesia, sinodalitas tidak dapat dilepaskan dari poskolonialisme dan realitas keberagaman. Postkolonialisme[7] secara kritis meneliti hubungan antara penjajah dan terjajah, dari hari-hari awal eksplorasi dan penjajahan[8]. Wacana poskolonialisme membagi dunia menjadi dua yaitu barat dan timur atau kaum penjajah dan terjajah. Dengan demikian, secara tidak langsung, poskolonialisme berpengaruh pada arah sinodalitas di Asia – Indonesia. Negara-negara Asia – Indonesia umumnya merupakan negara yang dijajah, tidak dapat berjalan bersama dengan negara-negara yang menjajah. Hal ini dikarenakan adanya persaingan antar di antara keduanya. Dengan kata lain poskolonialisme membuat gerakan sinodalitas seperti menunggang pada dua kuda yang berbeda.

Baca juga :  Kenakan perlengkapan Senjata Allah

Selain poskolonialisme, persoalan serius yang dihadapi gerakan sinodalitas Gereja dalam konteks Asia – Indonesia adalah pluralisme atau keberagaman. Pluralitas menjadi identitas yang tak terpisahkan dari masyarakat Asia – Indonesia. Bahkan dalam konteks Asia – Indonesia, Kekristenan terbagi menjadi Gereja Katolik Roma, Gereja Protestan dan Gereja Ortodoks[9]. Gereja Katolik sendiri menghadapi persoalan pluralitas dari segi budaya, suku, ras. Selain itu Gereja juga sinodalitas juga menghadapi persoalan pluralitas agama-agama lokal. Persoalan pluralitas menjadi persoalan yang sampai sekarang belum ditemukan jalan keluar yang efektif. Inkulturasi yang menjadi jembatan bagi ajaran Gereja dan budaya masyarakat dimana Gereja berkembang belum mampu secara efektif untuk memobilisasi gerakan sinodalitas di Asia – Indonesia. Hal ini karena inkulturasi tidak jarang hanya terbatas pada tata liturgi. Inkulturasi belum sampai pada tahap membentuk identitas baru sebagai orang Katolik Asia. Karena itu agar sinodalitas dalam konteks Asia – Indonesia dapat berjalan maka yang diperlukan adalah Triple Dialogue seperti yang “dicanangkan dalam FABC yaitu dialog dengan budaya, dialog dengan agama-agama lokal, dan dialog dengan orang miskin.[10]

Jadi jika kita melihat konteks sinodalitas Asia – Indonesia seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, kita dapat menarik benang merah bahwa sinodalitas dalam konteks Asia – Indonesia mengarah kepada pembentukan identitas baru. Poskolonialisme dan pluralitas membuat Gereja kehilangan identitas dirinya. Karena itu arah yang ingin dituju oleh Gereja adalah menegaskan identitas diri sebagai Gereja Asia – Indonesia, bukan Gereja di Asia – Indonesia. Penegasan identitas sebagai Gereja Asia – Indonesia penting karena Gereja Asia – Indonesia ada dalam konteks bahasa, kebiasaan, kepercayaan dan respon emosional – bahkan sifat yang sangat pribadi sekalipun – yang bersifat Asia – Indonesia[11]. Dengan menegaskan identitas dirinya, gerakan sinodalitas dapat berjalan karena kesadaran bahwa mereka adalah Umat Allah yang ada dalam kesatuan dengan Gereja universal. Sedangkan bila berbicara mengenai kekhasan dalam sinodalitas Asia – Indonesia adalah sinodalitas berbau budaya. Sinodalitas dalam perspektif Asia – Indonesia tidak bisa dilepaskan dari ciri kebudayaan. Namun sinodalitas yang bercirikan budaya ini harus memperhatikan bahwa sinodalitas itu harus membawa dampak bagi Gereja secara universal, sebab sinodalitas pada hakekatnya “memperkaya, meningkatkan, dan menghidupkan seluruh Gereja.[12]” Karena itu perlu kiranya untuk secara konstan menemukan apa yang dikehendaki Allah dan melaksanakannya.[13]

MENJADI GEREJA SINODAL: PERSEKUTUAN, PARTISIPASI DAN MISI MENJADI OPERASIONAL DALAM KONTEKS ASIA INDONESIA

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa sejak Konsili Vatikan II, eklesiologi Gereja bercirikan communio atau persekutuan. Gema yang sama juga digaungkan oleh Gereja yang sinodal. Sinodalitas yang dipahami sebagai gerakan berjalan bersama sehingga tidak mungkin akan terjadi jika Umat Allah tidak ada dalam kesatuan. Lumen Gentium menyebutkan “bahwa semua orang beriman, yang tersebar di seluruh dunia, dalam Roh Kudus berhubungan dengan anggota-anggota lain.[14]” Dalam konteks Asia – Indonesia, aspek persekutuan ini memainkan peranan yang sangat penting. Peran yang dimaksud adalah untuk menegaskan identitas Gereja Asia – Indonesia sebagai Umat Allah sehingga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Gereja universal. Seperti yang diungkapkan dalam FABC, Gereja Asia – Indonesia merasa terasing dari persekutuan dengan Gereja universal sebagai dampak dari Kekristenan awal yang sangat dipengaruhi oleh kolonialisme.[15] Dengan menegaskan identitas ini, langkah sinodalitas dapat lebih mudah karena tidak ada lagi sekat yang memisahkan Gereja Asia – Indonesia dengan Gereja universal sebagai Umat Allah.

