Rezim Terlanjur Bobrok, Bagaimana Kita Mendobrak

Rezim Terlanjur Bobrok, Bagaimana Kita Mendobrak
Picture from Blogspot.com

ClaretPath.com Rezim Terlanjur Bobrok, Bagaimana Kita Mendobrak

oleh

Fr. Vendy Koli, CMF

Tulisan ini merupakan eksplorasi lanjutan sekaligus catatan kritis atas Studium Generale Fakultas Teologi Weda Bhakti-Yogyakarta yang dibawakan oleh Rm. Dr. A. Setyo Wibowo, SJ.  Dalam Kegiatan semesteral itu, “ Rm. Dr. A. Setyo Wibowo, SJ menyajikan materi Budaya Korupsi: Etika Publik atau Etika Eudaimonia?”

Secara Garis Besar, Romo Setyo, demikian sapaan akrabnya, mempertanyakan bagaimana menciptakan politisi yang berintegritas dalam sistem yang korup. Pertanyaan ini spontan menjurus pada tawaran Etika Publik dari Dr. Haryatmoko. Etika Publik sangat yakin kalu strukturnya bagus niscaya akan melahirkan politisi yang baik. Kasus kiprah Ahok di DKI membuat Rm. Setyo sedikit sangsi pada etika publik. Kesuksesan DKI rupanya bukan pada sistem, tetapi pribadi Ahok. Setelah Ahok dilengserkan banyak hal kembali bobrok. “Kalu akar persoalan terletak di sistem, tentunya DKI yang baik akan berlanjut.” Meskipun Ahok pergi.

Akan tetapi, saya akan menyampaikan beberapa pertanyaan kritis untuk tawaran ini. Apakah benar, bahwa karena pribadi Ahok?  Agar tidak cenderung menyederhanakan, barangkali saya akan mencoba menguraikan ulang pemaparan Rm. Setyo. Tentu saja dengan kemampuan dan gaya saya.

Akhir-akhir ini kasus korupsi meraja lela di berbagai lini kehidupan. Ungkapan satir, “korupsi telah mendarah daging.” Dari kepolisian (Ferdi Sambo), pemuka agama (Al-Zaitun), birokrat (Rafael Simbolon dan Jony Plate) bahkan sampai pendidikan. Riset tim Kompas menguak kasus guru besar yang terlibat perjokian skripsi dan artikel ilmiah berstandar internasional. Kasus di Senayan, ongkos pendaftaran DPR sebesar 5 Miliar. Artinya mereka yang berduit yang bisa masuk. Ironisnya, alih-alih suara rakyat, kepentingan bisnis yang di bawah? Untuk mengubris kaus-kasus itu, Rm. Setyo langsung menyitir Paidea (Παιδεία: Pendidikan) Platon, seorang filsuf kenamaan Yunani Klasik.

Platon di dalam Temaeus atau yang sering diakrabi dengan Republic dengan terang-terangan menuduh demokrasi sebagai rezim yang bobrok. Tuduhan Plato ini tidak terlepas dari trauma atas Sokrates, gurunya yang dijatuhi hukuman mati oleh suara mayoritas. Tirani mayoritas yang minus nalar itu diakibatkan oleh demokrasi yang membuka pintu selebar-lebarnya bagi kebebasan dan partisipasi. Namun, minus kebijaksanaan dan kebajikan. Lantas apa tawaran Platon?

Di ujung kekecewaannya terhadap demokrasi, Plato menawarkan sistem negara filsuf. Atau filsuf raja. Mereka yang layak menjadi pemimpin adalah yang memiliki kebijaksanaan, yakni filsuf. Menurut Platon hanya filsuf inilah yang telah lolos dari jeratan epitumia (hasrat kekayaan, kuasa, dan seks) dan tumos (hasrat akan kejayaan-kasatria). Sementara filsuf adalah bilangan dari mereka yang mempunyai passion akan kebaikan publik. Mereka tidak lagi mengejar uang, kuasa, seks, dan kejayaan. Karena itu, merekalah yang paling layak memerintah di polis.

Baca juga :  Darurat Sampah! Pemerintah Salah?

