ClaretPath.com – Sutan Sjahrir merupakan salah satu tokoh bangsa yang penuh petualangan. Perjuangannya di masa akhir menuju kemerdekaan perlu mendapat sorotan serius. Dia adalah tokoh yang sangat berpikir futuris. Pemikiran-pemikirannya masih relevan hingga saat ini, terutama tentang kaum muda. Buah pemikirannya dapat menjadi inspirasi bagi anak-anak bangsa untuk berjuang menuju kemerdekaan yang sesungguhnya.
Tokoh dengan julukan “Bung Kecil” ini sangat menentang paham fasisme. Saat itu Jepang menanamkan benih-benih fasisme melalui pendidikan chauvinistis fasistis selama 3,5 tahun, sehingga sungguh mengakar kuat dalam kepala orang-orang Indonesia, khususnya kaum muda. Sjahrir melihat bahwa pemuda saat itu hanya memiliki ketrampilan untuk menjadi prajurit yang berbaris untuk memenuhi perintah menyerang dan mengorbankan diri demi bangsa. Mereka tidak pernah dididik untuk menjadi pemimpin (Mangunwijaya, 1977: 33-34). Di sini Sjahrir ingin agar anak-anak bangsa bukan hanya menjadi seorang pesuruh, melainkan juga menjadi seorang pemimpin. Hal ini dapat kita katakan sebagai bentuk persiapan untuk masa depan Indonesia yang berdaulat dan tidak lagi diperintah oleh bangsa lain.
Sjarir menyayangkan mentalitas kaum muda saat itu. Dengan semboyan para pemuda saat itu, “merdeka atau mati”, mereka bergerak sangat liar. Sjahrir melihat bahwa pemuda selalu dalam keadaan bimbang meskipun mereka penuh gelora untuk mencapai kemerdekaan. Mereka belum punya pengertian yang luas akan arti kemerdekaan itu (Mangunwijaya, 1977: 34).
Sjahrir menjelaskan dalam pamfletnya yang berjudul Perjoengan Kita (1945) situasi selama tiga setengah tahun masa penjajahan Jepang yang sangat mengerikan. Dia melihat bahwa sendi-sendi masyarakat di desa terobrak-abrik serta runtuh karena kerja paksa. Dengan penculikan, orang desa terpaksa jadi romusha jauh dari tempat tinggalnya. Mereka juga menjadi serdadu, menyerahkan hasil bumi dengan paksa, menanam hasil bumi dengan paksa, dan dengan sewenang-wenang yang tiada batasnya” (Sutan Sjahrir, 1945: 2-3). Situasi ini membuat Sjahrir berpikir bahwa untuk mencapai kemerdekaan anak-anak bangsa membutuhkan suatu usaha yang luar biasa. Kemerdekaan mereka butuh bayaran dengan harga perjuangan yang sangat mahal.
“Merdeka berarti terlepas dari kesewenang-wenangan, kelaparan dan kesengsaraan.”
Sutan Sjahrir (1909-1966)
Tanpa melupakan situasi yang pernah terjadi itu, Sjahrir memberikan suatu konsep kemerdekaan yang lebih luas. Baginya semboyan “merdeka” itu tidak saja berarti Negara Indonesia berdaulat dan terlepas dari penjajah. Kemerdekaan juga tidak saja berarti berkibarnya bendera merah-putih yang merupakan simbol persatuan dan cita-cita bangsa dan negara. Baginya kemerdekaan berarti dirinya sendiri terlepas dari kesewenang-wenangan, kelaparan dan kesengsaraan. Merah-putih baginya yang adalah simbol perjuangannya itu merupakan sebuah perjuangan kerakyatan. Kegelisahan dan penderitaan rakyat setelah kemerdekaan merupakan pekerjaan rumah besar menuju kemerdekaan sesungguhnya (Sjahrir, 1945: 2).
Sjahrir akhirnya menawarkan suatu revolusi yang ia sebut sebagai revolusi kerakyatan. Sjahrir melihat situasi bangsa Indonesia yang meskipun sudah mendapat kedaulatan masih terjajah oleh mentalitas feodalistik dan fasistik. Ia melihat bahwa seluruh kehidupan rakyat Indonesia terutama di desa-desa, alam kehidupan serta pikiran orang masih feodal. Penjajahan Belanda berpegang pada segala sisa-sisa feodalisme itu untuk menahan kemajuan sejarah bangsa Indonesia. Aturan-aturan yang berlaku atas rakyat di desa tak lain daripada lanjutan yang lebih teratur daripada kebiasaan feodal. Dengan demikian, Sjahrir melihat bahwa harga diri orang desa masih sebatas budak, bukan saja di dalam mata orang Indonesia sendiri, tetapi juga di dalam pandangan kaum penjajah Belanda, sehingga perlu berperang (Sjahrir, 1945: 15-16).
