Opini  

Natal untuk Persaudaraan Kita || Refleksi

Picture by Suara Kebebasan

ClaretPath.com – Persaudaraan kita adalah fokus natal 2021. Dengan tema “Cinta Kasih Kristus yang Menggerakkan Persaudaraan”, KWI dan PGI sepakat menyertakan gambar seorang berkulit cokelat, yang mana di bagian tubuhnya terdapat gambar-gambar kecil berisi orang-orang yang lapar, anak-anak yang sedang menangis, yang sedang mengais rejeki.

Namun, mereka yang ada dalam gambar adalah juga mereka yang menjadi korban kekerasan, korban fanatisme-radikalisme-konservatisme agama, korban perkosaan, korban pembunuhan, korban bully, korban dari kebijakan politik yang tak adil, yang tidak terkategori sebagai saudara.

Realita Kehidupan Kita

Pada tahun 1996, mendiang Paus Yohanes Paulus II pernah menulis sebuah ensiklik berjudul Evangelium Vitae (Injil Kehidupan). Dengan sudut pandang humanis-antropos, beliau mengutarakan keprihatinannya atas realitas hidup manusia modern. “Dengan hidup ‘seakan-akan Allah tidak ada’, manusia tidak hanya kehilangan pandangan atas misteri Allah, melainkan juga atas misteri dunia dan misteri kenyataannya sendiri” (EV 22).

Kita semua pasti setuju bahwa hidup manusia tidak lagi mendapat perhatian yang baik dan serius dalam diri manusia sendiri. Nilai ilahi manusia telah tergusur dan lalu tergantikan oleh nilai-nilai kejahatan. Seakan-akan hidup manusia itu ada hanya seputar kekerasan, pencabulan, pemerkosaan, pembunuhan,dan lain-lain. Seperti yang hari-hari ini terjadi: pembunuhan terhadap ibu dan anak, persekusi terhadap yang beragama lain, pemerkosaan di tempat-tempat berlabel agama, dan sebagainya.

Baca juga :  Pemikiran Sosial-Politik Sutan Sjahrir

Ini adalah sebuah krisis yang mana tingkah laku kejahatan hampir mendapat pengakuan publik sebagai sebuah budaya. Semakin hari orang semakin suka untuk tinggal dalam budaya tingkah laku kriminal dan kejahatan. Sangat sayang, bahwa semakin modern zaman kita, semakin primitiflah cara pandang manusia terhadap yang lain. Dengan demikian, kita tampak semakin menegaskan kebenaran perkataan Thomas Hobbes, homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi sesamanya.

Bagi Paus Yohanes Paulus II, situasi suram zaman modern ini sebagai surutnya kesadaran akan Allah dan akan manusia (EV 21). Pada nomor yang sama ia menambahkan, “Orang-orang membiarkan diri dipengaruhi oleh iklim mudah terjebak dalam lingkaran setan yang menyedihkan: bila hilanglah kesadaran akan Allah, ada kecenderungan pula untuk kehilangan kesadaran akan manusia” (EV 21).

I and Thou: Cara Pandang Menggerakan Persaudaraan

Budaya menghilangkan nyawa maupun melecehkan martabat manusia secara sengaja tidak boleh mendapat pembiaran secara terus menerus. Sebab budaya semacam ini tidak identik dengan budaya manusia. Budaya-budaya ini merupakan budaya buas milik binatang.

Untuk itu, kita perlu berbenah diri mengenai cara pandang kita terhadap yang lain. Seorang filsuf Yahudi bernama Martin Buber (1878-1965) pernah melahirkan sebuah teori yang terkenal dengan teori I and Thou, I and It (Martin Buber: I and Thou, 1937).

I-Thou berarti melihat yang lain sebagai subjek. Antara I dan Thou, ada sebuah ruang relasi yang bagi Buber merupakan Love (cinta kasih). Dalam relasi itu, I dan Thou bertemu dan saling menjalin hubungan positif. Relasi Love itu, menurut Buber, tidak hanya tertuju kepada manusia tetapi juga kepada yang bukan manusia. Maka, kata yang tepat yang dipakai oleh Buber untuk mengaktualisasikan relasi I-Thou ini adalah solidaritas.

Baca juga :  Guratan Makna Sosial-Politik Sawah Lodok dalam Pijar Filsafat Aristoteles dan Thomas Aquinas

Berbeda dengan ­I and It. I-it berarti melihat yang lain sebagai objek. Itu berarti ada misi tertentu yang ingin dicapai subjek terhadap objek. Objek adalah sumber pemuas kenikmatan bagi subjek, tetapi objek tidak mendapat apa-apa selain kehancuran. Dengan kata lain, subjek menggunakan objek untuk memperoleh tujuan pribadinya. Antara I dan it ada relasi intim yang terputus.

Pembunuhan, pencabulan, pemerkosaan, dan aborsi termasuk dalam kategori I-it. Sesamanya adalah It (objek). Objek dipandang rendah oleh subjek. Tidak ada penghargaan terhadap sesama di matanya. Nilai ilahi dalam diri manusia menjadi murah oleh karena tujuan subjek. Secara lebih dalam, mentalitas ini menggambarkan mentalitas hukum rimba yang sebenarnya melekat pada diri binatang-binatang. Namun, sayang sekali, akhirnya manusia mengambilnya sebagai miliknya.

Untuk itu kita perlu berbenah cara pandang. Sejalan dengan konsep I-Thou dari Martin Buber, kita perlu melihat yang lain sebagai subjek yang menyapa. Subjek yang menyapa itu tidak lain adalah saudara. Yang kita sapa adalah saudara kita. Yang di depan kita adalah saudara. Mereka bukan yang sama sekali asing. Tetapi mereka adalah sesama saudara.

Baca juga :  Keadilan Sosial dan Korupsi Politisi

I  mesti melihat Thou sebagai makhuk ilahi karena berasal dari Sang Ilahi. Manusia memiliki nilai hidup yang luhur. Dalam bahasa Paus Yohanes Paulus II, manusia memiliki ciri keramat dan tidak dapat diganggu gugat, yang memantulkan sifat tidak dapat diganggu gugat bahkan dari Sang Pencipta sendiri (EV 53).

Natal Menggerakan Persaudaraan

Natal adalah peristiwa lahirnya kehidupan baru. Allah yang hadir di tengah dunia adalah Allah yang hidup. Dia yang hidup mengambil rupa manusia agar manusia-manusia yang telah mati menjadi hidup di dalam Dia. Di dalam bayi yang baru lahir itu ada kehidupan baru, kehidupan yang merangkul semua sebagai saudara. Karena semua adalah saudara.

Untuk itu, Natal adalah saat yang tepat untuk kita semua untuk membaharui diri dan cara pandang kita terhadap sesama. Natal mengundang kita untuk hadir sebagai saudara. Karena katong samua basodara.

Penulis: Mario F. Cole PutraEditor: Mario F. Cole Putra