Inspirasi Dari Sebuah Dialog

Oleh Fr. Jery Mamput, CMF

Inspirasi Dari Sebuah Dialog
Sumber gambar: ClaretPath.Com

ClaretPath.comInspirasi Dari Sebuah Dialog

Pengantar

            Konsili Vatikan ll, konsili ekumenis 21, memiliki sumbangsih besar bagi perkembangan Gereja universal.[1] Konsili Vatikan II menjadi penanda waktu untuk pertama kalinya Gereja keluar dari keterkungkungan. Tentu sebagai peristiwa, konsili ini mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan gereja katolik. Banyak dokumen dikeluarkan untuk menyambut udara segar. Spirit aggiornamento mulai dan terus digemakan. Salah satu dokumen yang dikeluarkan pada saat itu ialah Nostra Aetate. Tugas dan peran dokumen ini sangatlah penting untuk dipublikan. Tugasnya berjuang untuk mengembangkan kesatuan dan cinta kasih antarmanusia dalam menghadapi situasi-situasi sekarang melalui dialog dan perjumpaan.[2]

Dialog relasionalitas

Pokok iman tentu masih dipertahankan dalam dialog relasionalitas ini. Dialog-dialog seperti inilah yang akan terus dijalankan dalam setiap perjumpaan yang menjanjikan. Tulisan sederhana ini memuat dialog perjumpaan iman di mana ditemukan bahwa proses bekerjanya iman dirasakan oleh setiap pribadi.  Iman ini tentu bersumber dari tanggapan manusia atas rancangan rahasia Allah. Untuk itu, mari kita lihat bagaimana dengan iman dari kepercayaan lain dalam menanggapi rancangan atau Allah yang bagaimana yang ia bicarakan.

Hasil Dialog

            Berikut ini adalah hasil wawancara (dialog) saya dengan seorang narasumber yang berbeda keyakinan.

Nama               : Nuryada Daeng Inaba

Panggilan        : Rya

TTL                 : Larantuka, 09 Desember 2003

Status              : Mahasiswa Universitas Nusa Cendana Negeri Kupang, Program Studi Matematika

Wawancara      : Via Zoom, 24 Agustus 2022

Siapakah Allah bagi Anda?

            Bagi saya Allah itu Maha Esa. Dia-lah tempat di mana saya menggantungkan segala sesuatu. Allah adalah kekuatan terbesar dalam diri saya. Mengapa? Karena Allah mampu menjawab setiap permohonan. Begitu banyak kebaikan yang terjadi dalam diri karena berkat kebesaran Allah. Sebagaimana yang terdapat dalam Al Qur’an, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia melihat segala yang kelihatan, dan Dia-lah yang maha halus lagi maha mengetahui” (Al-An’am 6=103). Namun, saya yakin semua ini bukan hanya terdapat dalam diri saya, melainkan semua orang yang percaya kepada-Nya.

Bagaimana Allah dialami dalam hidup dan perjuangan?

            Setiap perjalanan dan perjuangan hidup yang saya alami adalah ketika Allah selalu hadir untuk menuntun dan membimbing langkah hidup. Apapun yang saya lakukan mampu diketahui Allah. Hal ini membuat saya tidak pernah berjalan sendirian. Begitu besar kebaikan dan cinta diberikan-Nya. Allah yang begitu agung dan sempurna, akan selalu mengarahkan langkah hidup saya ini. Oleh sebab itu, saya ingin lebih menjalin suatu relasi intim dengan diri-Nya.

Baca juga :  Cambuk Baudrillard Bagi Masyarakat Konsumeris

B. Isi Inspirasi Dialog Muslim 

Iman dalam Rahmat Allah

            Pada zaman kita yang semakin sekuler ini agama memainkan peran penting terhadap kehidupan berjutaan manusia. Agama diyakini sebagai suatu pokok hidup. Dilihat dari sumber-sumber bahwa 70 persen manusia terhimpun dalam agama. Masing-masing dari 70 persen ini menganut dari setiap agama yang berbeda[3]. Agama tentu selalu mengambil bagian yang penting dari setiap poros hidup manusia.

