Haruskah Manusia Takut Pada Kematian?: Belajar Memaknai Kematian bersama Epikuros

Kematian bersama Epikuros
Gambar: Ilustrasi Kematian bersama Epikuros

ClaretPath.com – Berhadapan dengan kematian, reaksi setiap orang akan berbeda. Bagi mereka yang sudah mempersiapkan diri dengan baik selama hidup atau menderita sepanjang hidup, kematian bisa saja menjadi hal yang paling dirindukan. Bagi mereka yang merasa masih memiliki tanggung jawab yang harus diselesaikan di dunia atau masih ingin menikmati hidupnya, kematian tentu akan dilihat sebagai hal menakutkan. Kematian bersama Epikuros

Gagasan Epikuros tentang kematian menarik untuk diikuti. Ia mulai dengan gagasannya tentang para dewa. Bagi Epikuros, opini kosong dari orang-orang tentang dewa yang menuntut banyak dari manusia atau yang akan mengadili manusia, kemudian membawa orang pada perkiraan yang salah bahwa setelah kematian, jiwa akan tetap hidup dan akan mengalami pengadilan para dewa. Inilah titik awal kecemasan manusia atas kematiannya. Menanggapi hal ini, ia menegaskan bahwa kematian sebenarnya tidak berarti apa-apa untuk manusia.

Dalam Surat Kepada Menoekeus § 125[1], Epikuros mengatakan: “kematian bagi kita tidak mempunyai arti, karena segala apa yang baik dan apa yang buruk hanya berdasarkan perasaan, akan tetapi kematian adalah (justru) peniadaan perasaan”.

Bagi Epikuros, perasaan/sensasi merupakan satu-satunya kriteria untuk menilai kebenaran. Hanya orang hidup yang memiliki sensasi. Ketika orang sudah meninggal, sensasi itu tak ada lagi, karena itu tak ada lagi yang harus dikhawatirkan. Hilangnya sensasi berarti hilang juga manusianya.

Bagi Epikuros, meskipun kematian itu buruk bagi manusia, ia sama sekali tidak berarti. Dalam Surat Kepada Menoekeus § 125, ia mengatakan: “selama kita ada kematian tidak ada, dan pada saat kematian ada, kita tidak ada lagi”.

Baca juga :  Taman Nasional Komodo Tumbal Atas Kekuasaan?

Selama hidup, manusia ada karena ia memiliki sensasi (tidak ada kematian). Ketika ia mati, maka selesailah hidupnya karena ia tak lagi memiliki sensasi (ia tak ada lagi). Oleh karena itu, kematian tidak menyangkut orang hidup, dan tidak juga orang mati, karena ketika yang satu (yang hidup) ada, kematian tidak (belum) ada, dan ketika manusia mati, ia sama sekali tidak ada lagi. Sensasi (perasaan) sebagai salah satu ukuran kebenaran menjadi kriteria pertama untuk menilai pantas atau tidak seseorang takut terhadap kematian.

Epikuros adalah seorang filosof Atomis. Menurutnya, segala sesuatu dalam alam semesta ini terjadi karena jalinan atom-atom tanpa berkesudahan. Gagasan tentang kematian juga bertolak dari keyakinan dasar atomisnya ini. Dalam Surat Kepada Herodotus § 54, Epikuros mengatakan: “atom-atom tidak menurunkan kualitas/sifat atau kodrat apapun pada objek-yang dapat diindera, kecuali bentuk, ukuran dan berat”.

Kualitas-kualitas itu ada bersama (conjoined) dengan bentuk. Kualitas bisa berubah, sedangkan atom-atom tidak. Ketika tubuh hancur, kualitas pun hancur, tetapi atom tetap ada. Perasaan/sensasi (termasuk kualitas dalam diri seseorang) dengan demikian hanya ada dalam diri orang yang hidup. Ketika ia mati, tubuhnya akan hancur dan dengan demikian perasaannya tiada lagi. Jika perasaan, yang menjadi penentu baik buruknya kehidupan sudah tidak ada lagi (sebagaimana terjadi pada orang mati), kematian dengan demikian bukan apa-apa dan memang tidak berarti sama sekali.

Baca juga :  Kekerasan Seksual: Mengganti Budaya Diam dengan Sensibilitas

Pendapat Epikuros bahwa kematian tidak berarti apa-apa bagi manusia dapat juga dihubungkan dengan gagasannya mengenai jiwa. Dalam Surat Kepada Herodotus § 63-65 ia mengatakan: “Jiwa adalah ada yang bertubuh, tersusun atas partikel halus, dan tersebar dalam tubuh […] ketika jiwa binasa, ia kehilangan perasaan. Karena jiwa tidak punya kekuatan dalam dirinya sendiri, tetapi merupakan bawaan dari tubuh, disediakan oleh tubuh […] dan selama jiwa berada dalam tubuh, ia tidak pernah kehilangan perasaan meski ada bagian-bagian dari tubuh itu yang musnah […] ketika seluruh tubuh musnah, ia akan tersebar dan tidak lagi punya kekuatan […] karena itu, ia tidak lagi memiliki perasaan.” Jiwa sebagai unsur yang sangat bergantung pada tubuh akan lenyap bersama lenyapnya tubuh. Jiwa akan menguap bersama adanya kematian.

Manusia hanya bisa menikmati hidupnya ketika ia memahami hal ini. Ketika kesadaran akan kepastian kematian (bahwa setelah kematian ia tidak ada lagi dan bukan apa-apa lagi) tidak membuat ia takut menjalani hidup, saat itu hidupnya menjadi menyenangkan. Karena tidak berarti apa-apa untuk manusia, kematian sebenarnya tidak menakutkan sama sekali. Hanya orang bodoh yang hidupnya selalu berada dalam bayang-bayang kematian. Dan kebodohan ini menyiksa hidupnya selama ia menantikan kematian. 

Pengertian Epikuros ini dimaksudkan agar orang menerima saja kematiannya tanpa harus dibayang-bayangi ketakutan. Dalam Surat Kepada Menoekeus § 125, ia mengatakan:

Kalau orang berkata bahwa ia takut mati, tetapi bukan karena ia akan menderita pada saat kematian datang, melainkan karena kesadaran bahwa kematian akan datang sudah membuat sedih, dia itu tolol; karena tak masuk akal sama sekali bahwa sesuatu yang kenyataannya sendiri tidak menakutkan, malah membuat kita menderita karena dan selama kita menantikannya.” 

(Surat Kepada Menoekeus § 125)

Yang mengerikan dari kenyataan adanya kematian bukan kematian itu sendiri tetapi anggapan-anggapan yang kosong dan keliru (bahwa kematian mengerikan, bahwa setelah kematian akan ada pengadilan dari para dewa,dll), yang membuat hidup tersiksa selama orang menantikan kematiannya.

Baca juga :  Menjadi Satu

Akhirnya, bagi Epikuros, orang yang bisa hidup tenang di dunia adalah orang yang sama sekali bebas dari ketakutan akan kematian, karena ia paham betul kematian bukanlah hal yang mengerikan. Orang yang sudah paham dengan semua inilah yang bisa diarahkan untuk mengejar kebahagiaan.

Songsonglah kematianmu dengan senyum..😇


[1] Dikutip dari Diogenes Laertius, Lives Of Eminent Philosopher (Vol. lI), translated by R. D. Hicks (London and New York: William Heinemann and G.P Putnam’s Sons, 1925). Surat Kepada Herodotus dan Menoikeus yang dikutip dalam tulisan ini akan didasarkan pada sumber Diogenes ini.