ClaretPath.com – Saya adalah Ketiadaan
Oleh Fr. Yohan Mada, CMF
Renungan Harian, Selasa, 14 November 2023
Bacaan I: Keb. 2:23-3:9
Bacaan Injil: Luk 17:7-10
“Dari awal saya menyadari bahwa pengetahuan saya bersifat prakktis bila saya merasa bahwa saya tidak harus membanggakan atau menyombongkan diri atas apa-apa, karena dari diri saya, saya adalah ketiadaan, tidak memiliki apa-apa, tak berharga apa-apa, tak mampu apa-apa, tak melakukan apa-apa. Saya bagaikan gergaji di tangan tukang kayu (Autobiografi of St. Anthony Marry Claret, 348)”.
Saya memulai renungan ini dengan mengutip ungkapan kerendahan hati, ungkapan seorang Hamba Sabda, St. Antonius Maria Claret, pendiri kongregasi para misionaris Claretian. Melalui kata-kata di atas dapat dibayangkan bahwa betapa ia, dalam hidupnya selalu menganggap dirinya kurang di hadapan Allah. ia sungguh-sungguh seorang hamba yang dipakai Allah untuk melayani Sabda-Nya.
Yesus, dalam bacaan hari menerangkan sikap seorang hamba terhadap tuannya. “kami adalah hamba-hamba yang tak berguna, kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan”. Dari ungkapan ini, Yesus mau menunjukkan bahwa seorang hamba yang baik tak lain adalah mereka yang mampu melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadanya. Tugas yang dimaksudkan di sini adalah melayani Sabda. Melayani Sabda bukan sebuah pekerjaan mudah seperti membalikkan telapak tangan; terlebih dalam konteks dunia sekarang. Yang mana banyak orang meragukan keberadaan Allah.
Ahasil, sekularisme dan sekularisasi pun perkembangan di sekitar kita. Ketika melihat kembali ke belakang tentang sejarah perkembangan Gereja, kita dapat menemukan bahwa banyak Santo/a yang mengabdikan dirinya sebagai seorang hamba; mereka dicemooh, dituduh, disiksa bahkan harus mengorbankan diri mereka demi menjadi seorang hamba Sabda. Begitu pula dengan Claret, ia harus menanggung segala bentuk tuduhan termasuk harus mati di pengasingan, Fontroide, demi tugas luhur yang dipercayakan padanya, yakni menjadi seorang hamba Sabda. Hemat saya Claret adalah seorang hamba yang ideal, yang telah melakukan segala pekerjaan yang dipercayakan oleh Tuannya.
Kisah bacaan injili hari ini dan kisah Claret, seorang yang mati di pengasingan merupakan kisah yang tak akan pernah habis. Bahwasanya kisah mereka masih relevan dengan kehidupan dunia sekarang. Mereka adalah contoh hamba yang rendah hati, yang bersukacita dalam kekurangan-kekurangan, yang memasuki pekerjaan-pekerjaan dan memeluk pengorbanan-pengorbanan. Lalu bagaimana dengan kita sekarang ini, masihkan kita bersikap seperti hamba dan Claret yang rendah hati melakukan pekerjaan mereka?
Tak jarang kita selalu mencari popularitas atas setiap pekerjaan yang telah kita buat. Apalagi bila pekerjaan-pekerjaan itu tidak bisa dilakukan oleh orang lain. Merasa diri hebat, punya segalanya, mampu berbuat segalanya, termasuk menggunakan potensi dan jabatan untuk mencela orang lain adalah fenomena umum yang sedang terjadi sekarang.
Kita rupa-rupanya kurang rendah hati, tidak mau menjadi seorang hamba. Kita lupa bahwa kita hidup melulu karena kebaikan Tuhan, yaitu melalui penebusan-Nya atas dosa kita. Maka, melalui bacaan suci ini kita diajar untuk menjadi hamba yang rendah hati sehingga melalui kebaikan-Nya kita dapat memperoleh kehidupan kekal.
Mari kita belajar dari kisah seorang hamba dalam bacaan hari ini, dan kisah Claret, seorang yang mati di pengasingan, yang rendah hati menjadi hamba Sabda; sambil kita tetap mengakui posisi kita sebagai hamba yang tak berguna (dalam bacaan Injil) dan saya adalah ketiadaan (kisah Claret), yang melayani Sabda karena kita telah ditebus-Nya.
Mahasiswa Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pengagum absurditas Albert Camus