Dilematika “Berbelas Kasih”

Dilema Berbelaskasih

Sentilan Awal

ClaretPath-Mengapa berbelas kasih itu sebuah dilematika? Sejarah ilmu pengetahuan sudah melegitimasi manusia dengan beragam julukan. Ada Homo sapiens, homo loquens, Homo economicus, homo delegans, homo legatus, homo Faber dan homo sosialis (Wiranata:2011). Di antaranya aspek sosial dari homo sosialis berperan penting dalam pembentukan masyarakat (tanpa mengesampingkan yang lain). Aspek ini tidak hanya membawa pada ikatan sementara tetapi sampai pada taraf intimitas. Pada taraf ini relasi manusia tidak hanya sebatas pada hal saling memberi tetapi sampai keakraban (spiritual).

Keintiman antara manusia dinyatakan dalam cinta akan sesamanya, lingkungan dan yang Ilahi. Cinta ini tidak hanya sebatas pada rangkaian kata dan ilustrasi semata tetapi direalisasikan lewat cinta nyata dalam bentuk saling bersolider, berbelaskasih dan bekerja sama.

Sikap ini selalu dalam tarah menjadi. Buktinya pada lima ribu tahun silam manusia hanya bisa mengenal orang tua dan keluarga dekatnya dan menganggap yang lain sebagai musuh (Harari:2017). Walaupun nilai individu pada zaman itu kurang diperhitungkan (Kirchberger 2002, 30). Untuk mengubah dan menumbuhkan sikap ini, ribuan tahun dengan sistem pendidikan yang tak kalah rigornya adalah waktu yang tepat. Pada akhirnya manusia sukses dan bahkan sampai membangun masyarakat yang jauh lebih besar seperti bangsa dan negara.    

Hal berbelas kasih juga bukan semata produk pendidikan. Berbelas kasih memiliki esensi yang terkodrat dalam diri manusia. Berbelaskasih menjadi partikel yang dihasilkan berkat konektivitas, “sinergisitas” antara akal budi (reason) dan hati (emotion). Ketika seorang manusia berbelaskasih terhadap sesamanya artinya dia berhasil menyatukan akal budi dan hati.

Berbelaskasih tidak dipandang sepele, dan bukan hal baru.  Tindakan tersebut merupakan aktus primus dari keberlanjutan hidup manusia, bagian dari proses menjadi dari manusia itu sendiri. Namun dalam perkembangannya, aktus terpuji ini seiring waktu tercebur dalam ketidakpastian. Ritme ketidakpastian akhirnya membawa orang pada dilemma, mau berbelas kasih atau mengabaikannya.  Hal yang paling dirasakan adalah berhadapan dengan formalitas, kekakuan hukum, sikap individualistik dan lemahnya sikap solider. Apakah berbelaskasih masih menjadi opsi utama, senjata ampuh homo sosialis ataukah sebaliknya?

Berbelas Kasih

Kita mungkin sudah akrab dengan kata belas kasih (noun) atau berbelas kasih (verb). Kata ini diterjemahkan dari Bahasa Inggris compassion artinya kasih sayang, iba, keharuman, perasaan kasihan perasaan terharu, perasaaan sayang. Dikutip dari, the oxford handbook of science “berbelas kasih merupakan sesuatu kesadaran akan penderitaan dan rasa sakit orang lain dan berupaya untuk meringankan penderitaan dan rasa sakit tersebut”.

Hal mendasar dalam tindakan berbelas kasih adalah menyatukan dua elemen mendasar dalam diri manusia yakni antara pemikiran dan penalaran sehat. Dalam artian berbelas kasih tidak semata unjuk rasa atau sebatas mengikutsertakan hawa nafsu dan perasaan semata. Karen Amstrong (2013) dalam bukunya “Compassion” menyatakan, “berbelas kasih adalah menanggungkan bersama orang lain, menempatkan diri dalam posisi mereka, merasakan penderitaan mereka seolah-olah itu adalah penderitaan kita sendiri dan secara murah hati masuk dalam dalam sudut pandang mereka.

Baca juga :  Pergi | Puisi

Berbelas kasih juga tidak diartikan sesederhana empati atau simpati, melainkan harus ada usaha (compassionate acts) untuk membahagiakan orang lain. Hal inilah yang dilakukan oleh Sta. Teresa dari Kalkuta, bahwa ukuran atau bukti dari berbelas kasih itu tidak pada perkataan atau kotbah, melainkan terletak pada tindakan atau perbuatan.