Baca juga :  Anak Kecil: Model Kepemimpinan

Selain persekutuan partisipasi juga menjadi agenda penting dalam gerakan Gereja yang sinodal. Jika dikaitkan dengan postkolonialisme, partisipasi yang dimaksud adalah bahwa Gereja Asia – Indonesia tidak hanya sebagai mengimpor refleksi teologi tetapi juga bisa menawarkan refleksi teologi baru dengan berdasarkan latar belakang budaya Asia – Indonesia kepada Gereja universal sebagaimana diungkapkan dalam dokumen Gerejawi “Sinodalitas Dalam Kehidupan Dan Misi” yang menyebut bahwa dalam sinodalitas kita semua “dipanggil untuk mengungkapkan partisipasi.[16]” Hal ini sejalan dengan apa yang ditawarkan oleh Homi Bhabha melalui teori hibriditasnya dimana ada ruang ketiga dimana semua orang dapat berpartisipasi secara aktif dalam membentuk sebuah realitas baru. Wacana poskolonialisme telah menekan peran dari Gereja Asia – Indonesia karena dipandang lebih rendah. Namun Gereja dalam dan melalui sinodalitas menyuarakan bahwa semua Umat Allah ada dalam satu kesatuan dalam tubuh mistik Kristus dan semua memiliki peranan yang sama penting dalam tubuh mistik Kristus. Jadi Gereja Asia – Indonesia juga memiliki andil dalam membangun dan mengembangkan Gereja universal dengan bercermin pada budayanya. Partisipasi ini dapat ditunjukkan melalui pelayanan-pelayanan yang dilakukan.

Dalam kaitan dengan misi, gema sinodalitas ini sangat terasa. Sinodalitas yang menjadi bagian interpretasi dari Konsili Vatikan II memberi penekanan pada karya misi. Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium menyebut  Ia mengutus para rasul ke seluruh dunia seperti Ia sendiri diutus oleh Bapa, perintah-Nya kepada mereka, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku, dan baptislah mereka dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus, dan wartakanlah Injil kepada semua makhluk. Barang siapa percaya dan dibaptis akan selamat; tetapi siapa tidak percaya akan dihukum.”[17] Karena itu sinodalitas dalam Gereja sangat mengharapkan bahwa karya misi menjadi gerakan bersama. Dengan kata lain sinodalitas meletakan misi sebagai salah satu poin utama yang harus dituju melalui hidup dan dialog (LG art. 11) dan kehadiran cinta kasih (LG. art. 12).

Dalam kaitannya dengan Gereja Asia – Indonesia, realitas sekarang menunjukkan bahwa Gereja Asia – Indonesia sangat aktif dalam karya kerasulan Gereja. Banyak pelayan Gereja yang berlatar belakang Asia – Indonesia berkarya di berbagai belahan dunia sebagai bagian dari gerakan sinodalitas. Dalam konteks misi di Asia – Indonesia, gerakan sinodalits harus memberi perhatian lebih kepada budaya di Asia – Indonesia. Perhatian pada kebudayaan ini berangkat dari realitas yang menunjukan bahwa “Asia mempunyai kebudayaan-kebudayaan kuno yang sampai sekarang tetap eksis dan bahkan berkembang serta mempengaruhi kebudayaan-kebudayaan lain.[18]

PENUTUP

Sinodalitas menjadi bagian penting dalam kehidupan menggereja masa kini. Sejak dicanangkan oleh Paus Fransiskus dalam diskursus 17 Oktober 2015 pada peringatan 50 pembentukan sinode keuskupan, Gereja yang sinodal menjelma menjadi gerakan Gereja secara universal. Tidak terkecuali di Asia dan Indonesia. Namun gerakan sinodalitas di Asia dan Indonesia sering menghadapi persoalan. Persoalan yang dimaksud adalah identitas diri sebagai orang Kristen. Karena itu langkah penting dalam sinodalitas di Asia – Indonesia adalah pembentukan identitas sebagai Umat Allah. Namun identitas yang dimaksud bukan identitas yang bergaya Eropa, melainkan identitas sebagai sebagai orang Kristen di Asia – Indonesia. Sebab identitas keagamaan “pasti terpulang kembali kepada aspek sosial masyarakat pemeluknya.[19]” Dengan demikian kekhasan dalam sinodalitas dalam perspektif Asia dan Indonesia adalah sinodalitas yang berbau budaya, karena masyarakat Asia – Indonesia tidak pernah lepas dari kebudayaannya.


