Darurat Sampah! Pemerintah Salah?

Darurat Sampah! Pemerintah Salah?
Pitcure is taken from YouTube Brilo News

ClaretPath.com – Darurat Sampah! Pemerintah Salah?

Membaca Realitas

Beberapa waktu lalu, Pemerintah Daerah Yogyakarta menerbitkan surat edaran soal penutupan pelayanan TPA regional Piyungan.[1] Surat edaran tersebut ditujukan juga kepada Pemda kabupaten Sleman dan kabupaten Bantul yang memanfaatkan Piyungan sebagai TPA sampah. Kondisi TPA yang sudah melebihi kapasitas menjadi salah satu bentuk krisis lingkungan yang semakin menjadi persoalan yang serius. TPA Piyungan menampung sampah sebanyak 6 ton per hari. Krisis Piyungan menempatkan Jogja darurat TPA sampah. Masyarakat kembali bersuara. Mereka muncul di ruang publik melalui media-media sosial dan protes terhadap pemerintah setempat terhadap kesiapan pemerintah dalam mengatasi persoalan di Piyungan. Pertanyaan mendasarnya, siapakah yang disalahkan soal tutupnya Piyungan?

            Optimalisasi sampah masih menjadi pekerjaan rumah hampir di seluruh wilayah di Indonesia, tidak terkecuali Yogyakarta. Title Kota Jogja sebagai kota wisata, kota kuliner, kota pendidikan dan label-label lain sebenarnya menyembunyikan masalah yang akhir-akhir ini baru dirasakan semua orang, yaitu sampah. Kita ulas dengan lebih sederhana. Pertama, Jogja sebagai kota kuliner. Dunia kuliner, dalam hal ini mencakup rumah makan, warmindo, pusat oleh-oleh dan sebagainya menjadi salah satu sektor yang menyumbangkan sampah. Sejauh itu tidak diolah secara mandiri. Bungkusan makanan yang tidak dapat diolah, bisa menjadi salah satu sumber sampah, terutama sampah anorganik non-daur ulang.

            Kedua, Jogja sebagai kota pelajar. Banyaknya Perguruan Tinggi di Provinsi Yogyakarta menjadi salah satu daya tarik banyak orang untuk mengenyam ilmu di kota ini. Orang-orang dari luar Jogja tentunya lebih memilih tinggal di kos-kosan, kontrakan atau sejenisnya. Jangan disangkal bahwa kos-kosan juga menjadi salah satu sumber datangnya sampah. Tidak sedikit, atau bahkan jarang ditemui kos-kosan yang mengolah sampahnya secara mandiri (tidak berarti pengolahan melalui pembakaran). Hal ini juga yang dialami dengan sampah-sampah rumah tangga. Inilah yang menjadi masalah utamanya, yaitu ketidakmampuan dalam mengolah sampah secara mandiri dan kurangnya penanganan yang tepat untuk mengatasi persoalan sampah.

            Satu hal yang pasti adalah banyak orang sekarang berusaha mengkritik kinerja pemerintah karena dinilai gagal dalam mengelola sampah. Jika dipikir secara rasional, siapa yang dapat disalahkan? Bagian berikut dalam tulisan sederhana ini akan mengulas dimensi-dimensi yang dapat menciptakan kesenjangan antara utopis manusia-manusia idealis “anti sampah” dengan realitas sampah yang semakin uncontrollable, seperti yang terjadi di Piyungan. Beberapa paradigma yang berkembang dalam bidang ekologi akan diulas dengan mengulas beberapa pemikiran tokoh filsafat lingkungan.           

