Gembala sebagai Jalan Hidup

Gembala

ClaretPath.com – Menjadi gembala bukan sebuah pekerjaan belaka. Ini merupakan sebuah jalan hidup. Demikian kata Paus Fransiskus dalam Regina Caeli-nya pada hari Minggu Gembala Baik (21/04/2024), bertolak dari Injil Yohanes 10.

Ketika seorang memilih menjadi gembala, ia sedang memilih untuk berbagi seluruh waktunya bagi kawanannya. Ia berada bersama mereka bukan hanya pada waktu tertentu. Seorang gembala senantiasa ada dan hidup bersama gembalaannya.

Gembala tidak pernah terpisah dari kawanan gembalaan. Di mana mereka berada, gembala pun ada di situ. Ia hadir bersama mereka sepanjang waktu.

“Itu berarti berbagi sepanjang hari, bahkan malam, dengan domba-dombanya, tinggal bersama secara simbiosis bersama mereka (living in symbiosis with them),” tegas Paus Fransiskus.

Untuk memperjelas cara hidup seorang gembala, Tuhan Yesus membedakannya dari seorang upahan. Gembala bekerja karena panggilan dan jalan hidup. Seorang upahan bekerja karena tuntutan jam kerja berdasarkan kontrak kerja.

Baca juga :  Antara Aquinas dan Agustinus: Wahyu dalam Pemenuhan

Seorang gembala siap berkorban menyerahkan nyawa demi gembalaan. Seorang upahan berlari meninggalkan mereka ketika bahaya menghampiri.

Kenyataan ini terjadi karena gembala mengenal dan memiliki ikatan batin dengan kawanannya. Sebaliknya, seorang upahan tidak mengenal, bahkan tidak peduli untuk memahami, apalagi memiliki ikatan batin dengan mereka. Yang penting bekerja sesuai dengan kontrak kerja, itu sudah cukup!

Itulah sebabnya seorang upahan tidak memiliki tempat di hati kawanan gembalaan. Kehadirannya di tengah mereka pun hanya pada waktu tertentu berdasarkan kesepakatan pada kontrak.

Yesus Model Gembala Baik

Tuhan Yesus menjadi model Gembala Baik. Ia selalu ada untuk kita. Siang-malam senantiasa bersama kita. Tak sedetikpun ia meninggalkan kita. Dialah Imanuel, Allah yang selalu menyertai kita (bdk. Mat 1:23).

Baca juga :  Humility, Obedience And Silence As The Heart Of Monastic Life

Ketika Tuhan Yesus menyebut diri-Nya sebagai Gembala yang Baik, Ia tidak sedang berteori. Dia sungguh mengungkapkan identitas diri-Nya yang sebenarnya.

“Inilah yang Tuhan ingin katakan ketika menggambarkan diri-Nya sebagai Gembala Baik: bukan hanya berarti Dia adalah penuntun, Kepala dari kawanan gembalaan, melainkan di atas semuanya, Ia memikirkan kita semua, dan memikirkan setiap kita sebagai cinta dari kehidupan-Nya (the love of His life),” jelas Paus Fransiskus.

Paus menambahkan, “Yesus bukan hanya gembala baik yang berbagi kehidupan kawanan; (melaikan juga) Yesus adalah Gembala Baik yang telah mengorbankan kehidupan-Nya bagi kita, dan telah memberikan Roh-Nya melalui kebangkitan-Nya”.

Yesus sungguh bertindak seperti gambaran diri-Nya. Dia menyerahkan nyawa, mengenal domba, dan mencintai mereka sampai kesudahannya (bdk. Yoh 13:1).

Jika kenyataannya demikian, mengapa kita masih ragu menjadikan Tuhan Yesus sebagai Gembala Baik kita? Mengapa kita sering mencari solusi atas masalah kita yang bertentangan dengan Jalan Tuhan?

Baca juga :  Orang Muda dan Tantangan Hidup Menggereja

Paus Fransiskus mengajak kita untuk bermenung!

“Renungkanlah ini,” katanya, “bagi Kristus, saya penting, Dia memikirkan saya, saya tiada duanya, sepadan dengan harga hidup-Nya yang tak terbatas”.

Mengapa Tuhan Yesus memikirkan saya? Jawabannya jelas, karena Dia mencintai saya. Dia menemukan keindahan dalam diri saya yang terkadang tidak mampu saya lihat.

Fakta inilah yang membuat kita selayaknya bersyukur. Ketika kita merasa diri tak berarti, ternyata Tuhan tetap memandangnya berharga. Ia bahkan mencintai diri kita melebihi cara kita mencintai diri kita sendiri.

Sungguh, Tuhan Yesuslah Sang Gembala Baik. Dia mengenal, mencintai, dan menyerahkan nyawa-Nya karena kasih-Nya yang tiada batasnya bagi kita semua.


*Oleh Todi Manek, CMF


Penulis: Todi Manek, CMFEditor: Admin