Opini  

Etika Politik Dalam Keyakinan Budha Mahayana

Buddha Mahayana

Penaclaret.com – Ketika mendirikan sebuah komunitas (Sangha), Budha Gautama mengajarkan para pengikutnya untuk memfokuskan hidup mereka pada kehidupan asketik dan meditasi, menjauhkan diri dari hasrat untuk memuaskan diri, menjauhkan diri dari hingar bingar kehidupan sosial yang hanya membawa mereka pada penderitaan. Ajaran ini kemudian diteruskan oleh aliran Buddha Terravada yang mengajarkan keterlibatan anggotanya dalam kehidupan sosial dengan tidak memasukinya tetapi menarik diri, yakni dengan kontemplasi. Mahayana, tidak seperti tradisi Terravada, lebih komunal melalui keterlibatan pada perubahan dan aktivitas sosial[1]. Salah satu tokoh terkenal adalah Asoka yang menekankan pentingnya keterlibatan dalam masyarakat (engaged Buddhism). Apa yang menjadi kesadaran dalam Buddhis (Vipasana) atau meditasi Buddhis, itulah yang diteruskan dalam kehidupan sosial. Karena itu, anggota aliran ini terlibat dalam kehidupan sosial dengan cara yang sangat khas, yakni tindakan non-kekerasan yang dilatari oleh belarasa terhadap orang lain. Jika para pengikut Buddha Mahayana mendorong pengikutnya terlibat dalam politik, itu harus dilihat sebagai konsekuensi dari kesadaran untuk terlibat dalam kehidupan sosial.

Keterlibatan kaum Buddha dalam dunia politik bukan tanpa dasar. Ada beberapa sumber yang biasanya dirujuk untuk melegitimasi keterlibatan mereka dalam kehidupan politik. Dalam kisah-kisah naratif Jātakas dan avadānas tentang kehidupan Buddha Gautama, ditemukan juga pengajaran yang berhubungan dengan politik, yang dirujuk dari kehidupan awal Buddha Gautama sendiri yang memang tidak jauh dari ‘politik’ (anak seorang raja). Sumber lain adalah salah satu surat dari seorang filsuf dari Selatan India bernama Nāgārjuna yang ditujukan pada seorang raja di Utara India bernama Gautamipūtra Shatakarni yang berisi beberapa norma tentang raja yang adil, tentang bagaimana mempraktekkan kaidah politik, pada beberapa bagian bahkan berisi rekomendasi yang sangat spesifik darinya tentang bagaimana mengatur kehidupan politik. Sumber terakhir adalah hidup Sidharta Gautama sendiri. Ia adalah seorang pangeran, hidup di sekitar istana kerajaan karena itu ia sama sekali tidak menentang kehidupan politik kerajaan. Dalam Mahāparinibbāna Sutta, terdapat pujian Budha Gautama terhadap orang-orang Vajjian karena pemerintahan Republik Demokrasi dan ideologi kesetaraan sosial yang mereka terapkan. Ia bahkan menjadikian cara hidup mereka sebagai model yang harus ditiru oleh komunitas persaudaraan (sangha)yang dibentuknya.

Prinsip Etika Politik Buddha Mahayana

Keterlibatan kaum Buddha Mahayana dalam politik adalah konsekuensi dari kesadaran mereka untuk terlibat dalam kehidupan sosial. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pencerahan yang dialami Budha Gautama sesungguhnya berkarakter sosial: tidak hanya membebaskan dirinya dari ikatan duniawi tetapi juga mengurangi penderitaan makhluk hidup lain, untuk kesejahteraan dan terlebih keselamatan mereka[2].

Keterlibatan dalam politik didorong oleh keprihatinan akan kenyataan universal bahwa semua manusia menderita. Dalam ajaran inti Budhism dijelaskan bahwa: manusia dan semua makhluk (termasuk binatang, tumbuhan, roh, dan makhluk hidup ilahi) terikat pada lingkaran kelahiran, kematian, kelahiran kembali, dan semua ini mengakibatkan penderitaan. Usaha kaum Buddhis adalah mengakhiri semua penderitaan pada makhluk hidup[3], dengan membebaskan diri dari nafsu dan ketidaktahuan. Akar dari penderitaan adalah ‘kehausan’ atau nafsu akan hal-hal duniawi yang serba terbatas dan tidak abadi. Dunia tidak abadi, konsekuensinya adalah manusia pun tidak dapat mememenuhi hsarat/nafsu selama berada di dunia. Hanya dengan menjaga sikap tidak terikat pada dunia orang dapat mengakhiri nafsunya dan membebaskan diri dari penderitaan. Penderitaan timbul karena manusia tidak tahu (ignorance) akan kenyataan ini.