Manusia dan Berbelas Kasih

Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang otonom dan sosial. Manusia bisa berpribadi sebagai person di tengah sesamanya dan sebaliknya berkat kesosialan manusia bisa berelasi dengan sesamanya (Surajiyo:2014). Dari sini dapat disimpulkan bahwa eksistensi manusia hanya dimungkingkan berkat koeksistensi yaitu “ada-bersama.” Kesosialan itu dapat berdiri sebagai eksistensi karena terjalin dalam eksistensi manusia. Dalam upaya pendewasaan kesosialan serentak berkembang proses pendewasaan sebagai person; menuju keunikannya sebagai pribadi, kualitas kesosialan juga ikut berkembang.

Jauh sebelum science, sudah hadir berbagai nasehat dan hukum yang menjunjung tinggi aspek kesosialan manusia. Dalam Perjanjian Lama, melalui Nabi Musa, Allah menyatakan pentingnya eksistensi sesama. Dan Yesus Kristus menekankan hal yang sama, cinta akan Tuhan dan sesama (Mat.22:37). Cinta akan sesama harus sampai level kesetaraan, mencintai seperti kita mencintai diri kita sendiri. Dan banyak orang bijak juga berpendapat bahwa, “jika ingin aman, bukan membangun tembok yang kokoh, melainkan membangun jembatan melalui berbelas kasih dengan hati yang suci dan tulus ikhlas”.

Berdasarkan pada pemikiran di atas, manusia semestinya mengakui tindakan berbelas kasih sebagai sebuah keutamaan. Artnya prinsip kesosialan tidak semata sebuah argumen rekayasa dan ketergantungan “total”terhadap sesama bukan sebuah ilusi semata.

Manusia “Subyek” Berbelas Kasih?

Science dengan gigih mengakui kebenaran yang sudah jauh diperdebatkan oleh para filsuf yakni kodrat manusia, sifat individual dan sosial. Keduanya adalah satu kesatuan, yang bisa menciptakan keharmonisan dalam keutuhan seorang manusia. Keduanya adalah monodualis dan tak terpisahkan (Snijders: 2006).

Sebagai subjek yang aktif dan objek yang pasif, manusia berperan penting dalam tindakan berbelas kasih. Manusia bertanggungjawab dan mengoperasi secara optimal tindakan berbelas kasih yang sepenuhnya tergantung pada manusia sendiri. Selain sebagai pemilik, manusia juga bertindak sebagai pengelolah dan pemeran utama dalam mengaktualisasikan tindakan berbelas kasih.

Baca juga :  Pengantar Pesanan || Sastra

Hal tersebut didasari pada kajian bahwa, berbelas kasih bukanlah emosi dasar tetapi melibatkan pengalaman dari beberapa keadaan afektif dalam konteks menyaksikan penderitaan orang lain dan bertekad untuk membantu. Tindakan berbelas kasih ini terbentuk melalui level tertentu, antara lain (1) afektif, diarahkan pada pengalaman penderitaan orang lain, (2) kemampuan untuk masuk dalam perspektif penderitaan orang lain dan untuk mengenali perbedaan diri dari orang lain, (3) komponen kognitif regulasi yang dirancang untuk memodulasi ekspresi afektif, dan (4) komponen motivasi-sengaja yang laten, prososial, dan diarahkan pada pengurangan penderitaan mereka

Praktek konkrit yang bisa kita simak pada akhir-akhir ini adalah tindakan berbelas kasih yang dilakukan oleh kalangan umum di masa pandemi dan situasi bencana alam yang kita sendiri alami satu setengah tahun yang lalu. Komunitas Seminari Hati Maria inisiatif bertindak dan menyalurkan bantuan kepada para korban dan bekerja sama untuk menyelamatkan mereka yang ada dalam ancaman kelaparan. Tindakan belas kasih tersebut terlahir dari orang-orang yang memiliki kelebihan dalam hal harta benda yang terpanggiln untuk berbelas kasih kepada sesama.

Manusia dan Dilema Berbelas Kasih

Dilema merupakan sebuah istilah yang diterjemahkan dari Bahasa Inggris Dilemma. Istilah ini merujuk pada suatu kondisi yang menyulitkan yaitu munculnya sebuah masalah yang menawarkan dua kemungkinan, di mana keduanya sulit diterima, atau berat konsekuensinya (KBBI). Hal dilematis sering terjadi dalam konteks tertentu. Orang berada pada situasi dilemmatis antara “Ya”atau “tidak”. Dalam keadaan demikian orang cenderung memilih untuk kritis namun cenderung memutuskan untuk memilih yang nyaman dan abaikan yang berat konsekuensinya.