Sayangnya Platon akhirnya harus terbentur pada sebuah idealisme. Bagaimana menciptakan seorang filsuf raja – yang layak memimpin. Murid termasyhur Sokrates itu menjawab, melalui pendidikan (Paideia). Di dalam Paidea para murid (pais) dilatih untuk memiliki kebajikan atau kebijaksanaan sebagai jalan menuju kebahagiaan (eudaimonia). Jalan ini dinamakan etika eudaimonia. Akan tetapi, bukankah Paidea sendiri harus mengandaikan sebuah sistem atau struktur kolektif yang harmonis, stabil, dan baik? Bagaimana kalau rezimnya bobrok? Di dalam rezim yang bobrok, ideal paidea akan selalu dapat dinetralkan. Karena itu, alih-alih mencetak filsuf yang layak memimpin, paidea justru disulap menjadi para anjing penjilat kebijakan rezim.

Rupa-rupanya Platon masih mempunyai amunisi persiapan. Ia masih juga percaya pada ideal pendidikannya (paidea). Apabila memang rezim tidak dapat diandalkan lagi, perlu diciptakan sebuah institusi pendidikan yang terpisah dari polis dan jangkauan rezim. Murid-muridnya diambil ketika masih sangat keci – belum tahu apa-apa. Dipisahkan dari orang tua mereka dan lingkungan masyarakat. Dengan begitu para murid tidak terkontaminasi dengan praktek rezim yang telah terstruktur.

Anggaplah tawaran Platon ini mungkin relevan bagi zamannya. Di mana polisnya tidak terlalu besar. Akan lebih sulit apabila ideal Platon ini diletakan dalam konteks negara modern. Ambillah contoh Indonesia, sebuah negara yang beragam. Punya tradisi feodalisme, korupsi dan nepotisme yang kuat. Pendidikan pun secara subtil telah didikte oleh kepentingan penguasa. Spontan, tidak mungkin menciptakan sebuah institusi yang terpisah dari negara kedaulatan itu. Selain itu, rezim demokrasi yang sudah terlanjur diidealkan orang modern akan mendepak jauh konsepsi filsuf raja a la Platon itu. Bagi orang modern, itu tidak lebih dari negara khayalan dan mimpi di siang bolong. 

Berbeda dari Platon, mengikuti Peter Carey,[1] Rm. Setyo mengetengahkan keterpaksaan untuk memerangi korupsi. Butuh sebuah, sense of crisis. Manusia-manusia sekarang “mau tidak mau” harus peka bahwa ada situasi darurat yang sedang mengitari. Kalau korupsi tidak segera diatasi, NKRI akan hancur. Akan tetapi, rupanya lingkaran setan bersembunyi di balik tawaran Rm. Setyo. Bagaimana  bisa muncul “sense of crisis” dari individu tertentu kalau sistem di mana mereka hidup sudah bobrok. Artinya, kita kembali lagi persoalan awal yang sebenarnya ingin dilampaui. Barangkali yang mungkin adalah individualitas setiap pribadi yang mampu mengambil jarak dari sistem, tetapi rupanya terlalu kecil kemungkinannya. Rm. Setyo sepertinya masih terlalu percaya dengan keyakinan eksistensialisme Sartre bahwa “Aku” atau subjek akan selalu menidak (men-tidak) pada determinasi/gangguan “Yang Lain.” Padahal dii era yang serba birokratis (Arendt), subjektivitas Sartre tidak terlalu  imun. Subjek akan termakan atau dinetralisir oleh sistem.[2]

Baca juga :  Terang dalam Dunia Yang Gelap (Refleksi Kebebasan menurut Nikolai Berdyaev)

Di dalam sistem demokrasi, sesuai dengan pandangan Otfried Höffe[3] dan barangkali kita semua, tujuan yang ingin dicapai adalah terealisasinya kepentingan publik. Misalnya kesetaraan, keadilan, kebebasan, tanggung jawab, dan penghargaan. Namun, sering kali pengesahan agenda politik adalah rezim yang berkuasa. Risiko yang harus ditanggung adalah terbukanya peluang bagi praktek-praktek monopoli non-demokratis. Salah satunya  korupsi. Dengan demikian, gerakan individualis murni sebagaimana yang ditawarkan oleh Rm. Setyo dan etika Publik sebagaimana yang ditawarkan Rm. Haryatmoko belum cukup.

Gerakan yang barangkali dapat dijadikan pengayaan lain adalah civil society. Adapun civil society yang dimaksud adalah komunitas-komunitas non birokratis,  misalnya paguyupan kategorial, masyarakat adat-budaya, agama, suku atau ras, bahkan keluarga besar. Meskipun tidak mutlak, ini lumayan masuk akal. Ambillah contoh kasus Ahok dalam perputaran politik DKI. Banyak kesuksesan diciptakan pada masanya. Integritas Ahok rupanya menjadi kunci – hipotesis Rm. Setyo. Akan tetapi harus dipertanyakan, dari mana datangnya Ahok. Ia tidak jatuh dari surga. Ia lahir di tempat tertentu dan dibesarkan dalam paguyuban tertentu: misalnya dalam kelompok minoritas Tionghoa-Kristen.

