ClaretPath.com – Kok Ada Baptisan Bayi?
Entah ke mana kita bermisi, kita pasti akan berhadapan dengan berbagai persoalan dan pertanyaan teologis; seperti iman, spiritual, misi dan pastoral. Ini bukanlah kebaruan di tengah dunia kekristenan, tetapi fakta dan wajah lama yang selalu mencuat ke permukaan. Salah satu persoalan yang sering muncul adalah soal baptisan bayi.
Tidak sedikit orang bertanya tentang baptisan bayi (paedobaptism). Ada pertanyaan; mengapa ada baptisan bayi? Kok ada baptisan bayi? Bukankah iman itu suatu tanggapan pribadi manusia? Ada pula pernyataan; bayi belum mempunyai kesadaran, atau setiap orang mempunyai kebebasan dalam memilih jalan hidupnya, dan lain sebagainya. Pertanyaan dan pernyataan yang ada tidak hanya datang dari orang Kristen, tetapi juga pemeluk agama lain dan para ateis.
Tentu ada pro dan kontra dalam praktek baptisan bayi. Akan tetapi, sebaiknya kita tidak boleh gegabah menilai praktek ini dengan gamblang. Pertanyaan dan penyataan yang ada, hendak membantu kita untuk menggalih, mongorek dan memahami ajaran Gereja dengan baik. Untuk itu, penulis akan mencoba menanggapi pro-kontra ini secara sederhana.
Kita tahu bahwa ajaran Gereja Katolik mengakui adanya dosa asal dari setiap manusia. Bayi adalah manusia, maka bayi berdosa. Ada pengecualian, yakni bayi mungil Yesus Kristus. Dia adalah manusia dan sekaligus Tuhan. Kristus adalah Allah (Yoh 1:1) merendahkan diri dan mengambil rupa manusia (Flp 2:6-8) untuk mengangkat manusia menjadi anak-anak Allah berkat penebusan-Nya (Gal 3:26).
Logika ini perlu disadari setiap insani Katolik. Tidak boleh ada anggapan bahwa bayi tidak ada dosa, karena mereka belum melakukan/berbuat sesuatu. Anggapan ini memang benar adanya, tetapi keyakinan iman Katolik menegaskan bahwa setiap orang mempunyai dosa asal. Ia lahir dari rahim seorang yang berdosa. Kedosaan orang yang melahirkan bayi itu melekat pula di dalam dirinya.
Pengetahuan bayi belum sampai pada titik untuk pemahaman. Untuk itu, peranan orang lain yang dekatnya menjadi satu kekuatan. Dalam moral Kristiani dikatakan bahwa orang lain memiliki tanggung jawab dengan sesama yang lain. Dengan demikian, kasus baptisan bayi, peranan orangtua menjadi kekuatan untuk melegitimasinya.
Dalam Injil Sinoptik ditegaskan Yesus, bahwa tidak boleh ada seorangpun yang menghalangi anak-anak datang kepada-Nya, karena mereka adalah empunya Kerajaan Surga (Mat 19:14; Mar 10:14; Luk 18:16). Artinya anak-anak di sini adalah termasuk para bayi. Bahkan Kitab Suci menekankan dengan keras bahwa, kalau ada yang menghalangi atau menyesatkan anak-anak, maka akan memperoleh hukuman yang berat (Mat 18:6).
Baptisan menjadi salah satu jalan untuk anak-anak datang kepada Yesus sesuai perintah-Nya. Dalam lingkaran ini, baptisan diperlukan untuk keselamatan. Kitab Suci mengatakan bahwa barang siapa percaya dan dibaptis, maka dia akan diselamatkan (Yoh 3:3-5; Mrk 16:16). Hal ini pula ditegaskan secara Yuridis oleh Gereja lewat KHK 1983 kanon 849, bahwa “baptis, pintu sakramen-sakramen, yang perlu untuk keselamatan, entah diterima secara nyata atau sekurang-kurangnya dalam kerinduan, dengannya manusia dibebaskan dari dosa, dilahirkan kembali sebagai anak-anak Allah……”
Untuk sampai pada tahap ini, peran orangtua atau walinya menjadi penting. Orangtua dengan sadar dan terbuka untuk rahmat keselamatan bagi anaknya. Kita semua mengamini bahwa tidak ada orangtua yang mau anaknya menderita karena dosa. Spektrum ini mengundang para orang tua untuk memberi bayi mereka agar dibaptis.
Bahkan Kitab Hukum Kanonik mewajibkan setiap orangtua untuk mengusahakan baptis bayi dan anak-anak mereka sesuai dengan prosedur dan ketenuan yang ada. Kan 867–§1. “Para orangtua wajib mengusahakan agar bayi-bayi dibaptis dalam minggu-minggu pertama; segera sesudah kelahiran anaknya, bahkan juga sebelum itu, hendak menghadap pastor paroki untuk memintakan sakramen bagi anaknya serta dipersiapkan dengan semestinya untuk itu. § 2. Bila bayi berada dalam bahaya mati, hendaknya dibaptis tanpa menunda-nunda.”
Tidak hanya berhenti di sini, tetapi ini juga merupakan amanat dan tugas pemuridan, pembaptisan dan pengajaran yang disematkan Yesus di dalam setiap hidup orangtua (bdk. Mat 28:19-20). Orangtua mempunyai tanggung jawab untuk membawa anak-anaknya kepada Yesus sebagai “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 4:16) lewat sakramen pembaptisan.
Namun dalam situasi ini, acap kali ada pernyataan “kok ada baptisan bayi?” dan pertanyaan, “apakah dengan baptisan bayi, maka orang tua merenggut kebebasan bayi mereka?” Tentu saja tidak. Hal ini kita bisa sandingkan dengan fenomena lain. Misalnya, ketika seorang bayi mengalami sakit dan diantar ke rumah sakit. Tentu dalam pengobatan dan perawatan tersebut tidak dibutuhkan persetujuan (informed consent) dari si bayi. Akan tetapi, orangtua atau pihak kedua mengambil peran untuk itu. Ini sudah menjadi tatanan kodrat yang tidak terelakkan lagi.
Hal serupa yang dipraktekkan dalam pembaptisan bayi, yakni peran orangtua atau pihak kedua untuk bertanggungjawab dengan kehidupan si bayi. Dengan pembaptisan ini, orangtua dituntut untuk selanjutnya mendidik si anak dengan cara dan semangat hidup iman katolik. Kan 868-§1 menegaskan bahwa, “Agar bayi dibaptis secara licit, haruslah: (1) orantuanya, sekurang-kurangnya satu dari mereka atau yang secara legitim menggantikan orangtuanya, menyetujuinya. (2) Ada harapan cukup beralasan bahwa anak itu akan dididik dalam agama katolik, bila harapan itu tidak ada, baptis hendak ditunda menurut ketentuan hukum partikular, dengan memperingatkan orangtuanya mengenai alasan itu.”
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa pembaptisan bayi diperbolehkan dan bahkan diwajibkan untuk mendapat keselamatan bagi si bayi atau anak-anak. Asalkan sesuai prosedur yang ada. Kok ada baptisan bayi? Ada dong!
Penulis Buku “Dialektika Lepas” dan Mahasiswa Pasca Sarjana Prodi Filsafat Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta