Mencicipi Proses, Alami dan Rasakan

Picture by Sumba Update

Oleh: Maksi Keo, CMF*

Selasa Pekan Biasa XVII

Bacaan Injil: 13: 36-43

Sahabat Pena Claret yang terkasih,

Akhir-akhir ini dunia diliputi kabut hitam kedukaan. Sirene ambulan makin sering kita dengar. Karib, kerabat dan orang-orang mendadak pergi direnggut pandemi. Berita mati bahkan bukan lagi sesuatu yang mengejutkan. Terang dan gelap semakin sulit untuk dibedakan yang ada hanyalah mendung. Dengan gelap korona bisa kita kenali yang benar tulus dan yang palsu manipulasi, memberi pilihan jalan agar kita bisa keluar dari kelam musibah menuju terang pengharapan. Ketulusan itu seringkali seperti bintang di langit yang tak bisa dilihat kecuali di gelap malam.

Penjelasan perumpamaan lalang di antara gandum (Mat. 13: 24-30; 36-43) yang diberikan secara khusus kepada murid-murid merupakan panggilan untuk melihat bintang di langit yang tak bisa dilihat kecuali di gelap malam secara lebih dekat. “Orang yang menaburkan benih baik ialah Anak Manusia. Ladang adalah dunia. Benih yang baik (gandum) itu anak-anak Kerajaan dan lalang adalah anak-anak si jahat. Musuh yang menaburkan benih lalang ialah iblis. Waktu menuai ialah akhir zaman dan para penuai itu malaikat. Maka seperti lalang itu dikumpulkan dan dibakar dalam api, demikian juga akhir zaman” (Mat 13:37-40). Yesus dalam penjelasannya meminta kesabaran untuk membiarkan lalang terus tumbuh bersama gandum hingga pada akhirnya keduanya harus dipilah dan dipilih untuk dikumpulkan sesuai dengan asal-usulnya. Segala sesuatu yang menyesatkan dan semua orang yang melakukan kejahatan akan dicampakkan ke dalam dapur api. Dan orang-orang benar akan bercahaya seperti matahari dalam Kerajaan Bapa (Mat. 13: 41-43).

Baca juga :  Merespons Firman

Bercermin pada penjelasan perumpaan lalang di antara gandum, menghantar kita pada satu titik yang begitu penting untuk bisa dihidupi dalam dunia yang penuh kabut ini, menghargai proses. Karena sebagaimana yang digambarkan dalam bacaan Injil bahwa semuanya ada waktu untuk memilah dan memilih hingga memutuskan. Namun, yang penting adalah membiarkan semuanya itu berproses. Artinya kita tidak hanya berdiri saja lalu menilai tetapi hingga sampai pada mengalami dan merasakan. Sebagaimana Allah tidak hanya duduk berpangku tangan di takhta-Nya tetapi berani berlumpur bersama benih-benih-Nya melalui Putra tunggal-Nya, Yesus Kristus. Dan dari pahitnya penderitaan dunia, Yesus pun mengalami manisnya kebangkitan.

Baca juga :  Aku Takut Tuhan

Pengalaman Yesus yang mau tinggal bersama kita memerciki suatu harapan yang besar. Dengan kesabaran setiap orang dapat menghargai proses dan menikmati hasil. Dengan keberanian setiap orang mampu hidup dalam goncangan dan berdiri teguh di atas perjuangan. Bertebaranlah di ladang untuk merambahi segala penjuru dan keragamannya. Jumpailah perbedaan dan tinggallah bersama keasingan. Karena ketidakkenalan dan ketidakakraban merupakan pangkal kebencian. Menghargai proses dengan mengalami dan merasakan setiap kegetiran hidup kita pun diundang untuk mencintai setiap perbedaan dan keterasingan di tengah dunia. 

Baca juga :  Biarkanlah Tuhan yang Menilai

Semoga Tuhan memberkati kita.

*Penulis adalah Misionaris Claretian. Penghuni Komunitas Wisma Skolastikat Claretian Yogyakarta