Dan tanpa disadari paguyuban itu turut berkontribusi bagi integritas kepribadian Ahok. Pengalaman diskriminasi dan dikambing-hitam etnis Tionghoa dalam sejarah tanah air melahirkan kesadaran untuk memberantas ketidakadilan dan diskriminasi. Moralitas dan tujuan hidup Kristen Protestan tentu saja menyulam kepribadiannya. Meskipun dalam ranah publik, hal itu sudah tersublimasi. Ahok tidak lagi menggunakan term eksklusif agama Kristen, melainkan bahasa publik, seperti kebaikan, keadilan kemakmuran, kesejahteraan, amanat konstitusi, dan sebagainya. Aspek-aspek tersebut dalam konstelasi politik disebut sebagai civil society.

Civil society ini memang cukup potensial. Mereka memiliki idealisme yang telah mentradisi. Tradisi juga memberi andil bagi ikatan emosional antara anggota. Doktrin komprehensif (John Rawls) mereka yang memuat tujuan hidup, konsep hidup baik, nilai dan moralitas menjadi pegangan dalam hidup bersama. Idealisme inilah yang kemudian ditularkan kepada setiap individu yang bernaung di dalam civil society kemudian di bawah ke dalam ranah politik yang lebih luas. Pada kasus politisi, misalnya Ahok, ini dikenal sebagai integritas diri dan bentuk agenda politik.

Baca juga :  Orang-Orang Lelah | Opini

Menyitir Michael Sandel, individu-individu selalu berpijak di atas civil society ini. Tidak ada satu individu yang melayang di atas civil society (uncumber self/pribadi atomis)[4]. Artinya civil society pasti mempengaruhi kepribadian individu. Terlepas dari kemampuan otonominya untuk menarik diri dari dan mentransformasi suatu paguyupan.

Nah, kembali lagi ke persoalan awal, bagaimana civil society ini dapat mempertahankan idealismenya di tengah rezim yang korup. Barangkali tawaran Rawls patut diperhatikan. Civil society memiliki daya ikat yang kuat karena berbasiskan ingatan kolektif, tradisi yang sama, doktrin, dan ikatan emosional. Karena itu tidak mudah ditinggalkan begitu saja. Di dalam rezim yang bobrok sekalipun, civil society tidak serta merta termakan sistem. Membayangkan civil society yang selalu termakan sistem adalah sebuah tendensi ambisius. Apakah semua umat Islam itu radikal dan fundamentalis? Tentu saja tidak. Ada banyak sekali komunitas dan umat Islam yang justru menggalang persaudaraan universal, toleran, dan sangat progresif. Di dalam liberlisme Amerika yang begitu kuat sekalipun, masih dijumpai paguyupan, seperti protestanisme puritan dan fundamentalisme. Artinya generalisasi yang tergesa-gesa, bahwa civil society selalu dinetralisir oleh rezim tidak tepat.

Selain itu, belajar dari sejarah politik, rezim yang bobrok justru menjadi insentif tersendiri bagi civil society untuk menunjukkan taring. Bukankah pada rezim Orde Baru yang terkenal korup justru melahirkan tokoh-tokoh yang sangat nasionalis dan humanis?

Sebagai kesimpulan, perlu dijawab dulu memberantas “Budaya Korupsi: Etika Publik atau Etika Eudaimonia?”. Tentu saja tidak hanya satu. Keduanya sama-sama dibutuhkan. Di dalam subjek atau individu yang otonom sekalipun, dijumpai peran civil society dalam membentuk kepribadiannya. Civil society menjadi medan di mana subjek mempelajari nilai dan ideal hidup. Dan sebaliknya, subjek membutuhkan otonomi tersendiri untuk mencerap dan menarik diri dari sistem kemudian secara bebas masuk dalam civil society tertentu.


[1] Carey, P. B. (2017). Sisi lain Diponegoro: Babad kedung kebo dan historiografi perang Jawa. (No Title).

[2] Caswell, M. (2010). The world of Hannah Arendt: Bureaucracy, documentation, and banal evil. Archives, 1-25.

[3] Höffe, O. (1998). Some Kantian reflections on the world republic. Kantian Review, 2, 51-71.

[4] Youngmevittaya, W. (2019). A critical reflection on Michael J. Sandel: Rethinking communitarianism. Naresuan University Journal of Social Sciences, 15(1), 15_83-116.