Pita Merah: Darah dan Lambang Para Korban
Sungguh brutal dan memprihatinkan! Dihadapan beringasnya wajah peradaban, kemanusiaan hancur berkeping-keping. Nyawa melayang, berceceran. Keadilan dipertanyakan. Adil kemudian manjadi suatu termin tanpa signifikansi. Bagaimana kita mendefinisikan keadilan dihadapan fakta durjana ini? Bagaimana kita melukiskan kemajuan dihadapan kehancuran martabat? Bagaimana kita menarasikan kebebasan di hadapan keterkungkungan? Bagaimana mungkin kita mengartikan freedom and equality di hadapan para korban? Pita merah yang terpampang lusuh di setiap gerbang peradaban menjadi saksi bisu kekejaman manusia. Homo homini lupus menguasai sejarah kita.
Pita merah (korban) dalam kesunyian jiwanya meneriaki kata “cukup” namun tak didengar, meneriaki kata “sakit” namun tak dipedulikan. Mendengar kata “adil”, yang terjadi kezaliman. Mendengar kata “bebas” yang terjadi penindasan; mendengar kata “damai” yang terjadi kakacauan dan peperangan. Letih. Dunia seolah terbalik. Apakah kemanusiaan sama dengan kedurjanaan? Apakah kebebasan sama dengan keterkungkungan? Apakah kedamaian sama dengan penindasan? Apakah keadilan sama dengan kezaliman? Bukankah keduanya itu berbeda? Bukankah itu berlawanan? Di hadapan pita merah, saksi bisu penindasan, pembunuhan, dan perampasan hak dan martabat, keduanya begitu identik. Sama. Seolah tak ada bedanya.
Baca juga:
Covid dan Solidaritas Terhadap NAKES
Pita merah dari balik ketersanderaannya, tak mampu mengucapkan pembelaan berlebihan. Bahkan, dia diam, membisu. Membiarkan sejarah mencatat kedukaannya itu. Mengijinkan sejarah mengurai sukma yang membara itu. Bagaimana bisa dia menuntut pembelaan jika raganya tak mampu lagi berbicara? Bagaimana bisa dia menuntut pembebasan bila nyawanya sudah terpenjara? Hanya satu harapannya, tak ada lagi duka nestapa terlentang di tapak-tapak peradaban. Titahnya kepada “pita hitam” dari bilik kesunyian yang mencekamnya.
Pita Hitam: Lambang Para Penguasa (Pemangsa)
Pita hitam berkibar, menorehkan prestasinya dalam kontestasi kebiadaban sepanjang sejarah, terentang ‘indah’ menembus kalbu peradaban. Kemanusiaan akhirnya luluh-lantah dihadapannya. Konsepsi humanitas tak ada artinya. Hanya puing-puing jiwa yang tak terhitung jumlahnya yang menjadi penghias pelatarannya. Beringas memang! Manusia kini berubah menjadi monster yang menindas.
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat Keilahian Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Sekarang sedang menyelesaikan tulisan akhir. Pengagum Axel Honeth