(Refleksi filosofis atas ajaran Atman dalam filsafat India)
“Kenalilah dirimu” merupakan adagium klasik yang terpampang di depan pintu masuk kuil Apollodi Delhphoi, tempat orang Yunani mencari kebijaksanaan (Pandor, 2014:5). Ungkapan ini mau menjelaskan tentang pentingnya mengenal diri. Mengenal diri merupakan pintu masuk menuju kebijaksanaan. Demikian juga dengan orang India, mereka menyakini bahwa kebijaksanaan tercapai ketika Atman menyatu dengan Brahman. Manusia yang menyadari kebaradaan Atman di dalam dirinya akan mengalami pencerahan atau transendensi diri, di mana diri mampu menyatu dengan roh alam semesta.
Tahap awal dari perjalanan menuju transendensi diri atau Atman adalah mengenal diri. Mengenal diri merupakan sebuah proses yang cukup sulit karena dalam diri manusia mengandung tiga lapisan. Lapisan pertama adalah citra diri (self image) mengenai apa kata orang tentang kita; lapisan kedua kosep diri (self consept) mengenai apa kata saya tentang diri saya; dan lapisan ketiga jati diri (true self) esensi dari diri kita (Pandor, 2014:4). Ketiga lapisan ini menjadi dasar dari diri manusia. Banyak persoalan kemudian muncul dalam diri manusia disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menemukan jati dirinya.
Kebanyakan orang dewasa ini mengalami kebosanan, kejenuhan, kesepian, keputusasan yang berujung pada praktik amoral seperti membunuh diri. Persoalan semacam itu, terjadi ketika manusia tidak mampu mengenal diri. Ketidakmampuan untuk mengenal diri membuat manusia cenderung mamandang hidup secara negatif. Dan mereka lupa bahwa dalam dirinya bersemayam kekuatan yang melampaui kemampuannya yakni daya spritual. Kekuatan itu tidak lain adalah roh yang menghidupkan, menguatkan dan membawa manusia pada tataran yang transenden.
Upanisad merupakan salah satu kitab yang mengajarkan tentang hubungan Atman dan Brahman. Atman dapat diartikan sebagai percikan kecil dari Brahman yang berada dalam setiap makhluk hidup. Sedangkan Atman dalam badan manusia disebut jiwa tau roh yaitu yang menghidupkan manusia (Takwin, 2003:2). Jadi Atman adalah segi subjektif dari kenyataan, “diri” manusia dan Atman merupakan dimensi keilahian dari diri manusia.
Inti terdalam dari diri manusia adalah Atman. Atman (roh/jiawa) yang memungkinkan manusia mencapai yang transenden, actus purus, Brahman, realitas tertinggi. Atman merupakan percikan yang tak terbatas dan bersemayam di dalam keterbatasan tubuh manusia. Jadi Atman adalah Brahman, karena Atman merupakan bagian dari Brahman. Brahman dapat diketahui melalui pengalaman pengakuan diri, yakni pengalaman kesadaran diri yang lengkap, atau pada Atman (Koller, 2010:47).
Atman merupakan jati diri dari manusia. Pada Atman terdapat kebahagian sejati. Proses menuju Atman pada dasarnya merupakan perkara kedalaman hingga ke lubuk dasar eksistensi manusia. Atman lebih dalam dari diri inderawi dan lebih dalam lagi adalah kegiatan intelektual. Namun masih lebih dalam dari kegiatan intelektual adalah kebahagiaan dari kesadaran paripurna (Koller, 2010:41). Jadi kebahagian kekal akan terjadi ketika Atman (jiwa/roh) manusia menyatu dengan roh murni (Brahman).
Tentu Kebahagian jenis ini, sifatnya permanen melampaui keterbatasan manusia seperti penderitaan, perjuangan, kecemasan, dan kematian. Ketika manusia mampu menerima situasi keterbatasan dalam dirinya, serentak ia juga sedang mengakui adanya realitas yang tak terbatas. Mengenal diri yang sesungguhnya harus sampai pada titik mengakui keterbatasan diri. Uangkapan “saya tahu bahwa saya tidak tahu” merupakan wujud nyata dari kesadaran akan keterbatasan diri.
Kesadaran atas keterbatasan diri memungkinan jiwa terus bergerak menuju pada pemurnian diri. Diri yang murni bersemayam Atman yang menghadirkan kebahagian yang merupakan tujuan dari peziarahan hidup manusia. Di mana diri mengalami pencerahan, inilah tingkat tertinggi dari kesadaran jiwa ketika jiwa bersatu dengan Yang Ilahi (Brahman). Ketika mata jiwa (Atman) dibuka dan menemukan bahwa dirinya mengatasi kehidupan, maut dan kematian, karena dirinya adalah roh murni, dari awal dan akan senantiasa demikian (Triatmoko, 2006:165).
Mengenal diri berarti mengenal esensi dari diri. Dengan pengenalan tersebut, kita mampu menyadari kekurangan dan kelebihan yang ada dalam diri kita (Pandor, 2014:217). Menyadari kekurangan dan kelebihan dalam diri merupakan sikap kebijaksanaan. Tentu kebijaksanan yang dimaksudkan di sini ialah kebijaksanaan ala St. Agustitus yakni “rendah hati, rendah hati dan rendah hati”. Jadi kenalilah dirimu supaya menjadi bijaksana, sebab orang bijaksana di dalam dirinya bersemayam Atman yang menghadirkan sukacita.
Sumber-sumber:
Pandor Pius, Seni Merawat Jiwa Tinjauan Filosofis, Obor: Jakarta, 2014.
Koller M. John, Filsafat Asia, Ledalero: Maumere, 2010.
Triatmoko B. B., Antara Kabut dan Tanah Basah Perjalanan Tujuh Tingkat Kesadaran Jiwa, Kanisius: Yogyakarta, 2006.
Takwin Bagus, Filsafat Timur: Sebuah Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur, Jalasutra: Depok, 2003
ClaretPath.Com adalah ruang pengembangan bakat menulis dan media kerasulan, terinspirasi dari Santo Antonius Maria Claret, Pelindung Pers Katolik.