Berangkat dari kesadaran inilah, peran seorang pemimpin menjadi penting. Pemimpin menjadi penentu arah langkah para pengikut. Melalui keterlibatan dalam kehidupan politik, seorang pemimpin Buddhis diberi tanggung jawab untuk menerapkan semua ajaran Sang Buddha demi membawa para pengikutnya pada pencapaian kesejahteraan bersama. Pemerintah Buddhis berbentuk monarki dengan tetap memperhatikan aspek demokrasi dalam kehidupan politik. Aspek demokrasi menegaskan pentingnya konsensus bersama dalam mengambil setiap keputusan.

Peran Dan Relasi Pemimpin-Rakyat

Dalam Anguttara Nikaya III-cxxxii, sang Buddha mengatakan bahwa seorang pemimpin Buddhis harus memerintah berdasarkan Dharma/Dhamma yakni kebenaran, keadilan, dan kekuatan spiritual. Kekuatan spiritual diperoleh melalui kontemplasi yang mendalam untuk mengetahui kebenaran dan dengan demikian dapat bertindak secara adil. Dengan kata lain, buah dari kontemplasi-lah yang menjadi inspirasi bagi seorang pemimpin dalam memerintah rakyatnya. Pemimpin yang spiritualis sangat penting karena menentukan kehidupan rakyatnya. Ketika seorang dengan spiritualitas yang baik memegang kendali kepemimpinan, rakyat hidup dengan baik, hanya ada sedikit kejahatan dan kemiskinan, sebaliknya, ketidaktahuan dan sikap membanggakan diri dari pemimpin akan memunculkan tindakan yang jahat dan mengakibatkan penderitaan bagi rakyat[4].

Baca juga :  Cambuk Baudrillard Bagi Masyarakat Konsumeris

Dalam sistem pemerintahan Budhis, ukuran menjadi seorang penguasa/pemimpin adalah mencari dan memperjuangkan keadilan[5]. Segala kebijakan pada segala bidang pemerintahan harus dibuat berdasarkan prinsip ini. Penetapan aturan harus adil, demi kebutuhan rakyat dan sungguh-sungguh melindungi rakyat. Tolak ukur dari setiap aturan adalah keadilan dan kemurahan hati. Penerapan keadilan Budhis dalam pemerintahan tidak hanya berlaku untuk manusia, tetapi semua makhluk, termasuk binatang dan jiwa-jiwa yang menderita.

Pemimpin tidak boleh membuat resolusi atau keputusan-keputusan komunal secara individual. Seorang pemimpin senantiasa dituntut untuk mempertimbangkan semua keputusan yang dibuat bersama menteri dan penasehat dengan tetap memperhatikan aspirasi rakyat. Keputusan pemimpin selalu merupakan sebuah tindakan moral, karena itu harus menjunjung tinggi martabat semua makhluk hidup.

Keadilan harus menjiwai semua bagian dan sistem pemerintahan, terutama kepada setiap individu, tanpa memperhatikan kelas, kasta atau jabatan. Hidup yang adil adalah segala-galanya. Dan pemimpin yang berlaku adil terhadap semua makhluk melebarkan jalan menuju surga.

Sistem pemerintahan yang ideal bagi pengikut Buddha tidak jauh dari gaya kehidupan komunitas Sangha yang didirikan oleh sang Buddha Gautama. Komunitas Sangha merupakan komunitas demokratis di mana setiap keputusan dibuat berdasarkan konsensus bersama. Dalam sistem pemerintahan demokrasi yang menjunjung tinggi konsensus bersama, roda pemerintahan tidak hanya ditentukan oleh seorang pemimpin. Dalam sistem pemerintahan Buddhis, rakyat pun memiliki peran penting khususnya dalam pemilihan menteri raja. Pemilihan menteri raja dilakukan oleh para penasehat raja dengan selalu mempertimbangkan suara rakyat. Dengan demikian, menteri raja adalah sosok yang sungguh dikenal rakyat dan diyakini mampu memperjuangkan keadilan bagi semua kalangan. Meski sudah terpilih, rakyat dan penasehat raja tidak lantas berhenti berhubungan dengan para menteri. Mereka masih punya tugas penting yakni memonitor kerja mereka. Rakyat, dengan persetujuan bersama memilih seseorang menjadi raja/pemimpin dengan harapan bahwa ia dapat mengusahakan hukum dan aturan yang baik serta keharmonisan sosial[6]. Karena itu, pemimpin terpilih sungguh diyakini mampu menjalankan roda pemerintahan secara adil dan bijaksana. Jika rakyat salah memilih, atau jika mereka tidak dilibatkan dalam memilih, maka ada ketakutan bahwa pemimpin akan bertindak jauh dari nilai-nilai Buddhis. Ketakutan ini didasarkan pada kenyataan bahwa seorang pemimpin sangat menentukan karma kolektif. Artinya nasib rakyat tergantung pada pemimpinnya. Seorang pemimpin yang buruk dapat membawa keburukan bagi rakyat, sebaliknya pemimpin yang baik akan membawa kesejahteraan bagi rakyat.

Dalam pali Jataka diceritakan bahwa ketika dewa Indra berusaha mencari tahu kenapa Surga tiba-tiba menjadi sangat ramai, ia menemukan bahwa hal itu disebabkan oleh kebajikan yang dimiliki sang raja dalam memimpin kerajaannya. Kepemimpinan sang raja tidak hanya berdampak pada kemakmuran rakyatnya di bumi tetapi juga membawa mereka ke Surga. Keputusan-keputusan moral yang dibuat sang raja sungguh dibalas oleh alam semesta. Menarik untuk diperhatikan pernyataan dalam kitap Pali Jātaka #334:

In the time of unjust kings, oil, honey, molasses and the like, as well as wild roots and fruits, lose their sweetness and flavor; not only these but the whole realm becomes bad and flavorless; but when the rulers are just, these things become sweet and full of flavor, and the whole realm recovers its tone and flavor”.

Kebaikan alam semesta terhadap manusia sangat ditentukan oleh pilihan tindakan yang diambil. Dalam hal ini seorang pemimpin memiliki peran yang sangat penting. Ketika ia memerintah dengan adil, semesta dengan sendiri memberikan kemakmuran, sebaliknya ketika ia memerintah dengan tidak adil, maka kesengsaraan akan diterima tidak hanya oleh dirinya tetapi semua orang yang berada dibawah kepemimpinannya. Pemimpin sungguh menjadi penentu karma rakyatnya.

Legitimasi Kekuasaan

Dalam pemerintahan Buddhis, ideologi sebuah negara berpusat pada raja[7] atau pemimpin. Kekuasan yang dimiliki seorang pemimpin Buddhis selalu didasarkan pada ajaran Dhamma dari sang Buddha sendiri. Dalam Anguttara Nikaya III, cxxxii, diceritakan bahwa ketika seorang Bikkhu bertanya pada Buddha mengenai kaidah apa yang harus dipakai seorang raja dalam memimpin, Buddha menjawab, Dhamma. Dhamma menjadi penggerak utama dalam setiap aspek kepemimpinan. Seorang pemimpin harus memerintah berdasarkan Dhamma, bertindak adil sesuai Dhamma, mengusahakan kebahagiaan semua orang sesuai Dhamma, dan melindungi mereka sesuai Dhamma[8]. Dilihat dari prinsip ini, maka kekuasaan bukanlah kesempatan untuk menjalankan segala bentuk agenda pribadi, tetapi untuk memperjuangkan kehidupan banyak orang.

Baca juga :  Perempuan

Dalam memerintah, Asoka sendiri menggunakan prinsip Dhamma. Dhamma dalam pandangan Asoka berarti menciptakan sikap pikiran yang menunjang perilaku etis seseorang terhadap yang lain yang didasarkan pada pengakuan atas martabat manusia[9]. Dhamma sebagai suatu manifestasi tindakan moral menuntut seorang pemimpin untuk senantiasa mengusahakan tindakan yang adil dan benar selama memegang tampuk kekuasaan. Dengan kata lain, legitimasi kekuasaan seseorang terletak pada penghargaannya terhadap martabat manusia.

Dalam sebuah diskursus berjudul Cakkavati Sihananda atau universal Monarki, terdapat sepuluh spesifikasi kebajikan yang harus dimiliki seorang raja antara lain murah hati, mampu mengontrl pikiran, rela berkorban, memberi terus menerus, lemah lembut dan baik, mampu menderita demi kepentingan yang lain, bebas dari kemarahan dan dendam, berbelas kasih kepada semua, toleran dan dapat didekati[10]. Kekuasaan seorang pemimpin harus didasarkan pada prinsip-prinsip ini, sebab hanya inilah yang dapat memunculkan kepercayaan di hati rakyat. Di samping itu, hanya prinsip-prinsip inilah yang dapat membawa rakyat pada pencapaian kesejahteraan.