Baca juga :  Pastoral Care

    Ulasan Umum: Belajar dari Para Pemikir

            Rasa-rasanya tidak lengkap jika berbicara mengenai lingkungan tanpa mengenal tokoh yang satu ini, Arne Naes. Ia adalah seorang Filsuf yang memberikan perhatiannya terhadap ekologi dengan pemikirannya tentang deep ecology. Naes dilahirkan di Swedia pada 27 Januari 1912 dan tutup usia 96 tahun kemudian. Naes meyakini bahwa ekologi dalam filsafat didasarkan pada hubungan yang suci antara bumi dan semua makluk hidup[2] dan segala persoalan yang berkaitan dengan krisis lingkungan  diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang (world view) dan perilaku manusia terhadap alam.[3] Sonny Keraf melanjutkan bahwa berbagai persoalan lingkungan hidup adalah masalah yang berkaitan dengan moral dan perilaku manusia. Karena itu, perlu etika dan moraitas untuk mengatasinya.[4]

            Selain dua tokoh di atas, ada juga Skolimowski yang menawarkan filsafat lingkungan sebagai sebuah tantangan yang dihadapi semua orang. Bukan hanya para filsuf, tetapi semua orang untuk mengusulkan sebuah gagasan baru terhadap berbagai krisis lingkungan yang ada.[5] Sampai di sini jelas, masalah utama lingkungan adalah masalah etics yang dialami semua manusia. Sulit untuk mendeskripsikan, manusia mana yang tidak pernah menyumbang sampah. Terkait permasalahan Piyungan juga sama. Siapa yang dipersalahkan? Pemerintah selalu dijadikan objek kritikan dari individu atau pun kelompok yang justru menjadi pelaku dari permasalahan sosial ini.

Banyak paradigma yang ditawarkan untuk membantu kita melihat disposisi kita memperlakukan alam, di antaranya: antroposentrisme, egosentrisme, homosentrisme, biosentrisme, ekosentrisme, dll. Ada dua poin yang akan diulas di sini, yaitu antroposetrisme dan deep ecology[6]

Antroposentris

            Antroposentrisme menempatkan manusia berada dalam lingkaran egosentris. Di luar diri manusia itu sendiri, segala sesuatu tidak bernilai, termasuk sampah. Jika diingat-ingat lagi, seorang sejarawan Amerika Bernama Lynn White pernah mengkritik agama Kristen (dalam hal ini termasuk juga agama-agama Abrahamik) yang dinilai melegalkan eksploitasi manusia terhadap alam. Kritikan itu disampaikannya melali artikel berjudul The Historical Roots of Our Ecologic Crisis yang diterbitkan pada tahun 1967. Poin positifnya adalah, kritikus ini tidak hanya memberikan “kritikan buta”, kritikan tanpa jalan keluar. Ia justru menjadi salah satu orang, selain Warwick Fox, Arne Naes dan tokoh-tokoh lain yang berusaha memberikan pemahaman bagaimana lingkungan harus diperlakukan hari ini.

Baca juga :  Cambuk Baudrillard Bagi Masyarakat Konsumeris

            Antroposentrisme menjadi sisi terburuk manusia dalam memandang alam. Perpaduannya dengan sikap egosentris menempatkan manusia sebagai pusat dan pengendali dari alam. Sejauh alam bisa memberi apa yang dibutuhkan manusia, alam dianggap bermanfaat bagi manusia; tanpa memikirkan hal terburuk yang bisa saja terjadi jika eksplorasi berlebihan terjadi. Antroposentrisme berkembang atas tuntutan ekonomi. Semakin besar tuntutan ekonomi, semakin besar usaha mengeruk sumber daya yang ada dan tidak diimbangi dengan usaha pembatasan dan pemeliharaan terhadap lingkungan.

Deep Ecology

            Pasca antroposentrisme, banyak paradigma lain yang berkembang yang menggambarkan relasi manusia dengan alam. Bagian ini langsung membahas paradigma deep ecology yang pada dasarnya mengakui nilai-nilai intrinsik dari semua makhluk hidup. Paradigma ini menekankan aspek humanisme manusia yang menjadi satu bagian khusus dalam seluruh jaringan kehidupan. Selain itu, deep ecology menghendaki adanya perubahan kebijakan dalam mengatasi krisis lingkungan yang mengabaikan aspek kelestarian dan daya dukung lingkungan.[7]

