Opini  

Era Dilema Mencintai Diri

Era Dilema Mencintai Diri
Picture by ClaretPath.com

ClaretPath.com Era Dilema Mencintai Diri

1. Pengantar

Kuper barangkali bukan istilah yang asing. Apalagi bagi kaum muda.  Kuper merupakan kepanjangan dari “kurang pergaulan”. Lazimnya kuper ditempelkan kepada mereka yang kurang up date atau telat mengikuti roh zaman. Seseorang dikatakan kuper apabila gaya berpakaian, model rambut, merek handphone, dan gaya hidupnya tidak nge-trend. Selain itu, kuper juga sering dilabelkan pada mereka yang lamban mengetahui informasi yang sedang viral, misalnya kasus Ferdy Sambo, Fajar Sad Boy, dan Tik Toker yang mandi lumpur.

Mendapat label kuper sangat tidak mengenakkan. Alhasil, setiap orang dipacu untuk terus up date agar tidak mendapat label sialan itu. Akan tetapi, kenyataan sosial yang selalu memaksa untuk up date ternyata menyembunyikan bahaya. Tulisan ini hendak mengelaborasi selubung negatif itu seraya memberikan beberapa tilikan berupa kiat-kiat kecil sebagai solusi bahaya up date yang tidak terkontrol.

2.1 Pembahasan

Generasi yang mendominasi populasi manusia zaman ini adalah generasi Z dan milenial. Meskipun periode kelahiran yang berbeda, kedua generasi ini memiliki kesamaan, yaitu hidup di era teknologi dan industri. Survei Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) membeberkan bahwa sebanyak 132,7 juta orang Indonesia telah terhubung ke internet. Sementara penduduk Indonesia berjumlah 270,2 juta orang. Artinya,  lebih dari 50 % penduduk Indonesia telah terkoneksi internet (Wijoyo, dkk., 2020). Masifnya pengguna media digital ini memberi warna tersendiri bagi generasi saat ini.

Perubahan lingkungan sosial niscaya mempengaruhi perilaku masyarakat di dalamnya (Giddens, 1990). Mayoritas populasi masyarakat yang telah terkoneksi dengan internet pun demikian. Segala aktivitas manusia yang dulunya dilakukan secara langsung kini bermigrasi ke dalam dunia digital atau maya. Pandemi covid-19 yang mewabah beberapa tahun belakangan ini turut memicu. Semua mobilitas dibatasi. Masyarakat harus bekerja dari rumah dengan bantuan media digital. Alhasil, banyak aplikasi media sosial bermunculan: WhatsApp, Facebook, Instagram, Tik-Tok, Youtube, Zoom, dan Google. Di satu sisi, hal ini merupakan buah positif dari kemajuan zaman yang dipelopori oleh teknologi dan industri. Akan tetapi, kemajuan zaman bagaikan pedang bermata dua (Pando, 2013). Ia selalu memboncengi persoalan baru sebagai penumpang gelap.

2.1 Banjir Informasi dan Manipulasi Relasi Digital

Piranti media sosial yang bermunculan memberikan banyak kemudahan. Banyak Informasi dapat diakses dengan mudah hanya dengan sekali klik pada ponsel pintar (Hardiman, 2021). Informasi yang disediakan lebih beraneka ragam: gaya hidup, ekonomi, politik, hiburan, dan sebagainya. Selain menjadi konsumen, dunia digital membuka ruang bagi setiap orang untuk menjadi produser formasi. Konten yang dipajang pada akun media sosial dapat menjadi informasi bagi orang lain. Melalui foto yang dipajang di media sosial, pengguna lain mendapat hiburan dan mengetahui gaya hidup yang lagi trending. Ironisnya ketika semua orang menjadi konsumen sekaligus produser informasi, banjir informasi tidak terelakkan.

Baca juga :  Beragama yang Melampaui Identitas

Selain tersedianya akses informasi, media sosial juga menyediakan ruang relasi yang sangat luas. Kalau dulu orang hanya berelasi dengan tetangga sekitar, teman sekolah, dan kerabat keluarga,  saat ini berkat media sosial orang dapat berelasi melampaui batas geografis. Media sosial dapat mempertemukan seorang yang di pelosok Kalimantan dengan orang di Amsterdam. Ruang relasi ini juga memfasilitasi mereka yang memiliki gangguan psikologis, seperti pemalu, kurang percaya diri, dan inferior untuk berelasi karena mediasi media sosial persamaan tersebut dapat teratasi.