Kedudukan Dan Relasi Antara Hukum Dan Moralitas

Dalam sistem pemerintahan Buddhis, demokrasi tidak boleh berhenti pada bentuk konstitusional atau hukum legal tetapi sebagai penegasan terhadap kewajiban moral setiap individu untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai ideal yakni martabat manusia, penghargaan terhadap kesetaraan dan kelayakan setiap orang[11]. Penerapan hukum dalam pemerintahan tidak hanya berhenti pada sekumpulan aturan tetapi juga pembathinan. Buddhisme sebagai sebuah gerakan moral keagamaan menuntut kesadaran setiap orang untuk menjalankan ajaran Buddhis secara jelas dan total. Hanya ini yang bisa menghilangkan segala bentuk kejahatan yakni nafsu dalam diri setiap orang. Hukum yang tidak didasarkan pada prinsip-prinsip moral Buddhis pada akhirnya akan menuntun orang pada tindakan tidak adil dan akhirnya membawa penderitaan bagi banyak orang.

Penerapan hukum yang serampangan adalah buah dari ketidaktahuan atau ilusi diri. Ilusi diri (Illusion of self) merupakan penghalang terbesar atas keselamatan (dari penderitaan) karena bertumpu pada hasrat pribadi yang mendorong orang menjadi rakus, serakah, ingin mendominasi dan mengeksploitasi[12]. Dengan menerapkan dan menjalankan hukum yang adil orang dapat mngeliminasi ‘ilusi diri’ dan dengan demikian membebaskan tidak hanya dirinya sendiri tetapi juga orang lain dari. Karena itu, hukum harus senantiasa mempertimpakan aspek moral, sejauh mana ia baik bagi semua orang.

Dari sudut pandang Buddhis, hukum bukanlah yang utama melainkan aspek moral. Hukum berguna sejauh menjadi medan pelaksanaan moralitas. Dengan kata lain, tindakan moral yang didorong oleh kesadaran penuh untuk berjuang bagi kesejahteraan semua orang adalah hukum tertinggi dalam sistem pemerintahan Buddhis. Itu tidak berarti bahwa pemerintahan Buddhis mengabaikan bentuk institusional pemerintahan. Institusi yang memuat hukum menjadi semacam peringatan kepada setiap pengikut untuk bertindak sesuai koridor yang benar. Hukum berfungsi mengawasi tindakan pribadi. Hukum yang baik tidak menjamin kesejahteraan semua orang, tetapi tindakan moral yang disadari sungguh dapat mengubah banyak orang.

Hubungan Antara Politik Dan Agama

Komitmen sosial yang diteladankan Asoka memang mencakup semua, karena penderitaan tidak pernah mengenal agama seseorang. Semua orang pada dasarnya menderita karena itu harus dibantu. Melalui kesadaran ini, tawaran Dhamma Buddhis sebagai jiwa seorang pemimpin menjadi penting, karena hanya itu yang bisa mengakhiri penderitaan dan membawa manusia pada kesejahteraan bersama. Karena pada akhirnya seorang pemimpin yang akan menentukan masa depan orang-orang yang dipimpinnya.

Tambiah mengatakan bahwa tujuan politis dari politik Asoka adalah agar rakyat dapat dijamin kepuasan material dan kemakmurannya sehingga moralitas dan agama Buddhis dapat terus berkembang[13]. Karakter sosial dari agama yang ditampilkan Asoka menunjukkan bahwa politik dan agama sama sekali tidak bertentangan. Justeru keduanya saling terkait erat (sejauh agama menampilkan aspek atau nilai moral). Politik mendukung aspek fisik manusia sedangkan agama mendukung aspek spiritual. Orang yang sudah mengalami kesejahteraan dalam hidup mampu berkontemplasi dengan baik. Mereka yang sudah mengalami kesejahteraan berkat tuntunan pemimpin yang menerapkan prinsip-prinsip Buddhis akan semakin mengagumi moralitas Buddhis dan dengan demikian perkembangannya dapat dijamin. Dengan usaha untuk menampilkan aspek moral dari Buddhisme, Asoka ingin menunjukkan bahwa kehidupan politik yang diatur secara baik sebenarnya juga dipengaruhi oleh agama.