            Agama ada karena iman. Bukanlah agama yang penting, melainkan iman. Apa gunanya saya memiliki agama kalau tidak memiliki iman. Hal semacam inilah yang sangat mempengaruhi orang dalam mempertahankan status keber-agama-anya. Iman dimiliki setiap orang. Iman itu tidak akan pernah pudar selagi dipertahankan lewat perjuangan. Contonya, iman Islam dengan sukarela mengacuh kepadanya – telah menyerahkan diri kepada Allah. Kaum muslimin dengan segalah usaha mereka menyerahkan diri segenap hati pada semua rencana (plans) Allah yang bersifat rahasia (secred). The god’s plans are secred. Artinya, iman itu selalu menjadi sebuah tanggapan yang pantas untuk undangan pernyataan diri Allah yang menyapa manusia atas semua rencana dan kehendak rahasia.[4]

            Kita mengingat bahwa hidup menggunakan iman itu selalu mengandalkan Allah, bukan atas kekuatan sendiri. Allah itu selalu ada dalam setiap posisi hidup manusia. Jika manusia membuat Allah cemburu sudah pasti selalu membawa pengampunan. Banyak orang tak mengakui itu, karena orang hanya tau beriman, tetapi tidak tau bertindak. F. Bacon, mengatakan barangsiapa yang tidak mengenal Allah (menolak) ia mengahancurkan keluhuran manusia.[5] Filsuf ini sangatlah mapan dalam membelah hak Allah. Pernah ia juga mengatakan jika manusia meragukan bahwa Allah itu tidak ada ia pun harus bertanya dalam dirinya tentang eksistensinya (terjemahan pribadi).

            Dalam pemikiran saya Allah sudah berjuang untuk manusia, sehingga banyak orang mengeluarkan teologi Allah angkat pantat. Hal semacam ini gampang sekali untuk dibuktikan, yakni pribadi Yesus kristus. Iman di sini terlihat sebagai sebuah rahmat yang menuntut kebebasan manusia. Terus terang saya katakan bahwa iman dalam diri manusia diputuskan berdasarkan kebebasan. Meskipun begitu banyak tunggakan pengetahuan untuk melumpuhkan ideologi ini, iman yang dikatakan sebagai tanggapan akan terus bersuara tanpa bertepuk sebelah tangan. Seperti yang dikatakan oleh Anselmus Canterbury fides quarrens intellectum; iman yang mencari pemahaman.[6] 

Baca juga :  Kekerasan Seksual: Mengganti Budaya Diam dengan Sensibilitas

c. Iman Membantu Dialog

            Permasalahan yang dapat ditemukan dalam kehidupan agama kita adalah lupa akan identitas. Pergumulan identitas memang sudah digeluti sejak awal mula penciptaan. Pasti setiap orang beriman bertanya siap dirinya bagi diri sendiri dan siapa dirinya bagi orang lain. Banyak dari kita menguap dengan zona nyaman kita. Bahkan lelap dengan tidur kesendirian. Ruang egoisme muncul dalam benak lalu dituangkan dalam kehidupan bersama. Pergerakan etika yang diajar dijadikan ruang sempit tanpa cahaya, tertutup rapat dan bias cahaya. Apakah masih pantas disebut sebagai orang beriman?

            Allah adalah penolong sejati (narasumber). Dalam kehidupan keseharian Allah merupakan penopang hidup dikalah duka melanda. Semua bisa terkendali karena Allah selalu disamping. Iman tetap tumbuh secara nyata ketika orang terkungkung dalam setiap persoalan. Banyak orang beriman selalu mengandalkan Allah, tak tega mereka melihat Sang Pencipta ini cinta-Nya bertepuk sebelah tangan. Bukan karena kasihan, tetapi ada sesuatu yang dirasakan dalam setiap pengalaman hidup. Pertanggungjawaban adalah modal yang besar dari setiap orang yang memiliki iman. Justru di balik tanggung jawab itu, Allah mempunyai kesan tersendiri yang tak dapat di mengerti. Rancangan Allah merupakan rancangan iman yang manusia inginkan. Seolah-olah Allah adalah sumber segalah sesuatu.

