Berani Berekonsiliasi || Book Review

Alhasil, sejarah kelam yang pernah terjadi di masa lampau tetap berjalan bersama mereka yang terlibat dan berperan serta di dalamnya. Perlakuan kejam memang telah terjadi di masa lalu. Tetapi lukanya tetap menganga kemanapun para pelaku dan korban berjalan. Bahkan sampai ke liang lahat pun, luka itu tetap mereka bawa.

Luka yang masih mengeluarkan darah itu, tidak saja melekat langsung pada pundak mereka yang terlibat langsung dalam peristiwa sejarah di masa lampau itu. Mereka yang tidak terlibat secara langsung juga turut memikul beban luka-luka itu. Mereka adalah keluarga, sahabat, kenalan, yang merasa senasib dan sepenanggungan.

Baca juga :  Moralitas Kristiani: Buah Sakramen Rekonsiliasi

Sebagai misal, peristiwa tragis Auschwitz. Peristiwa ini telah menjadi semacam icon atau lambang dosa dunia sekaligus luka kemanusiaan di masa lampau. Kegilaan genosida dan pembunuhan massal yang dilakukan secara sistematis terjadi di sini. Untuk menyembuhkan luka-luka itu, dibutuhkan rekonsiliasi antara para pelaku dengan para korban (juga antara mereka yang terlibat secara tidak langsung, baik dari pihak pelaku maupun dari pihak korban). Ya, mereka harus berani berekonsiliasi!

Rekonsiliasi bukan sekadar proses minta maaf dari pelaku agar mendapat pintu maaf dari para korban. Proses bukan tentang mendapat keadilan atas ketidakadilan yang terjadi di masa lampau. Juga bukan tentang mengganti rugi dari pihak pelaku kepada para korban. Rekonsiliasi adalah suatu perjumpaan antara dua pihak yang saling terluka, yang kembali berjumpa sebagai sesama manusia, kata Rabi Friedlander (hal xxi). Rekonsiliasi memungkinkan pihak-pihak itu saling terbuka untuk mengakui apa yang pernah terjadi di masa lalu, betapapun mengerikannya kejadian pada masa itu.

Baca juga :  Kekerasan Seksual: Mengganti Budaya Diam dengan Sensibilitas

Buku karya Geiko Müller-Fahrenholz ini berisi kisah-kisah tragis yang terjadi dalam sejarah peradaban manusia. Kisah-kisah tragis itu menimbulkan luka menganga yang cukup parah. Luka-luka itu amat perih rasanya bagi para korban, dan luka-luka itu menjadi memori dosa bagi para pelaku. Geiko kembali menulis luka-luka itu.

Baca juga :  Allah Telah Mati, Yesus Kristus Membunuh-Nya

Namun, penulisan kembali luka-luka tersebut tidak bermaksud untuk mengorek kembali luka yang ada agar menjadi lebih menganga. Menuliskan kembali luka-luka dunia itu amat penting saat ini. Sebab, para pelaku dan korban akan menyaksikan sendiri apa yang sebenarnya terjadi. Kebenaran kronologi akan membantu kedua pihak membuka diri terhadap realitas masa lalu. Dengan demikian, keduanya menemukan harapan untuk menemukan makna di balik pilunya kejadian itu, untuk kemudian memulai sesuatu yang baru di masa depan.