Kamu Nanye  Kerusuhan? Hobbes Menjawab!

Fr. Ryan Nefrindo, CMF

Kamu Nanye Kerusuhan? Hobbes Menjawab!
Picture by Claretpath. Com and Canva.com

ClaretPath.com | Kamu Nanye  Kerusuhan? Hobbes Menjawab!

1. Latar Belakang

Mungkin para pembaca yang muklis masih ingat guyonan yang sempat viral, Kamu nanye? Bukan sekadar lucuan belaka. Kalau ingin ditelisik lebih dalam. Tidak dapat dielak lagi bahwa sepak bola menuai kesuksesan besar. Dimana-mana kita menemukan penggemarnya, tentu saja dengan klubnya. Karena itu bukan kejutan, kalau event sepak bola selalu diwarnai kemeriahan dan euforia. Akan tetapi ternyata kemeriahan ini juga memboncengi sisi suram, bahkan gelap.

Beberapa pekan yang lalu, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan peristiwa kematian suporter di stadion Kanjuruhan Malang akibat kerusuhan. Padahal itu merupakan pertandingan dalam liga negara sendiri di mana kemeriahan dan euforia menjadi ekspektasi.[1] Akan tetapi faktanya berkata tragis? Ada apa dibalik semuanya ini? Kamu nanye?

Bukan fenomena tunggal lagi kekerasan dan kekacauan yang terjadi di Indonesia, melainkan fenomena jamak. Media-media Indonesia pun hampir tak berhenti menayangkan kasus-kasus kerusuhan atau kekerasan.

Berdasarkan kajian Kompas tahun 2019, Indonesia terdeteksi variasi kasus kerusuhan yang cukup memprihatinkan dan telah menelan korban jiwa. Kasus itu dapat berupa anggapan rasis, kesalahpahaman, hoaks, hingga provokasi. Sebut saja beberapa di antaranya kerusuhan Pontianak pada yang terprovokasi aksi 22 Mei di Jakarta (22/05/2019), video hoax yang berujung pada pembakaran kantor Polsek Tambelangan Sampang (22/05/2019), kerusuhan di Buton dengan jumlah 87 rumah dibakar dan 2 orang tewas (05/06/2019), kerusuhan di Fakfak dan Timika (21/08/2019), kerusuhan di Wamena (23/09/2019), kerusuhan di Jayapura (23/09/2019).[2]

           

Kamu Nanye dan Hobbes Menjawab

Nah, Thomas Hobbes, seorang filsuf Inggris akan mencoba menjawab pertanyaan, kamu nanye di atas. Filsuf Inggris ini secara blak-blakan mengatakan sebenarnya manusia adalah serigala bagi sesamanya, “homo homini lupus”, Menurutnya, hakikat manusia adalah buas dan hidup liar seperti binatang liar pada umumnya. Manusia selalu mencari keuntungan dan keselamatan dirinya. Karena itu, realitas kehidupan proto manusia adalah bellum omnium contra omnes, perang semua melawan semua. Layaknya binatang yang saling merebutkan makan demi mempertahankan hidupnya. Manusia adalah egois dan brutal. Maka, setelah melihat kasus kekerasan yang terjadi sekarang, apakah benar manusia adalah serigala bagi sesamanya? sebagaimana dikatakan Hobbes. Atau masih relevankah argumentasi Hobbes dengan situasi Indonesia?

2. Pembahasan

Situasi sosial- politik Thomas Hobbes

            Hobbes hidup pada pada abad ke-17, di tengah situasi perang saudara di Inggris antara kubu Charles I dan kubu Parlemen.  Dan alhasil, kemenangan diraih oleh kubu Parlemen. Abad ke- 17 sendiri menonjolkan situasi perang agama dan terjadi persaingan antara partai raja(absolut) dengan partai parlemen. Hobbes pun berusaha mencetuskan strategi politik guna meredam situasi kaos dengan konsepsi Leviathan.[3]

  