Demikian halnya dengan berbelas kasih. Tindakan tersebut sudah dipraktek dan diajarkan oleh pihak yang berwewenang mulai dari keluarga, agama, sampai pemerintah. Selain itu berbelas kasih bukan semata perintah otoritatif atau aksi pastoral tetapi bersumber pada hakekat manusia sebagai makhluk sosial. Tindakan ini sudah mendatangkan kesuksesan melalui aksi-aksi penyelamatan dan pengampunan yang luar biasa. Sta. Teresa dari Kalkuta dan St. Yohanes Paulus II dengan penghayatan iman kristiani mereka yang sangat radikal telah menjadi sosok-sosok yang menggegerkan dunia (Maria Etty: 2018).

Namun, masih ada pertimbangan, perhitungan, penundaan, dan penolakan. Orang masih menolak untuk berbelas kasih dan berpartisipasi di dalam penderitaan orang lain. Pertimbangan rasional, ekonomis dan humanis masih menjadi argumen. Pada yang menderita terus menderita hinga mengakhiri hidup mereka dalam keadaan sadis.

Di lain pihak orang tidak berani untuk mengambil sikap yang realistis terhadap kenyataan. Orang terlelap dalam keegoisannya, mengupayakan prestasi dan impian pribadi dan kelompoknya (Paul Ricoeur: 1992;3). Ketika berhadapan dengan sistem fomalitas yang terstruktural, hukum negara dan agama yang kaku orang mencoba membisu. Bahkan sampai pada titik tertentu indra manusiawi mereka sengaja dinonaktifkan.

Baca juga :  Menjadi Satu

Kepentingan menjadi satu hal yang sangat urgen. Semua orang memiliki kepentingan. Orang dapat membenarkan segala sesuatu dan mengupayakan segala sarana untuk mewujudkan kepentingan mereka dengan mengabaikan sesama yang menderita. Karena kepentingan yang telah diasosiasikan dengan emosi tertentu, orang pada akhirnya menjadi buta dan dan bimbang di ambang berbelas kasih. Melakukan tindakan amal, empati dan solider serentak menjadi pilihan, bukan lagi kewajiban sebagai makhluk sosial.

Beberapa tinjauan di atas pada akhirnya membawa orang sampai apda culmen dari dilemma. Artinya selain mementingkan dan mengupayakan kesejahrteraan mereka serentak mengbaikan orang lain. Niat dan kemauan untuk berbelas kasih hanya berhenti pada simpati dan tidak bisa menindaklanjutinya.

Pada akhirnya kita hanya bisa menyimpulkan bahwa kompleksitas manusia masih tetap menjadi misteri dan dinamika hidupnya yang tidak terlepas dari perkembangan terus mempengaruhi keadaan alamiahnya. Berbelas kasih yang dianggap logis dan humanis di masyarakat dan orang tertentu serentak ditolak mentah-mentah oleh masyarakat lainnya.

Penutup

Kita berpijak pada fakta, kenyataan dan data-data terverifikasi dan validatif. Kita juga memegang pada pengakuan akan kebenaran-kebenaran implisit yang tersurat dalam sejarah dan keyakinan-keyakinan religius. Berkat science dan keyakinan religius manusia semakin berkembang. Tetapi perkembangan tidak hanya ditandai dengan alih-alih progresivitas melainkan juga regresivitas.

Ketidakberanian untuk menyikapi secara serius kenyataan sosial yang terjadi di sekiter menjadi datum bagi fakta regresif, bahwasannya penyatuan antara akal budi dan hati tidak serentak terinternalisasi dalam kehidupan semua orang. Masih ada banyak hal esensil yang diabaikan bahkan ditinggalkan. Dan sikap apatis terhadap sesama dan tidak melakukan tindakan berbelas kasih adalah sebuah kegagalan. Tindakan berbelas kasih yang mestinya diharmonisasikan di samping individualitas tidak bahkan sama sekali dibaikan.

Sudah sepatutnya orang kembali kepada akar, bahwa keterikatan sebagai makhluk sosial mesti terus diindahkan disamping invidualitas. Berkat harmonisasi dari kedua perpaduan ini manusia dapat menjadi lebih manusiawi. Dan mesti diwujudkan dalam relasi yang damai dan kolaborasi yang permanen dengan saling bersolider, berkerja sama dan berbelas kasih.