            Interpretasi lebih lanjut terhadap permasalahan Piyungan perlu dikaji dalam paradigma deep ecology. Permasalahannya tidak terletak pada upaya pengelolaan sampah yang telah tertumpuk sekian lama. Lebih jauhnya, permasalahan tersebut menjadi bentuk lose control pemerintah dan warga setempat. Selain itu, kegiatan ekonomi dalam berbagai bentuk, terutama rumah makan dan sejenisnya harus mampu mengendalikan sampah dapur dengan mulai memilah sampah berdasarkan sub-jenisnya, seperti plastik, aluminium foil, peralatan makan sekali pakai dan sebagainya. Dalam hal ini, edukasi soal sampah mesti dipikirkan sebagai jalan keluar yang utama. Proses lanjut pemilahan sampah harus sampai pada penanganannya yang konkret. Hal sederhananya adalah dengan menggandeng Rapel atau lembaga-lembaga lain yang secara aktif mengelola sampah daur ulang.

Catatan Kritis

            Manusia harus hidup dalam relasi yang timbal balik dengan karakter yang korelasional. Sebagai bagian dari ekologi dan menjadi makhluk ekologis, manusia mestinya memberi sumbangan terhadap kelestarian alam; bukan malah saling menyalahkan. Kesadaran sosial menjadi nilai yang mesti dihidupkan dalam diri sendiri. Bahan refleksinya adalah; sejauh mana “saya” turut dalam aksi membuang sampah dan sejauh mana perilaku tersebut berdaya transformatif yang menyentuh kesadaran personal untuk beralih menjadi pribadi yang menjaga alam. Hal sederhana dalam hal pengelolaan sampah adalah dengan memilah sampah-sampah yang bisa didaur ulang. Terdengar sederhana, tetapi sulit untuk dilakukan.

Baca juga :  Kekerasan Seksual: Mengganti Budaya Diam dengan Sensibilitas

            Daya transformatif tidak hanya sebatas pada dimensi personalitas saja, tetapi harus sampai pada aktivitas komunal yang turut menggandeng orang lain dalam upaya pemeliharaan alam. Beberapa gerakan komunal yang aktif dalam hal ini tampak dalam beberapa lembaga, seperti Rapel (tempat pengelolaan sampah an-organik),[8] BPDLH (Badan Pengelola Lingkungan Hidup),[9] PEKA Indonesia Foundation[10] dan masih banyak lagi kegiatan komunal yang terstruktur secara kelembagaan yang berpartisipasi dalam upaya kelestarian alam.

Oleh karena itu, sebagai jawaban terhadap persoalan Piyungan, sudah seharusnya masing-masing orang bergerak dengan mulai bertanggungjawab terhadap alam di sekitarnya, terutama soal penanganan sampah. Krisis ekologi yang dialami manusia sekarang bukanlah kesalahan sebagian pihak saja. Dalam hal ini, Pemerintah dipandang sebatas pada lembaga antisipatif yang berusaha menanggulangi persoalan lingkungan hidup, terutama sampah.


[1] Bdk. Surat Edaran Sekertaris Daerah Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, No. 658/8312, 21 Juli 2023

[2] I. Ginting Suka, Teori Etika Lingkungan: Teosentrisme dan Ekosentrisme (Bahan Ajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana), 99

[3] M. Yasir Said, dkk., “Paradigma Filsafat Etika Lingkungan dalam Menentukan Arah Politik Hukum Lingkungan, Al’Adl, Volume XII Nomor 1, Januari 2020, 46

[4] Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, (Jakarta: Kompas, 2010), 1

[5] Henry Skolimowski, Ecophilosophy: Designing New Tactics for Living (New Hampshire: Marion Boyars Inc., 1981), 21.

[6] Gereja Katolik memberikan pandangan baru melalui ecotheology yang fokus pada teologi konstruktif pada hubungan antara agama dan alam khususnya soal lingkungan hidup, seperti melalui dokumen Laudato Si’

[7] Edra Satmaidi, Konsep Deep Ecology Dalam Pengaturan Hukum Lingkungan, Jurnal Penelitian Hukum Supremasi Hukum, Vol. 24, No. 2, Agustus 2015, 6

[8] Selengkapnya di https://www.rapel-id.com/

[9] Selengkapnya di https://bpdlh.id/about-us

[10] Selengkapnya di https://www.ecohubmap.com/company/NGO/peka-indonesia-foundation/83q4m1te7kpcgtrn6