Manusia dan sosialnya menurut Hobbes

            Di sisi lain, Hobbes mengafirmasi bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk individualis, buas, dan selalu ingin memuaskan kepentingan sendiri. Pemeliharaan diri itu kemudian mengarah pada egoisme dan motif kenikmatan. Maka, bangkit pula hedonisme.[4] Hobbes berargumen bahwa terdapat tiga fakta menjadikan konflik, yakni kompetisi untuk memperoleh keuntungan, ketidakberanian untuk memperoleh keselamatan, dan kemuliaan sebagai kesenangan untuk mendominasi yang lain.[5]

            Hobbes mengatakan bahwa manusia juga makhluk antisosial, karena pemeliharaan diri tadi yang bisa berkonfrontasi dengan pemeliharaan diri orang lain. Manusia mendapat dua tugas, yakni mempertahankan kehidupan manusia dan mempertahankan identitas manusia (pribadinya).[6] Persaingan merupakan arena penting mempertahankan diri. Hobbes pun mempromosikan kekuasaan sebagai senjata ampuh mengekspresikan dan memanifestasikan pemeliharaan itu. Pengidentikan manusia yang memiliki hasrat menguasai kemudian terjadi bentrokan-bentrokan atau persaingan. Situasi manusia seperti itu mengusulkan bellum omnes contra omnia (perang semua melawan semua). Perang itu selanjutnya menempatkan manusia sebagai homo homini lupus.[7]

            Persaingan tersebut bagi Hobbes hanya dapat dikendalikan dengan pemberlakuan hukum dan peraturan dalam lingkungan sosialnya. Pengakuan pemerintah seperti itu termasuk alasan Hobbes menjelaskan tentang negara sebagai Leviathan atau cara menertibkan manusia dan membatasi kecenderungan- kecenderungannya mereka perlu diberi rasa takut.[8] Melalui peraturan perundang- undangan manusia dapat terhindar dari peperangan atau persaingan. Tanpa peraturan manusia terdisintegrasi dan peperangan.[9] Pemerintah diposisikan sebagai penengah mengeksekusi pertentangan atau konflik masyarakat. Mengaktualisasikan fungsi itu pemerintah memerlukan kewenangan politik yang absolut. Pengabsolutan ini dimaksudkan dengan keputusan final terkait regulasi bertingkah laku berada di tangan pemerintah yang berdaulat. Kewenangan absolut seterusnya berperan untuk mengantisipasi dan menetralisir setiap tindakan merugikan dalam sosial.[10]

Baca juga :  Tanda-Tanda Zaman | Review Buku

Thomas Hobbes menilai Indonesia

            Maka, kekerasan di Indonesia dapat saja tercetus karena karakter individualisme, pertahanan diri, dan kesenangan seperti dikatakan Hobbes. Merasa dirugikan orang pun mencari celah untuk menumbangkan orang yang menjadi penghalang baginya. Atau karena kesenangan yang tak terhambat dan terhalang oleh pihak lain, sehingga ia pun mensiasatkan rencana buruk. Kembali lagi pada tragedi Kanjuruhan, barangkali kesenangan yang diludes oleh kekalahan tim lawan mengundang, apakah karena rasa senang supporter terhenti karena kekalahan, maka menciptakan kerusuhan dengan berakibat pada kematian adalah konsekuensinya?

            Memahami argumentasi Hobbes di atas, timbul pertanyaan lanjutan apakah kekerasan dan kekacauan yang terjadi di Indonesia atau kematian suporter di Malang itu, karena ketiadaan kewenangan absolut pemerintah atau ketidaktegasan aturan atau karena hal lain? Bisa jadi ada benarnya!

Hobbes, dengan Leviatannya, menguraikan secara lugas tentang peraturan perundangan berkapasitas mengendalikan keonaran dalam masyarakat.[11] Ironisnya, Indonesia selalu disebut-sebut sebagai negara hukum. Mengapa masih ada kekerasan?

Gagasan Hobbes tidak terlepas dari alasan sosial politik pada masanya. Ia menilai manusia berkarakter individualis, memusatkan perhatian dirinya dan dalam diri manusia ada kecenderungan untuk berkuasa. Latar belakang karakter seperti itulah acap kali menimbulkan persaingan, pertentangan, kekerasan, atau konflik dalam kehidupan sosial. Kengerian persaingan itu kemudian menjadikan homo homini lupus. Sesama pun dipandang sebagai ancaman pencapaian tertentu. Maka, bertindak kekerasan dan penyingkiran menjadi cara melancarkan keinginan.