Sjahrir menilai bahwa pemuda yang berjuang sekarang ini harus mengisi pengertiannya dan mengubah penglihatannya. Dengan demikian, mereka tidak lagi merendah menjadi binatang berkelahi saja, tetapi dapat menjadi pemuda revolusioner yang mampu menghadapi dunia baru. Mereka menjadi pemuda yang bercita-cita dan mempunyai kesadaran serta pengertian yang jernih tentang duduk perjuangannya untuk rakyat bangsa Indonesia, serta kemanusiaan pada umumnya (Sjahrir, 1945: 32-33). Kaum muda perlu belajar untuk tidak hanya mengandalkan fisik, tetapi juga pikiran yang merupakan kekuatan besar untuk mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya.
Dari usaha Sjahrir, tampak bahwa revolusinya bercorak sosial (Sjahrir, 1945: 18). Revolusi ini dapat kita sebut sebagai sosialisme kerakyatan. Kaum buruh harus mendapat tempat dalam masyarakat. Semua ini seperti kerja sama demi suatu perubahan yang lebih besar. Tujuan dari revolusi ini adalah untuk menyebarkan secara luas kebebasan manusia serta konsep mengenai penghargaan terhadap martabat manusia. Gagasan mengenai sosialisme kerakyatan adalah gabungan dari kata sosialisme dan kerakyatan.
Menurut Sjahrir, pempimpin revolusi ini harus golongan demokratis yang revolusioner dan bukan oleh golongan nasionalisis yang pernah membudak kepada fasis-fasis lain, terutama fasis kolonial Belanda dan fasis militer Jepang. Titik awal perjuangan demokrasi revolusioner itu harus dengan membersihkan diri dari noda-noda fasis atau propaganda Jepang. Sjahrir bahkan mengatakan bahwa orang-orang yang sudah menjual jiwa dan kehormatannya kepada fasis Jepang harus disingkirkan dari pimpinan revolusi ini.
Menurut Sjahrir, perlu penyusunan ulang undang-undang dasar yang belum sempurna secara demokratis agar menjadi undang-undang dasar demokratis yang tulen. Sjahrir mengatakan bahwa hal yang sangat pokok dalam undang-undang ini adalah demi hak-hak pokok rakyat, yaitu hal-hal kemerdekaan berpikir, berbicara, beragama, menulis, mendapat kehidupan, mendapat pendidikan, turut membentuk dan menentukan susunan dan urusan negara dengan hak memilih dan dipilih untuk segala badan yang mengurus negara (Sjahrir, 1945: 20-21).
Dalam bidang agama, Sutan Sjahrir tidak terlalu memberikan fokus tentang itu. Dengan konsep pemikirannya yang demokratis, Sutan Sjahrir memberikan kebebasan yang seluas-luasnya dalam hal beragama. Dia ingin agar perlu ada jaminan kebebasan kehidupan beragama bagi semua masyarakat Indonesia. Tidak ada satu agama pun yang diistimewakan. Sjahrir memang tidak terlalu fokus pada persoalan agama karena dia sangat berkonsentrasi untuk membunuh benih-benih fasisme dan feodalisme dengan revolusi kerakyatan (sosialisme kerakyatan) yang ia tawarkan. Baginya perlu ada penghormatan pada kebebasan beragama. Hal inilah yang mungkin menjadi alasan paling logis Sjahrir menawarkan konsep kebebasan dalam beragama.
Sjahrir memang merupakan seorang tokoh revolusioner yang sangat ulung. Pemikiran-pemikirannya sangat membantu untuk melihat perjuangan rakyat Indonesia pada zaman itu. Pemikiran ini membawa rakyat Indonesia pada suatu kemerdekaan sejati. Sjahrir mengatakan bahwa kemenangan yang berarti itu ialah kemenangan yang berisi, bukan kemenangan nama dan kehormatan semata saja. Alamat tuju pedoman yang sebenarnya untuk perjuangan politik bangsa Indonesia adalah isi. Menurut Sjahrir, “Indonesia Merdeka” harus dibayar dengan harga demokrasi yang tulen. Sjahrir lebih mementingkan perjuangan politik yang berisi, bukan sebatas simbol saja. Bagi Sjahrir, Negara Republik Indonesia merupakan nama pada isi (Sjahrir, 1945: 24).
Ket: tulisan ini dulu publikasi di penaclaret.com, kini publikasi ulang di ClaretPath.com ini, setelah terdapat beberapa revisi.
Referensi:
- Mangunwijaya, Y. B. (1997, April). Dilema Sutan Sjahrir: Antara Pemikir dan Politikus. Dalam Prisma, Vol 8. 24-43
- Sjahrir, Sutan. (1945). Perjuangan Kita.

Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, program studi Filsafat Keilahian. Pengagum karya Tere Liye. Berasal dari kota Karang, Kupang, NTT.