Serba-serbi Reba
Setiap daerah mempunyai tradisi, warisan atau special icon. Keunikan tradisi tersebut menjadi selimut yang khas, membungkus tubuh dari suatu kebudayaan yang membedakannya dengan budaya lain. Untuk tetap terbungkus dalam temperatur khas daerah, adalah tugas dan tanggungjawab putra-putri daerah untuk menjaga warna khas.
Menurut Hawkins, budaya adalah suatu kompleks yang meliputi pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat-istiadat serta kemampuan dan kebiasaan lain yang dimiliki manusia sebagai bagian dari masyarakat. Nilai dari suatu budaya terbagi dalam tiga kelompok utama, yaitu nilai yang berorientasi kepada orang lain (other-oriented values), yang berorientasi kepada lingkungan (environmental oriented values), dan yang berorientasi pada diri sendiri (self-oriented value). Meminjam kata-kata Abraham Lincoln tentang demokrasi, budaya dapat dimengerti dan ditempatkan sebagai sesuatu yang berasal dari kita, oleh kita dan pada akhirnya untuk kita.
Flores adalah salah satu pulau indah yang menyimpan begitu banyak warisan budaya. Salah satunya adalah budaya reba. Reba berasal dari tradisi leluhur orang Bajawa yang terletak di kabupaten Ngada, Flores, Nusa tenggara Timur. Keunikan reba terletak pada tata perayaan upacara adat yang dikolaborasi dengan kesakralan perayaan keagamaan (Katolik). Tradisi ini telah diwariskan secara turun-temurun sampai pada hari ini. Upacara ini mengandung nilai-nilai luhur yang sangat kaya.
Selain unik, reba kaya akan nilai-nilai humanis yang tentunya relevan. Ajaran atau nilai yang terkadung di dalamnya sering diadopsi guna menjadi pegangan hidup yang lebih baik. Reba menanamkan nilai kedamaian, persatuan, gotong royong, tekun bekerja tanpa kenal lelah, saling melayani, menghindari rasa dengki dan egois, dan sebagainya. Bagi masyarakat Ngada, reba membantu manusia untuk menjadi lebih arif dalam menemukan makna hidup khususnya dalam lingkaran adat-istiadat.
Ritus su’i uwi merupakan puncak dari perayaan reba. Warna utama dari ritus su’i uwi adalah rasa syukur atas penyelengaran Ilahi yang memberi kehidupan. Secara sederhana, reba dapat diartikan sebagai upacara syukur tahunan terhadap kebaikan sang pencipta dan juga sebagai ucapan terima kasih atas campur tangan leluhur. Upacara ini sejatinya adalah ungkapan hati masyarakat Ngada yang selalu bergantung pada Ema Dewa atau Tuhan. Itulah sebabnya, reba selalu ditutup dengan Perayaan Ekaristi yang di dalamnya termuat seluruh doa, harapan, dan persembahan hidup. Seluruh rasa syukur disatukan dalam kurban Misa Kudus.
Tradisi dan Ekaristi
Mayoritas penduduk asli Ngada merupakan pemeluk agama Katolik Roma yang taat. Kecintaan mereka terhadap budaya tidak serta merta mengabaikan ajaran agama. Selain itu, reba juga identik dengan perayaan tahun barunya orang Bajawa karena umumnya dilangsungkan sekitar bulan Desember hingga Februari. Itu sebabnya, selain sebagai ucapan syukur, reba juga dapat menjadi sarana memohon berkat di tahun yang baru. Reba tidak terlepas dari kepercayaan akan berkat Tuhan sebagai sang pencipta alam semesta.
Tokoh agama Katolik seperti pastor dan suster dilibatkan dalam perayaan syukur atas kasih Tuhan. Oleh karena itu, perayaan Ekaristi inkulturasi selalu menjadi bagian menarik dan terpenting dalam upacara reba. Peran para tokoh agama hadir untuk menjelaskan nilai-nilai iman yang relevan dengan nilai budaya. Tujuannya adalah agar tidak terjadi pencampuran pemahaman yang dapat menyebabkan kehilangan makna asli budaya ataupun agama.
Erich Fromm, psikolog asal Yahudi, dalam salah satu tulisannya menyebut jika manusia yang baik adalah ciri makhluk biofil. Manusia biofil adalah mereka yang mencintai kehidupan sebagai anugerah Tuhan. Lawan dari biofil ialah nekrofil yaitu budaya kematian. Sejalan dengan apa yang diungkapkan Erich Fromm, budaya reba juga merupakan praktik merayakan kehidupan. Upacara syukur atas limpahan berkat disatukan dalam Kurban Perayaan Ekaristi. Ekaristi inkulturasi merupakan puncak dari hari kemenangan atau ucapan syukur atas hidup.
Dalam perayaan reba tersirat kontrol sosial atau norma yang didasarkan pada ajaran agama Katolik. Dengan demikian, ucapan syukur dan permohonan yang termuat di dalamnya selalu berada dalam perpaduan antara budaya lokal dan ajaran Kristiani. Reba juga dapat menjadi momentum untuk melihat kembali nilai-nilai luhur untuk dijadikan bahan evaluasi bagi kehidapan selanjutnya.
Dalam Anjuran Apostolik Pasca-Sinode Para Uskup, Sacramentum Caritatis, Paus Benediktus XVI menegaskan pentingnya inkulturasi khususnya pada perayaan Ekaristi. Perayaan Ekaristi inkulturasi akan lebih mendalam maknanya jika dilangsungkan dalam sebuah acara adat. Nilai-nilai Kristiani yang dipadukan dengan nuansa adat akan lebih terasa kental dan membekas. Perayaan Ekaristi reba inkulturatif adalah momen untuk kembali ke nilai-nilai luhur dalam menata kehidupan ke arah yang lebih baik.
*Tom Aquinas, putera kelahiran Manggrai Timur, Flores. Pencinta Kopi lokal dan penikmat filsafat Stoa. Penulis sedang belajar di Fakultas Filsafat Keilahian Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Referensi
Bilson Simamora, Paduan Riset Periaku Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), 144-145.
Chistologus Dhogo, Su’i Uwi, (Maumere: Ledalero, 2009), 3.
Paul Budi Kleden, Di Tebing Waktu, (Maumere, Ledalero, 2009), 39.
E.P.D. Martasudjita, “Proses Inkulturasi Liturgi Di indonesia”, dalam Studia Philosophica et Theologica, (Vol. 10 No. 1, Maret 2010), 40.
ClaretPath.Com adalah ruang pengembangan bakat menulis dan media kerasulan, terinspirasi dari Santo Antonius Maria Claret, Pelindung Pers Katolik.