DAFTAR PUSTAKA

DOKUMEN GEREJA

  • 2004    Dokumen Konsili Vatikan II (terjemahan R. Hardawiryana, SJ), Obor, Jakarta.
  • 2022    Seri Dokumen Gerejawi, Sinodalitas Dalam Kehidupan Dan Misi Gereja, Konferensi Waligereja Indonesia.
Baca juga :  Tanda-Tanda Zaman | Review Buku

BUKU

  • Kim, Sebastian C. H., Edt., 2008    Christian Theology In Asia New York: Cambridge University Press.
  • Pals, Daniel L., 2011    Seven Theories of Religion, Yogyakarta: IRCiSoD.

ARTIKEL

  • Ambesange Praveen V, 2016    Postcolonialism: Edward Said and Gayatri Spivak, Journal of Recant Sciences, vol. 5, No. 8.
  • Gregorianum 81 2000    Theologizing at the Service of Life.
  • Joseph Cheah, 2022    An Asian Pneumatology of FABC and The Re-Imagining of Spirituality In Asia, Jurnal Quest: Studies on Religion and Culture in Asia, vol. 4.
  • Konstantinus Bahang, 2022    Paus Fransiskus dan Gereja Sinodal, Jurnal Agama Dan Kebudayaan STF Fajar Timur, Vol. 19, No. 1.
  • Rikardus Jehaut, 2022    Membedah Diskursus Sinodalitas Paus Fransiskus dan Relevansinya Terhadap Kehidupan Menggereja Di Indonesia, Jurnal Ledalero. Vol. 21, No. 1.
  • Yakobus Haryprabowo, 2004    Ecclesia in Asia, LOGOS: Jurnal Filsafat-Teologi, Vol. 3 No. 1.

INTERNET


Catatan Kaki:

[1] Kata synodos yang terdiri dari dua kata yakni syn dan hodos. Kata syn sendiri berarti “dengan”, sedangkan kata hodos berarti jalan. Jadi dari asal katanya sinode dapat diartikan sebagai “jalan dengan” yang lain. Jadi pada dasarnya kata sinode tidak bermakna religius.

[2] Rikardus Jehaut, Membedah Diskursus Sinodalitas Paus Fransiskus dan Relevansinya Terhadap Kehidupan Menggereja Di Indonesia, Jurnal Ledalero, Vol. 21, No. 1, Juni 2022, hal. 105-120.

[3] Rikardus Jehaut, Membedah Diskursus Sinodalitas Paus Fransiskus dan Relevansinya Terhadap Kehidupan Menggereja Di Indonesia, Jurnal Ledalero, Vol. 21, No. 1, Juni 2022, hal. 105-120.

[4] Konstantinus Bahang, Paus Fransiskus dan Gereja Sinodal, Jurnal Agama Dan Kebudayaan STF Fajar Timur, Vol. 19, No. 1, 2022, hal. 54-77.

[5] Konstantinus Bahang, Paus Fransiskus dan Gereja Sinodal.

[6] Dokumen Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, art. 7.

[7] Wacana poskolonialisme sendiri pertama kali diperkenalkan dalam kaitannya dengan dunia sastra.Menurut Yani Kusmarni, dalam tulisannya yang berjudul “TEORI POSKOLONIAL Suatu Kajian Tentang Teori Poskolonial Edward W.Said” menjelaskan bahwa poskolonialisme merupakan masalah ketidakadilan dalam bidang sosial budaya dan ilmu pengetahuan yang diakibatkan oleh hegemoni, kolonialisme dan kekerasan epistemology barat yang sudah berkembang sejak awal abad modern.

[8] Ambesange Praveen V, Postcolonialism: Edward Said and Gayatri Spivak, Journal of Recant Sciences, vol. 5, No. 8, 2016, hal. 47-50.

[9] Bdk. M. Thomas Thangara, Religious Pluralism, Dialogue and Asian Christian Responses, dalam buku “Christian Theology In Asia”, Edt. Sebastian C. H. Kim, (New York: Cambridge University Press: 2008), hal. 157-178.

[10] Bdk. Gregorianum 81,3 (2000) 541-575, Theologizing at the Service of Life.

[11] Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011), hal. 137.

[12] Rikardus Jehaut, Membedah Diskursus Sinodalitas Paus Fransiskus dan Relevansinya Terhadap Kehidupan Menggereja Di Indonesia.

[13] Rikardus Jehaut, Membedah Diskursus Sinodalitas Paus Fransiskus dan Relevansinya Terhadap Kehidupan Menggereja Di Indonesia.

[14] Dokumen Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, art. 13.

[15] Joseph Cheah, An Asian Pneumatology of FABC and The Re-Imagining of Spirituality In Asia, Jurnal Quest: Studies on Religion and Culture in Asia, vol. 4, 2020, hal. 1-14.

[16] Seri Dokumen Gerejawi, Sinodalitas Dalam Kehidupan Dan Misi Gereja, Konferensi Waligereja Indonesia, art. 67, 2022.

[17] Dokumen Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, art. 5.

[18] Yakobus Haryprabowo, Ecclesia in Asia, LOGOS: Jurnal Filsafat-Teologi, Vol. 3 No. 1, 2004, 15-30.

[19] Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, hal. 162.