Zamanku Lagi Kronis

Fr. Rian

ClaretPath.com

Zamanku Lagi Kronis

Bacaan pertama: Roma 7:18-25a

Bacaan injil: Lukas 12:54-59

Pada saat bumi semakin cepat mengalami kerusakan, dengan kekeringan dan panas yang merajalela, menghancurkan hutan-hutan dan melelehkan es di kutub, serta lautan yang tidak mampu menampung luapan air sehingga kota-kota tenggelam, manusia dihadapkan pada pertanyaan: Apa yang dapat mereka lakukan? Seperti yang disampaikan dalam baris puisi Dylan Thomas, “Rage, rage against the dying of the light,” manusia diajak untuk marah melawan kegelapan yang semakin mendekat, menentang kehilangan cahaya yang tak terelakkan.

Dalam film Interstellar, puisi ini tidak pernah selesai diucapkan oleh seorang ilmuwan tua bernama Brand sebelum ia meninggal. Dia diam-diam telah mempersiapkan manusia untuk meninggalkan bumi yang semakin hancur, mencari planet lain sebagai alternatif. Namun, impian ini tetap hanya impian, tanpa tempat yang pasti. Meskipun empat belas penjelajah diluncurkan, hasilnya tetap tak pasti.

Baca juga :  Sok Suci

Interstellar tidak hanya mengusung tema fatalisme. Dalam pengelanaan antarbintang yang dipenuhi misteri, manusia menunjukkan kemampuannya untuk mengorbankan diri demi menyelamatkan orang lain. Contohnya adalah Cooper, yang bersedia menjelajahi perjalanan penuh misteri, bahkan mengorbankan pesawatnya yang hampir kehabisan energi, agar rekannya, Amelia, bisa mencapai planet tempat penjelajah ruang angkasa terdahulu, Edmunds, menemukan ruang hidup.

Interstellar bisa dianggap sebagai sebuah dongeng modern, mengajukan pertanyaan tentang konsep “kemajuan” dan ambisi manusia untuk mengendalikan ruang dan waktu, yang pada akhirnya justru merusak bumi. Meski demikian, melalui karakter Cooper, yang seperti manusia pertama yang menjelajahi luar angkasa seperti dalam puisi Subagio Sastrowardoyo, film ini mengungkapkan bahwa kekuatan kasih sayang dan kepedulian manusia melampaui batasan waktu dan ruang itu sendiri.

Baca juga :  Pandawa Group Potret Nyata Ludato Si

Para pemikir “korelasionis” akan berpendapat bahwa waktu memang ada; namun, waktu selalu berkaitan dengan manusia. Pertanyaan klasik para “korelasionis” muncul: Apakah warna akan ada jika tidak ada mata manusia? Atau, sebaliknya, apakah warna, waktu, dan hal-hal lainnya pernah ada dan akan ada tanpa keberadaan manusia?

Ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa alam semesta telah ada selama 14 miliar tahun, jauh sebelum manusia muncul. Namun, bagaimana mungkin waktu ada tanpa subjek manusia yang memberi arti pada “kemarin”, “kini”, dan “kelak”?

Baca juga :  Yesus: Tabib Ulung

Yesus mengajarkan pentingnya memahami tanda-tanda zaman sebagaimana diilustrasikan dalam tulisan tersebut tentang kondisi bumi yang rusak dan manusia yang berjuang menghadapi kehancuran alam. Pesan ini mencerminkan hikmat Yesus dalam Injil, di mana Dia mengajak manusia untuk memiliki pemahaman yang mendalam tentang dunia di sekitar mereka dan membuat keputusan yang bijak untuk mengatasi tantangan zaman mereka.