Baca juga :  Agama dalam Cangkang Kekerasan || Sosial-Agama

Asoka menunjukkan bahwa melalui sistem pemerintahan yang adil, nilai-nilai luhur Buddhis justeru semakin dirasakan semua orang. Keterlibatan seseorang sebagai pemimpin dalam suatu sitem pemerintahan tanpa memperhatikan aspek-aspek moral dalam ajaran agama Buddha hanya akan mengakibatkan kerusakan suatu negara. Sebaliknya, kecenderungan untuk bersikap militan dan kaku dalam memahami nilai-nilai keagamaan dapat membuat orang cendrung egois dan mementingkan diri. Agama harus berkarakter sosial, menjumpai dan mengangkat yang lain dari penderitaan. Komitmen pengikut Buddha Mahayana untuk ikut dalam kehidupan politik tentu tidak lepas dari kesadaran dan keprihatinan mereka akan penderitaan yang dialami orang lain.

Indonesia dan Nuansa Agama Minded

Persoalan Indonesia yang nuansa berpikirnya masih agama minded cenderung untuk melihat setiap persolan sosial dalam kacamata agama. Tidak terkecuali dalam dunia politik. Akibatnya, solusi-solusi yang diambil seringkali abstrak dan bahkan salah kaprah, dan kurang menyentuh kehidupan konkret. Cara berpikir yang cenderung mengagamakan segala aspek sangat ditentang oleh cara berpikir kaum Buddhis. Agama itu bukan semata kemampuan menghafal dan melafalkan setiap ayat dalam kitab suci dengan penuh keyakinan, tetapi soal imperatif moral yang menggerakan seseorang untuk bertindak demi membebaskan yang lain dari penderitaan. Agama pada dirinya sendiri tidak terlalu penting. Yang paling mendesak untuk dilakukan adalah tuntutan moral yang harus diaplikasi dalam kehidupan bersosial. Sejauh agama dapat membantu dalam menyelasaikan  persoalan pada semua segi kemanusiaan, maka ia dianggap baik. Akan tetapi, jika agama justeru dijadikan sebagai alat untuk memenuhi nafsu pribadi maka hal itu perlu dihindari. Dalam Buddhis, menjadikan agama sebagai alat untuk melegitimasi berbagai tindakan ketidakadilan demi memenuhi keinginan-keinginan pribadi merupakan penghalangan terbesar dalam pencapaian kebuddhaan.


[1] Dharmasoka Laksiri Jayasuriya, Buddhism, Politics, and Statecraft,  International Journal of Buddhist Thought & Culture, Department of Buddhis Studies, Researchgate, January 2008, 44.

[2] Todd Lewis, Buddhism: The Politics of Compassionate Rule, dalam Jacob Neusner (Ed.), God’s Rule: The Politics of World Religions, Washington, Georgetown University Press 2003, 340.

[3] Todd Lewis, Buddhism: The Politics of Compassionate Rule, 341.

[4] Matthew J. Moore, Buddhism, Mindfullness and Transformative Politics, NEW POLITICAL SCIENCE,
VOL. 38, NO.2, 2016, 274.

[5] Todd Lewis, Buddhism: The Politics of Compassionate Rule, 246.

[6] Dharmasoka Laksiri Jayasuriya, Buddhism, Politics, and Statecraft,  International Journal of Buddhist Thought & Culture, 56.

[7]Peter Skilling, King, Sangha And Brahmans Ideology, Ritual And Power Inpre-Modern Siam, Dalam Ian Harris (Ed.),   Buddhism, Power And Political Order, Routledge Taylor & Francis Group, London and New York 2007, 187.

[8] Nikam, N. A. and Richard McKeon (eds. and transThe Edicts of Ashoka, University of Chicago Press Chicago:. 1959, 42.

[9] Thapar, R., The Penguin History of Early India: From the Origin to AD 1300, Penguin, London 2002, 201.

[10] Dharmasoka Laksiri Jayasuriya, Buddhism, Politics, and Statecraft,  International Journal of Buddhist Thought & Culture, 57.

[11] Dharmasoka Laksiri Jayasuriya, Buddhism, Politics, and Statecraft,  International Journal of Buddhist Thought & Culture, 67.

[12] S. J. Tambiah, Buddhism and This Wordly Activity, Modern Asian Studies, Vol. 7, No. 1, Cambridge University Press, Cambridge 1973, 17.

[13] S. J. Tambiah, Buddhism and This Wordly Activity, 17.