Akan tetapi ruang relasi virtual ini juga berbahaya. Banyak orang yang berelasi di dalamnya tidak sungguh berorientasi pada saling pemahaman. Para aktor yang terjun di dalamnya adalah mereka yang dipacu oleh tujuan dan krbutuhan manipulatif-egoistis: untuk selalu terhubung, ingin menjadi bagian dari kelompok tertentu, ingin diakui, dan haus popularitas (Beyens, 2016). Karena itu, para aktor dalam media sosial ini cenderung narsis – cinta diri yang berlebihan, pamer diri, haus apresiasi, dan ingin diakui melalui kolom like, comment, dan follow.

Akan tetapi kebutuhan para aktor ini kemudian terjerumus dalam satu lingkaran setan yang menyiksa. Postingan yang tidak dibalas dengan respon (entah positif, entah negatif) berupa like, comment, dan sebagainya akan mengakibatkan stres. Akan tetapi sebaliknya, kalau mereka menerima feedback yang bagus mereka akan terus terpacu untuk berlama-lama screening di laman media sosial (Thomaes et al., 2010). Dilematis bukan?

2.2 Kebutuhan Baru (Semu) dari Rasa Ingin Tahu

Manusia umumnya memiliki rasa ingin tahu yang cukup tinggi. Dunia yang serba digital saat ini menjadi lahan subur bagi rasa ingin tahu. Kebutuhan akan informasi baru telah difasilitasi oleh berbagai piranti media sosial. Tidak seperti zaman-zaman sebelumnya, informasi tidak semata bersumber dari buku, majalah, dan koran. Gawai menjadi perpustakaan raksasa (Sindhunata, 2021). Gawai menyediakan koran online, buku dalam bentuk e-book, jurnal online, video seminar atau diskusi online dalam Youtube, kamus online dan berjuta website yang juga memuat beraneka informasi yang dibutuhkan. Bermodalkan ujung jari untuk meng-klik pada layar ponsel, semua informasi yang dibutuhkan langsung tersaji di hadapan mata.

Kemudahan mendapatkan informasi dan meluasnya ruang relasi turut menelurkan kebutuhan baru. Meskipun bukan kebutuhan pokok, seperti sandang, pangan, dan papan, pergerakan zaman menyulap kebutuhan baru tersebut menjadi seolah kebutuhan pokok. Fenomena ini melahirkan, meminjam term Theodor Adorno (1903-1969) seorang kritikus Jerman, kebutuhan semu (Adorno, 1997).

Banyaknya Informasi yang tersedia dalam piranti media sosial membuat orang terpacu untuk terus mengetahuinya, up date. Perasaan ini umumnya dialami oleh mereka yang menghabiskan waktu di hadapan layar gawai. Orang enggan meninggalkan layar ponsel karena takut kehilangan informasi (Beyens, et al., 2016). Beberapa ibu melaporkan bahwa anaknya makanan dengan lahap bukan karena mereka sungguh lapar, melainkan terburu-buru untuk menghadap layar gawai mereka (Bulck & Eggermont, 2016).

Baca juga :  Panggilan dan Perutusan Anak-Anak Allah

Para remaja yang pergi tidur malam selalu menyimpan gawai di balik bantal dan mengaktifkan notifikasi agar tidak ketinggalan informasi (Lenhart, et al., 2010). Riset kesehatan juga melaporkan bahwa mereka yang sering screening akan mengalami peningkatan tekanan darah dan detak jantung apabila dijauhkan dari ponsel mereka (Elhai, et al., 2020).

2.3 FOMO (Fear of Missing Out)

Kebutuhan untuk selalu up date agar terus mendapatkan informasi baru dan tetap terkoneksi dengan media sosial melahirkan “penyakit” Fear of Missing Out (FOMO). Mereka yang terpapar penyakit ini akan sangat gelisah kalau tidak membuka gawai dan melihat informasi di dalamnya. Umumnya FOMO diakibatkan dua komponen dasar. Pertama, ketakutan bahwa orang lain akan memiliki lebih banyak pengetahuan dan pengalaman dari saya. Kedua, keinginan terus-menerus untuk tetap terhubung dengan orang-orang di jejaring media sosialnya. Dengan demikian bagian pertama berciri kognitif, sementara bagian kedua berciri behavioral.

Selain kebiasaan screening dan rasa ingin tahu, FOMO juga disebabkan oleh media sosial itu sendiri. Misalnya, mengaktifkan notifikasi yang memicu user atau pengguna untuk menceburkan diri ke dalam tindakan browser (Elhai et al., 2020). Dengan demikian media sosial turut mendikte kepribadian yang kemudian membentuk kebiasaan (buruk). Akibatnya, para pengguna menggunakan media sosial secara  tidak proporsional.