            Meskipun pisau analisis Hobbes cukup mengena pada zamannya, konsepsi ini pun patut dikritisi karena  tenggelam dalam satu kelicikan ideologi, yaitu positivisme. Di mana Hobbes menerjemahkan manusia menurut hukum alam yang sudah fix atau pakem.[12] Nah, dari sinilah dapat ditemukan kekurangannya, bahwa Leviathan atau pihak yang sangat berkuasa sudah ada, yaitu negara (Indonesia) dan seperangkat hukumnya. Akan tetapi, toh homini lupus Hobbesian masih tetap ada.  Kita melihat kasus Kanjuruhan dan beberapa kekerasan yang telah disebutkan di atas tetap hadir, meskipun berpijak di atas bumi demokrasi dan hukum. Persis disinilah trias Politika ala John Locke menjadi komplementer konsepsi Hobbes ini.[13] Kaki tangan negara, seperti eksekutif, yudikatif, legislatif dan juga publik patut ditempatkan pada posisi yang saling mengoreksi dan kerja sama. Bertolak dari ini penulis mencoba memberikan solusi kecil bagi kekerasan yang menjamur dalam kehidupan publik kita dewasa ini.

 Selain kekuasan negara yang absolut, kekacauan yang tidak kunjung berhenti di Indonesia perlu dievaluasi dari sisi operasional hukum. Hukum tidak selesai dengan dirinya sendiri yang berisi huruf-huruf mati dan kesepakatan realitas ideal. Hukum membutuhkan mediasi atau modalitas[14], yakni semua elemen yang di dalamnya – Ingat Trias Politika Lock di atas! Karena itu, tidak jarang idealisme hukum tidak imun terhadap intensi picik para eksekutornya.  Fakta bahwa hukum di Indonesia tidak teraktualisasi sesuai dengan ekspektasi memberi sinyal kuat tentang hal ini. Sebagai negara hukum yang diselimuti banyak aturan- aturan semestinya mampu bersikap adil terhadap situasi- situasi sosial krusial sekarang.

Baca juga :  Dilematika "Berbelas Kasih"

Indonesia telah mengkonstruksi hukum. Bahkan Indonesia diidentikan sebagai negara hukum.  Akan tetapi, hukum tidak sendirinya beroperasi tanpa operatornya. Di sisi lain operator hukumnya bisa jadi tidak mengeksekusi secara bijaksana hukum yang ada. Hal itu diverifikasi via problem sosial yang tak bosan dipresentasikan dan berkontradiksi dengan norma hukum yang tertera. Jika fenomenanya seperti itu, kita membutuhkan solusi kreatif yang perlu untuk menuntaskan kejanggalan pada eksekutor hukum.

Akuntabilitas Dan Transparansi Sebagai Komplementer Leviathan Hobbes

Dalam etika publik (2016), Haryatmoko mengajukan aspek akuntabilitas dan transparansi untuk mengorganisir tindakan khususnya dalam jabatan publik. Akuntabilitas mengutarakan hal berhubung dengan pertanggungjawaban pemerintah, baik secara moral, hukum, dan politik atas kekuasaan atau jabatan yang diperoleh. Pejabat diproklamirkan bertanggung jawab sejauh mereka selaras dengan ketentuan hukum. Perhatian itu menganjurkan pihak pemerintah untuk mendasarkan tindakan pada hukum. Terdapat tiga poin penting yang ingin ditelusuri akuntabilitas, yakni fairness, tidak menyalahgunakan kekuasaan, dan kinerja.[15]

            Di sisi lain, akuntabilitas telah memuat dalam dirinya prinsip transparansi. Transparansi merujuk pada sikap pertanggungjawaban pemerintah dalam memberikan informasi secara relevan dan terbuka terhadap publik. Masyarakat dapat menuntut tanggung jawab terhadap penyelewengan kewajiban yang diperbuat. Prinsip transparansi ini sangat berkekuatan positif dalam mengantisipasi atau menghindarkan penyalahgunaan jabatan yang bertentangan dengan hukum.[16] Selain itu, transparansi  telah mengandaikan partisipasi sekaligus sebuah pendidikan politik bagi masyarakat.[17] Transparansi membuka lebar ruang publik yang bebas dominasi, yang mana masyarakat bebas mengaktualisasikan aspirasi mereka secara langsung , tanpa mediasi Perwakilan Rakyat.

