Cambuk Baudrillard Bagi Masyarakat Konsumeris

Sumber Gambar Medium.com

Penaclaret.com – Gaya hidup konsumtif tidak bisa dihindarkan dari kehidupan masyarakat dewasa ini. Ada begitu banyak faktor yang membuat orang jatuh pada gaya hidup konsumeris. Jean Baudrillard, melalui gagasan tentang manipulasi tanda mau mengkritik gaya hidup konsumeris ini. Ia memberikan sebuah cambuk kecil bagi masyarakat kita untuk lebih bijak dalam menentukan sikap hidup.

Jean Baudrillard lahir di Reims, Perancis 27 Juli 1929 dan meninggal 6 Maret 2007. Ia dikenal sebagai filsuf kontemporer yang banyak berbicara mengenai isu-isu pascamodernisme dan pascastrukturalisme. Salah satu pemikiran yang juga berisi kritiknya yang terkenal adalah tentang masyarakat dalam era yang disebut postmodern. Secara umum pemikiran Baudrillard menekankan pola konsumsi dalam masyarakat Postmodern.

Menurut Baudrillard, dalam masyarakat postmodern, konsumsi adalah sebuah prinsip maksimalisi eksistensi. Dalam masyarakat konsumtif, kenikmatan tidak dilihat sebagai tujuan tetapi akibat dari trend kolektif, yakni karena banyak kontak, relasi dan penggunaan tanda. Dalam masyarakat konsumtif, yang dikonsumsi bukan objek atau barang tetapi realisasinya (kesanggupan untuk mengonsumsi). Ketika orang mampu mengonsumsi barang yang telah menjadi tanda, saat itu ia menemukan kenikmatan bahkan makna keberadaannya. Hidup akan ditegaskan eksistensinya jika dalam arena sosial orang dapat mengkonsumsi apa yang dikonsumsi masyarakat kolektif.

Masyarakat konsumeris ditandai dengan tingginya keinginan untuk memiliki barang sebanyak mungkin meski tidak dibutuhkan. Apalagi, barang yang mau dikonsumsi itu bisa menjadi penjamin tanda. Tanda di sini, merujuk pada prestise, jumlah konsumen, harga barang dan pelaku konsumsi. Tingkat kelarisan suatu barang berbanding lurus dengan kemampuan barang itu menjadi tanda. Yang membuat suatu barang diingini oleh masyarakat bukan kualitas barang itu, tetapi kuantitas pemakai. Dengan kata lain, tujuan konsumsi bukan terletak pada nilai guna tetapi nilai tanda suatu barang.

Baca juga :  Reba: Pesona Inkulturasi dari Tanah Ngada

Orang akan lebih tertarik pada suatu barang yang sudah menjadi tanda. Hp bermerk dan mahal akan lebih mudah terjual daripada Hp yang murah. Demikian juga, di kota-kota besar, orang cenderung untuk memilih makan di restorn-restoran elite yang mahal, daripada warung-warung kecil di pinggir jalan yang menghidangkan aneka makanan murahan. Hp dan resataurant telah menjadi tanda, sehingga memberi kemudahan bagi masyarakat untuk menggandrunginya. Hp dan restaurant mewah memikat karena dapat mengafirmasi kelas sosial tertentu sekaligus membuat pembedaan dengan kelas yang lain.

Kelas seseorang dan afirmasi terhadap suatu nilai didukung oleh tingkat konsumsi. Semakin orang mengonsumsi barang yang sudah memiliki tanda, semakin ada kesadaran akan tingginya status yang dimiliki dalam hidup sosial. Hal ini karena konsumen dapat memproduksi makna bagi diri sendiri. 

Perilaku konsumen yang cenderung menggandrungi barang-barang yang sudah menjadi tanda, secara tidak langsung telah menjauhkan manusia dari dunia riil. Tanda yang sejatinya merupakan ‘hiasan’ suatu barang dijadikan sebagai realitas sesungguhnya. Ada dua istilah yang digunakan Baudrillard untuk menggambarkan hubungan antara konsumen dengan dunia nyata, yakni curiosity dan misrecognition[1].