 2.4 Solusi yang ditawarkan

Berbagai “penyakit” akibat penggunaan media sosial di atas diakibatkan oleh penggunaan media sosial yang tidak tepat. Karena itu, berikut beberapa solusi yang penulis tawarkan. Pertama, membuat jadwal harian yang terstruktur dan komitmen personal. Cara ini sangat membantu karena memberi batasan waktu untuk screening atau berhadapan dengan layar gawai. Selain itu, pengguna juga dapat melakukan aktivitas lain untuk merealisasi informasi atau hal baru yang telah didapat melalui media sosial. Dengan itu,  pengguna lebih produktif, kreatif, dan memperkuat gambaran diri yang positif, tidak terkecuali mencintai diri sendiri.

Kedua, pengguna disarankan untuk membangun relasi dengan orang-orang sekitar (relasi corporeal), seperti keluarga, sahabat, dan masyarakat sekita. Relasi ini sangat membantu karena terhindar dari aktor dalam media sosial yang cenderung  narsis, dan egois.  Dibanding dengan relasi dalam media sosial yang semu, relasi corporeal lebih otentik, minim manipulasi, saling memahami, dan apa adanya. Dengan demikian peluang untuk manipulasi relasi dalam selimut kepentingan egoistis cenderung kecil.    

Ketiga, media sosial kerap menawarkan hal-hal yang menarik, tetapi tidak semuanya bermanfaat. Karena itu, pengguna hendaknya jeli dalam mengakses atau meng-klik konten di media sosial. Apalagi sampai berlangganan melalui like, comment, follow, dan subscribe. Selain itu, pengguna hendaknya tidak mengaktifkan notifikasi dari konten-konten yang tidak terlalu bermutu. Berkat kiat-kiat ini diharapkan pengguna lebih proporsional menggunakan media sosial.

Baca juga :  Hening || Lembar Sastra

3. Kesimpulan Era Dilema Mencintai Diri

Selalu up date merupakan salah satu bagian dari mencintai diri. Selain tidak dilabeli kuper, up date memperkaya pengetahuan dengan banyak informasi. Akan tetapi, up date sendiri tidak terlepas dari dunia digital dengan aneka fitur media sosialnya. Dan tidak jarang para pengguna fitur-fitur digital tersebut terjerumus dalam  bahaya baru. Alih-alih menggunakan media sosial untuk pengembangan diri, mereka justru terpapar berbagai penyakit baru, seperti kebutuhan semu, kecanduan screening, dan kegelisahan berlebihan untuk ketinggalan informasi (FOMO).

Menolak sama sekali penggunaan media sosial adalah kemustahilan. Sebagai pengguna yang berkesadaran, kitalah yang tahu mengontrol penggunaan media sosial. Tujuannya jelas, agar mempermudah pekerjaan kita dan melahirkan kesan-kesan positif, seperti gambaran diri yang positif, semakin kreatif dan inovatif. Dan di atas semuanya itu kita makin menghargai dan mencintai diri sendiri.

#Era Dilema Mencintai Diri

#Era Dilema Mencintai Diri

Daftar Pustaka

Beyens, I., Frison E., Eggermont, S., “I don’t want to miss a thing”: Adolescents’ fear of  missing out and its relationship to adolescents’ social needs, Facebook use,   and Facebook related stress,” Computers in Human Behavior, (64), 2016:1-8

Elhai JD, Yang H, Montag C., “Fear of missing out (FOMO): overview, theoretical            underpinnings, and literature review on relations with severity of negative        affectivity and problematic technology use,”  Braz J Psychiatry, March 2020

Giddens, A., Central Problems in Social Theory: Action, Structure and Contradiction in             Social Analysis, London: Macmillan Education Ltd, 1990

Hardiman, B., Aku klik Maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital,Yogyakarta:                   Kanisius,2021

                    Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan                   Bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius, 2009

                     “Manusia Dalam Prahara Revolusi Digital”, Diskursus, Vol, 17 (2), 2018:177-  180

LenharSt, A., Ling, R., Campbell, S., & Purcell, K.,. Teens and mobile phones,           Washington, DC: Pew Internet & American Life, 2010

Pando, Melkyor B., “ Menyingkap  Makna ‘Kenyataan Maya’”, Driyarkara, Vol.34 (3),          2013

Sindhunata, “Pengantar Majalah Basis Edisi Khusus”, Basisi, 2022

Thomaes, S., Reijntjes, A., Orobio de Castro, B., Bushman, B. J., Poorthuis, A., & Telch,         M. J., “I like me if you like me: on the interpersonal modulation and        regulation of preadolescents’ state self-esteem”, Child Development, 81, 2010

Wijoyo, H, dkk., Generasi Z & Revolusi Industri 4.0, Banyumas: Pena Persada, 2020

#Era Dilema Mencintai Diri