ClaretPath.Com–Serba Salah
Hari Pembukaan Pekan Doa Sedunia Untuk Persatuan Umat Kristiani
Rabu Pekan Biasa II, 18 Januari 2023
Bacaan I: Ibr. 7:1-3, 15-17
Bacaan II: Mrk. 3:1-6
Sahabat-sahabat ClaretPath yang terkasih, pernahkah kamu berada dalam situasi hidup yang serba salah? Saat kamu memutuskan untuk melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin, tapi orang lain justru tidak menghiraukanmu. Atau saat kamu mencoba untuk membangun kembali relasimu yang telah retak; memperbaiki diri demi sebuah kebaikan bersama di masa depan, tapi justru orang lain menganggapmu sebagai pengganggu atau bahkan perusak situasi. Pokoknya apa yang selalu kamu kerjakan itu selalu mendapat omelan dari orang lain. Bagi mereka, semua yang kamu kerjakan itu adalah sia-sia belaka. Bahkan hal baik dan berguna sekali pun. Akibatnya kamu menjadi linglung dan hidupmu pun penuh dengan pertanyaan. Apa kesalahanku? Bukankah sesuatu yang telah kukerjakan itu berfaedah bagi orang lain?”.
Rentetan pertanyaan problematis itu hanya akan melahirkan sebuah sikap pesimisme yang berkelanjutan dalam hidup. Akibatnya kita menjadi putus asa dengan diri dan juga segala perbuatan baik kita. Mengapa? Karena, opini emosional seperti; semua itu salah, itu tidak benar dan semuanya serba salah, telah berurat akar di dalam pikiran kita sendiri. Alhasil, kita pun memilih untuk ‘meliburkan/memberhentikan’ diri dari pelbagai perbuatan baik kita.
Benturan Kehidupan
Slavoj Zisek, seorang filsuf kenamaan asal Slovenia pernah mengetengahkan bahwa, hidup kita ini sejatinya bermula dari katastrofi, sebuah ledakan besar. Hidup kita bersumber dan penuh dengan pelbagai insiden yang membenturkan diri kita ke dalam situasi-situasi hidup yang pelik. Salah satunya adalah hidup yang serba salah itu sendiri.
Situasi hidup yang serba salah ini, rupa-rupanya juga turut menjalari dan menghiasi karya penyelamatan Yesus bagi manusia. Hal ini bisa kita identifikasi dari narasi-narasi suci yang kita renungkan belakangan ini. Para penulis Injil (Sinoptik), terutama Injil Markus mengisahkan dengan jelas bahwa karya-karya pewartaan Yesus kerap kali mengundang banyak perdebatan di antara kalangan orang-orang Farisi dan para ahli Taurat. Mereka selalu mempersoalkan karya pewartaan dan juga keselamatan yang Yesus bawakan kepada para pendengar-Nya terutama orang-orang sakit.
Opini Emosional dan Opini Belas Kasih
Hari ini, penulis Injil Markus secara gamblang melukiskan bagaimana sikap orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang penuh dengan kecemburuan akan kasih dan belas kasih Yesus kepada orang yang mati sebelah tangannya. Kata-kata Injil; “Mereka mengamat-amati Yesus, kalua-kalau Ia menyembuhkan orang itu pada hari Sabat, supaya mereka dapat mempersalahkan Dia” (Mrk. 3:2), menegasi opini emosional orang-orang Farisi dan para ahli Taurat yang berusaha ‘mengebiri’ karya-karya penyelamatan Yesus dengan asumsi bahwa Yesus telah melawan hukum Taurat; Ia tidak menghargai Hukum Musa dan karena itu, semua yang Ia lakukan adalah tidak benar. Semuanya serba salah.
Yesus tahu betul akan asumsi emosional mereka itu. Karena itu, Ia menanggapinya dengan sebuah opini baru, yakni opini belas kasih. Ia bertanya kepada mereka: “Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang?” (Mrk. 3:4). Atas pertanyaan ini, orang-orang Farisi dan ahli Taurat tidak bisa menjawab. Mengapa? Sebab Yesus juga mencoba untuk memasukkan mereka ke dalam situasi hidup yang serba salah; antara menaati Hukum Taurat atau memelihara kehidupan. Bagi orang-orang Farisi dan ahli Taurat, jelas bahwa Hukum Taurat adalah norma tertinggi dalam kehidupan keagamaan mereka. Akan tetapi, bagi Yesus nilai kehidupan dan kemanusiaan seseorang jauh melampaui segala bentuk legalitas hukum. Termasuk hukum keagamaan yang memasung para penganutnya.
Satu hal yang bisa kita pelajari dari sikap dan tindakan Yesus ini adalah bahwa proyek keselamatan Allah itu berlangsung setiap hari, setiap saat. Ia tidak terpasung dalam legalitas hukum, ruang, dan waktu. Singkatnya, perbuatan baik yang menyelamatkan itu tidak mengenal waktu libur. Akhirnya, marilah kita terus berkarya setiap saat dan mengulurkan tangan kepada orang lain agar keselamatan semakin nyata dalam kehidupan harian kita. Marilah kita terus membina dan membangun opini-opini belas kasih dalam diri kita, agar opini-opini emosional tidak membunuh diri kita dan juga orang lain. Semoga Rahmat Tuhan membantu kita. Amin.
Mahasiswa Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira-Kupang. Pencinta kopi, senja dan novel Jonathan Livingston, Karya Richard Bach.