Masyarakat membangun hubungan tidak lagi atas dasar kepentingan, ketertarikan dan komitmen untuk bertanggung jawab dan cenderung untuk tidak peduli. Masyarakt memandang dunia nyata sebagai sesuatu yang aneh, sehingga memunculkan sebatas keinginan untuk mengetahuinya (curiosity). Namun, hubungan keingintahuan ini tidak menyimpan pengetahuan murni di sana atau dengan kata lain bukan suatu totalitas pengetahuan (misrecognition). Kesalahan masyarakat adalah, menjadikan tanda sebagai kenyataan yang riil, dan menerimanya tanpa sedikitpun keraguan.

Baca juga :  Roti Hidup: Bekal Menuju Keabadian

Dalam arti tertentu, konsumsi meemiliki dampak positif yakni memacu semangat orang untuk bekerja keras demi pemenuhan keinginan akan barang yang menjadi tanda. Akan tetapi, kerja keras hanya dilihat sebagai kebutuhan sesaat dan bukan suatu medan untuk mengaktualisasi diri. Orang merasa membutuhkan kerja sejauh kerja dapat memberi kesempatan untuk konsumsi sebanyak mungkin. Di sini, kerja membuat orang menjadi individualis karena pemenuhan hasrat akan suatu barang/jasa lebih untuk kebutuhan diri sehingga mengikat solidaritas[2].

Baudrillard juga mengatakan bahwa konsumsi menjadi maksimalisasi eksistensi dan manipulasi tanda. Eksistensi seseorang semakin diakui ketika tingkat konsumsi barang yang menjadi tanda semakin tinggi. Orang bisa membangun kontak, relasi dengan ‘sesama saudara’ pengguna barang yang menjadi tanda dan dengan itu merasa diakui eksistensinya. Di sini, yang menjadi tujuan bukan lagi kepuasan atau kenikmatan, tetapi penggunaan tanda yang menghasilkan kontak atau relasi itu. Orang yang menggunakan fasilitas hotel berbintang lima, tidak sebatas mengharapkan kenyamanan yang ditawarkan hotel berbintang itu, tetapi karena di hotel berbintang itu, orang bisa bertemu dengan mereka yang berasal dari kelas sosial yang sama.

Baca juga :  Politisasi Tembok dan Defisit Relasionalitas

Baudrillard juga melihat bahwa konsumsi menutup situasi sesungguhnya dari seseorang. Konsumsi suatu barang yang telah menjadi tanda membuat orang lupa diri. Konsumsi bisa saja bukan suatu kebutuhan, bahkan bertolak belakang dengan situasi ekonomi sebenarnya, namun karena tuntutan relasi orang cenderung berpura-pura. Seseorang yang berasal dari latar belakang keluarga miskin, ketika membangun relasi pertemanan dengan orang-orang kaya cenderung untuk menggunakan fasilitas yang digunakan orang kaya agar diterima dalam komunitas itu, meski sebenarnya secara ekonomi ia kesulitan mendapatkan fasilitas yang dimiliki orang kaya.

Lantas, apa artinya kebahagiaan bagi masyarakat konsumeris? Kebahagiaan hanya dipahami sebatas pada tuntutan untuk menjadi sama dengan suatu kelas dan membedakan diri dari kelas yang lebih rendah. Bagi masyarakat konsumeris, kebahagiaan tidak terletak pada kepuasan total yang diperoleh karena kualitas barang, melainkan karena barang itu mencerminkan dari kelas mana konsumen berasal. Dengan kata lain, masyarakat konsumeris memiliki semacam desakan untuk diakui eksistensinya dalam kehidupan sosial. Semakin seseorang memiliki banyak barang yang sudah menjadi tanda, semakin ia diakui status sosialnya. Dan itulah kebahagiaan mereka.


[1] Lih. Jean baudrillard, The Consumer Society, Myths and Struktures, London, Sage Publications, 1998, 35. Diterjemahkan dari La société de consummation, Editions Denoël, 1970.

[2] Haryatmoko, Membongkar Rezim Kepastian, Yogyakarta, Kanisius, 2016, 71.