Alih-alih terjadi penyelewengan kebijakan, akuntabilitas, check and Balance, dan transparansi memungkinkan tercapainya sebuah kebijakan yang terprediksi dan mendekati titik tujuan yang sungguh bersifat publik, nir-kepentingan pribadi atau oknum. Akan tetapi semuanya ini baru mencapai tahap penyembuhan pada struktur. Sementara etika publik juga mencakup subjek. Apalagi berbicara tentang kriminalitas dan HAM.  Karena itu, perlu juga berbicara tentang subjek, khususnya mereka yang menjadi korban gilsan Leviathan, yaitu negara bersama antek-anteknya

Catatan Kritis

Ahimsa: Perjuangan nir-kekerasan

Penyelewengan hukum dan kekerasan selalu ada korban. Kita melihat kekerasan tragedi Kanjuruhan, Poso, bom Bali dan lain sebagainya yang memilukan. Faktum semacam ini tidak dapat dielak. Luka psikologis pun masih memar dalam hati para korban dan atau keluarganya. Akan tetapi dendam hanya akan memperpanjang lingkaran setan. Apalagi menyelesaikan masalah. Pada titik inilah konsep ahimsa yang diperkenalkan Mahatma Gandhi kembali menjadi relevan.

            Barangkali tepat jika situasi kekerasan itu diluluhkan dengan nir-kekerasan (non- violence) atau ahimsa yang diungkapkan Gandhi. Ahimsa merupakan ajaran klasik agama Hindu. Ahimsa menekankan makna penolakan atau penghindaran secara total terhadap keinginan, kehendak, atau tindakan menyerang dan melukai yang lain. Gandhi mengatakan nir-kekerasan (non-Violence) adalah cinta. Ia mengatakan lagi bahwa cinta itu tidak hanya diperuntukkan orang- orang sekitarmu atau kenalanmu, tetapi juga bagi mereka yang bisa jadi menjadi musuhmu.[18]

            Pengalam apartheid dan kolonialisme di Afrika Selatan menjadi modal besar kelahiran ahimsa bagi Gandhi.[19] Ia menyadari bahwa perlawanan dengan kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan persoalan secara tuntas. Gandhi kemudian menawarkan pejuang tanpa kekerasan.  Berkaca pada kemampuan ini. Tesis Hobbes juga  bisa runtuh. Bahwa manusia serigala ternyata mampu melampaui dirinya, yaitu mencintai musuhnya.

            Para korban yang berjatuhan tanpa tahu kesalahan mereka. Menurut Golden Rule, mereka dibenarkan kalau membalas rasa sakit mereka. Akan tetapi Gandhi berkata lain. Para korban ini perlu melampaui ego mereka – transendensi diri. Dan kalau mereka mampu menahan ego mereka, mis. membalas dendam, mereka mampu mendapatkan sesuatu yang lebih besar. Konkretnya, merusak tatanan, melawan polisi, memboikot lalu lintas, merusak aset-aset publik sebagai aksi demo tidak membuahkan hasil yang maksimal, karena kerusakan yang ditimbulkan juga tidak sedikit. Adalah lebih masuk akal, melakukan perjuangan damai melalui wacana deliberatif di ruang publik[20], turut dalam check and balance, pendidikan politik, dialog intersubjektif antara rezim dan masyarakat (korban) akan lebih menimbulkan ruang kebebasan dan publik yang lebih humanis

Baca juga :  Cambuk Baudrillard Bagi Masyarakat Konsumeris

Daftar Pustaka

Alappatt, F. (2005). Mahatma Gandhi: prinsip hidup, pemikiran politik, dan konsep ekonomi, Bandung: Nusamedia.

Budi, S. (ed). (2019). Dalam “Kaleidoskop 2019:6 kasus kerusuhan di sejumlah tanah air, hoaks, rasis, hingga salah paham”, https://regional.kompas.com/read/2019/12/25/06120561/kaleidoskop-2019-6-kasus-kerusuhan-di-sejumlah-tanah-air-hoaks-rasis-hingga?page=all, diakses pada 24 November pukul 21.15 WIB

Hardiman, B.( 2004). Filsafat Modern.Jakarta: Gramedia.