Iman yang menginstitusi

            Kesatuan iman adalah gaya agama zaman sekarang.  Gereja adalah kita sendiri, jadi iman selalu harus menjadi milik bersama. Dalam konsili vatikan ll, iman dijadikan sebuah tonggak awal dalam membangun sebuah dialog khusus. Bukan untuk menyogok, tetapi bersatu menghadapi permasalahan sesuai konteks. Dalam keberimanan kita, pun selalu mengharapkan jawaban tentang teka-teki keadaan manusiawi yang tersembunyi dalam menyentuh hati secara mendalam. Jadi, misteri terakhir tak akan terperikan, melainkan kelegaan yang merangkum keberadaan setiap manusia dalam nama Allah sendiri. Allah yang satu-satunya, yang hidup berdaulat, penuh belas kasih dan maha kuasa, pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada manusia (Allah dalam muslimin).[7]

kesimpulan Inspirasi Dari Sebuah Dialog

Iman Menyelamatkan

Banyak dari pengalaman sehari-hari menuntut kita manusia bertanggung jawab atas iman. Mulai dari hal-hal yang kecil sampai pada taraf pengalaman yang besar. Semua ini berawal dari sebuah tanggapan kebebasan kita sebagai manusia. Allah hanya menuntun ketaatan pada manusia. Semua kita tentu merasakan bagaimana iman itu nyata hadir dalam setiap perjumpaan definif kita dengan Allah. Perjumpaan pengalaman itu tentu membentuk kita untuk setia dan bebas melalui pengilhaman.

Baca juga :  Mengasihi Allah Dasar Mengasihi Sesama

Sejarah keselamatan manusia tak terlepas dari peran kewahyuaan Ilahi, dimana Allah turut hadir dalam proses keselamatan itu. Pewahyuan itu nampak dalam karya dan diri Allah sendiri. Meskipun cinta Allah selalu bertepuk sebelah tangan, Ia tetap setia mendampingi hidup manusia dalam proses terjadinya sejarah keselamatan. Allah bahkan menangis saat anak-Nya yang tunggal rela wafat di salib demi penebusan untuk keselamatan.

Tonggak sejarah keselamatan ini adalah memahami setiap apa yang di wahyukan oleh Allah dalam diri anak-Nya. Bisa saya katakan bahwa dalam karya ini Allah selalu cemas dengan keadaan dunia sekarang. Mengapa Allah tidak murka? Mengapa Allah berbelaskasih? Mengapa Allah mengampuni?  Semua karena Allah yang menciptakan. Keselamatan ada karena ada pengorbanan. Tanpa adanya pengorbanan keselamatan akan kebahagiaan tak akan pernah muncul sampai sekarang.

Maka, iman adalah sarana untuk masuk dalam keselamatan. Tanpa adanya iman dan kepastiaan orang akan terus mencari pasti. Tidak akan ditemukan.  Menyadari iman sebagai tonggak utama keselamatan, saya mengajak semua untuk tetap mengandalkan Allah dalam hidup sebab Ia adalah sumber dari segalah sesuatu.

            Oleh karena itu, iman merupakan tanggapan atas rencana Allah. Bagi kita semua selalu berasal dari Allah. Kesadaran bermain penting dimana persoalan datang Allah selalu diandalkan. Sebab, Allah selalu menghendaki segenap umat mendiami seluruh muka bumi tentu untuk mempunyai tujuan akhir, yakni kembali kepada Allah dan penyelenggaraan-Nya, bukti cinta kasih-Nya dan semua rencana-rencana keselamatan.

Inspirasi Dari Sebuah Dialog


[1] Lih. DOKUMEN KONSILI VATIKAN ll, hlm. xi

[2] ibid, DOKUMEN KONSILI VATIKAN ll, NOSTRA AETATE, hal. 319

[3] Ibid, Michael Keene, Agama-Agama Dunia, hal.6

[4] Emanuel Martasudjita, Pokok-Pokok Iman Gereja, hal.16

[5] F. Budi Hadirman, Filsafat Modern dari Macihiaveli sampai Nietzhe, hal. 26

[6] Emanuel Martasudjita, Pokok-Pokok Iman Gereja, hal.12

[7] Ibid, KONSILI VATIKAN ll, NOSTRA AETATE, hal. 321

Inspirasi Dari Sebuah Dialog