ClaretPath.com– Renungan Harian 29/04/2024
Jumat Agung
Bacaan Pertama: Yesaya 52:13-53:12
Bacaan Kedua: Ibrani 4:14-16;5:7-9
Bacaan Injil: Yohanes 18:1-9:42
Hukuman mati Robert-François Damiens
Pada 28 Maret 1757, Robert-François Damiens (42) dieksekusi mati di Place de Greve. Pria kelahiran La Tieuloy-Prancis ini dieksekusi karena telah melakukan upaya pembunuhan (menikam) terhadap raja Louis XV. Menurut beberapa saksi, proses hukuman mati yang ditimpakan kepada Damiens sangat kejam.
Dalam keadaan telanjang dan memikul obor yang berat 2 Kg, dia diangkut sebuah gerobak menuju gerbang utama Gereja Paris. Di sana dia diadili dan dipaksa mengakui kesalahannya serta memberitahu penguasa yang mempekerjakannya. Setelah diadili diapun diantar menggunakan kereta kuda untuk menerima ajalnya di Place de Greve. Dia disiksa, dibakar, dan setelahnya keempat ekor kuda yang sudah diikat di beberapa sisi badannya serentak menarik tubuhnya sehingga tubuhnya tercabik-cabik. Sekedar untuk diketahui tujuan hukuman mati yang dia terima adalah untuk menebus perbuatannya.
Damies dan Pria Nazaret
François Damiens adalah salah satu dari begitu banyak korban hukuman mati yang tak wajar, sadis, ironi namun direncanakan secara sungguh-sungguh sistematis. Pengalaman ini juga yang terjadi 2000-an tahun silam yang dialami seorang pria asal Nazaret yang bernama Yesus. Berbeda dengan Damiens, Yesus dihukum mati justru karena Ia berdiri kokoh di atas kebenaran yang ditunjukkan Bapa kepada-Nya, di atas kasih yang tanpa batas kepada mereka yang tersingkirkan, dan di atas harapan yang Ia gemakan kepada orang-orang malang yang Ia perjuangkan selama karya pelayanannya di bumi. Untuk mereka yang menderita, bersalah, yang dilupakan. Sebagaimana dikidungkan oleh Nabi Yesaya dalam Hamba Yahweh Yang Menderita,
Hamba Yahweh yang menderita
“Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh” (53:4-5).
Artinya, Yesus dihukum mati, karena cinta-Nya yang tak memiliki batas selain tanpa batas kepada Allah dan manusia. Manusia Nazaret itu adalah anak domba tak bercacat yang dibawa ke tempat pembantaian tanpa mengeluarkan suara. Ia sebagai kurban penebusan, bukan untuk diri-Nya, melainkan manusia-manusia yang telah diusir dari Furdaus dan terkungkung dalam kegelapan. Maka benar bila “dengan merentangkan tangan-Nya pada kayu salib, Dia memperdamaikan surga dan dunia.”
Pengampunan di ambang hukuman mati
Tentang kasih kepada manusia sebagai manusia dan tentang kedamaian yang diperjuangkan tanpa melahirkan dendam inilah tepatnya hukuman mati harus ditolak. Kristus yang sebelum kematian-Nya mengampuni musuh-musuh-Nya menawarkan kepada kita rekonsiliasi tanpa batas. Bahwasannyapengampunan itu mungkin dilakukan antara korban dan pelaku. Tidak untuk menghapus apa yang terjadi. Namun kendati kenangan penderitaan itu tetap diingat, baik pelaku maupun korban tidak membiarkan salah satu di antaranya tetap berdiri di sana. Penebusan tersedia di depan kita, pembunuh, korban bahkan yang mengambil kebijakan dalam dramatisasi penghakiman.
Menyuarakan kebenaran revolusi pengampunan
Paus Frasiskus mengatakan bahwa penghukuman mati bukanlah sarana untuk menegakan keadilan, melainkan upaya penguasa hukum untuk memuaskan keinginan mereka. Maka, atas dasar kemanusiaan yang ditebus Kristus dengan dirinya sendiri, marilah kita belajar mengutamakan keadilan dan menyuarakan kebenaran sambil mempromosikan revolusi pengampunan. Kita tentu ingat tentang kisah santo pertama dalam Gereja Katolik, St. Dismas. Dia juga dihukum mati dan disalibkan di samping Yesus. Seumur hidupnya dia digelari seorang penyamun, penjahat kelas berat. Namun di akhir hidupnya ketika hukuman atas raganya menemui tiba, Kristus, Allah yang Menderita, justru menghakiminya dengan pernyataan yang tak masuk akal, “Hari ini juga, engkau telah barsama Aku di dalam Firdaus.” Tak masuk akal memang, tetapi hukuman yang tak masuk akal dapat dihalau oleh pengampunan yang juga tak masuk akal. Semoga Tuhan menolong kita. Amin.
#_ Renungan Harian 29/04/2024
Mahasiswa Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pengagum absurditas Albert Camus