  •   (2010 ).“Komersialisasi Ruang Publik Menurut Hanna Arendt dan Jurgen Habermas”, dalam  Ruang Publik, Yogyakarta: Kanisius,
  • (2009). Kritik Ideologi, Yogyakarta: Kanisius

Haryatmoko, J. (2015), Etika Publik, Yogyakarta, Kanisius

Magnis-Suseno, F. (2000). Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia

Raihan, Faishal. (2022). Dalam “Tragedi Stadion Kanjuruhan”, https://bola.kompas.com/read/2022/10/02/06083208/tragedi-stadion-kanjuruhan-127-orang-meninggal-dunia-180-dirawat-di-rs?page=all diakses pada 13 Oktober 2022 pukul 18.30 WIB

Simmons, A. John. (2008). Political Philosophy. New York: Oxford University Press

Surbakti, R.( 1992). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia

,

Suryadi, B. (2012). Pengantar Antropologi, Yogyakarta: Nusa Media

Wattimena, R. (2007). Melampaui  Negara Hukum Klasik, Yogyakarta: Kanisius

Yuana, A. (2010). The Greatest Philosophers 100 tokoh filsuf Barat dari abad 6 SM- abad 21 yang menginspirasi dunia bisnis. Yogyakarta: Andi Offset.


Catatan Kaki

[1] Faishal Raihan, dalam “Tragedi Stadion Kanjuruhan”, https://bola.kompas.com/read/2022/10/02/06083208/tragedi-stadion-kanjuruhan-127-orang-meninggal-dunia-180-dirawat-di-rs?page=all diakses pada 13 Oktober 2022 pukul 18.30 WIB

[2] Candra Setia Budi (ed), dalam “Kaleidoskop 2019:6 kasus kerusuhan di sejumlah tanah air, hoaks, rasis, hingga salah paham”, https://regional.kompas.com/read/2019/12/25/06120561/kaleidoskop-2019-6-kasus-kerusuhan-di-sejumlah-tanah-air-hoaks-rasis-hingga?page=all, diakses pada 24 November pukul 21.15 WIB

[3] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Jakarta: Gramedia, 2004), hal 65

[4] Frans Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, (Jakarta: Gramedia, 2000), hal. 10- 11

[5] A. John Simmons, Political Philosophy, (New York: Oxford University Press, 2008), hal. 24

[6] Budi Suryadi, Pengantar Antropologi, (Yogyakarta: Nusa Media, 2012), hal. 67

[7] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Jakarta: Gramedia, 2004), hal 70- 71

[8] Frans Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, hal. 10

[9] Kumara Ari Yuana, The Greatest Philosophers 100 tokoh filsuf Barat dari abad 6 SM- abad 21 yang menginspirasi dunia bisnis, (Yogyakarta: Andi Offset, 2010), hal. 137- 138

[10] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik,(Jakarta: Gramedia, 1992), hal.25-26

[11] Kumara Ari Yuana, The Greatest Philosophers 100 tokoh filsuf Barat dari abad 6 SM- abad 21 yang menginspirasi dunia bisnis, hal. 138

[12] Bdk. Hardiman, Kritik Ideologi, Yogyakarta: Kanisius,  2009

[13] Reza Wattimena,  Melampaui Negara Hukum Klasik, 2007, hal. 50

[14] Haryatmoko, 140

[15] Haryatmoko, etika publik, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), hlm.140-141

[16] Haryatmoko, etika publik, hlm. 148

[17] Haryatmoko, etika Politik, hal. 253

[18] Francis Alapatt, Mahatma Gandhi: prinsip hidup, pemikiran politik, dan konsep ekonomi, (Bandung: Nusamedia, 2005), hal. 60-61

[19] …., Basis, 2022

[20] Hardiman, “Komersialisasi Ruang Publik Menurut Hanna Arendt dan Jurgen Habermas”, dalam Ruang Publik, 2010

Penulis: RianEditor: Vendi Koli