Jumat Pekan Biasa XXXII
Peringatan Wajib St. Yosafat
Bacaan Pertma: Keb. 13:1-9
Bacaan Injil: Luk. 17: 26-37
Penaclaret.com – Mark Dowd, penulis “Queer and Catholic: A life of Contradiction” (2017), berkisah tentang masa-masa kecilnya. Ketika dirinya berada di bangku SD di St. Mark, Salford, dia selalu diganggu oleh pertanyaan “Mengapa setelah Getsemani, Yesus tidak berperang atau melarikan diri?” Tiga tahun setelahnya, Dowd terpikat pada musik Tim Rice dan Jesus Christ Superstar karya Andrew Lloyd Webber. Lagu yang paling mengesankan Dowd adalah solo Gethsemane, “I Only Want to Say” yang dinyanyikan Ian Gillan. Dan mungkin itulah jawabannya.
Para sahabat pena Claret yang terkasih! Pada hari ini kita merayakan peringatan St. Yosafat Kuntsevych, uskup dan martir (dia adalah orang kudus pertama dari Gereja Timur yang dikanonisasi oleh Roma). Lahir di tempat yang sekarang disebut Ukraina, ia pergi bekerja di Wilno dan akhirnya menjadi seorang biarawan Basilian. Dia menjadi uskup Vitebsk pada usia yang relatif muda, dan menghadapi situasi yang sulit, yakni tentang sentimen anti Barat yang dipromosikan oleh orang-orang sebangsanya, katolik ortodoks. Kebanyakan biarawan tidak ingin bersatu dengan Roma. Namun, melalui sinode, instruksi katekese, dan reformasi para klerus, Yosafat berhasil memenangkan sebagian besar Ortodoks di daerah tersebut ke dalam persatuan. Alhasil dia lalu difitnah dengan tuduhan, Yosafat telah “menjadi Latin”. Yosafat akhirnya dipukul dengan tombak, kemudian ditembak, dan tubuhnya dibuang ke sungai.
Membaca riwayat hidup Santo Yosafat, rasanya, kita pun ingin mengajukan pertanyaan yang sama dengan Mark Dowd, “Mengapa Yosafat tidak melawan atau lari?”
Saya jadi teringat sharing Jorge Galán, penulis Salvador, yang berbagi seputar buku barunya Noviembre di London Review Bookshop pada November 2019. Noviembre Galán berisi tentang tragedi El Savador 16 November 1989. Galán bercerita bahwa tragedi tersebut adalah pekerjaan jahat dari pasukan pembunuh yang disponsori tentara selama perang saudara di negara kecil Amerika Tengah antara 1980 dan 1992. Dalam kisahnya, pada pukul 18.30 malam, para tentara datang ke rumah para Yesuit. “El Cateo”, tuturnya, “misi pencarian”. Sasaran utama Batalyon Atlacatl adalah Pastor Ignacio Ellacuría SJ, yang adalah perantara perundingan kesepakatan damai antara pemberontakan gerilya dan pemerintah militer. Keterlibatan P. Ellacuria tentu telah memberi sinyal pada con-frater Jesuitnya bahwa mereka dalam bahaya besar. Mereka akhirnya pun membayar harganya dalam kegelapan malam dengan nyawa mereka. Karena para pembunuh diperintahkan untuk tidak meninggalkan saksi, Elba dan Celina Ramos (karyawati dan putrinya) dibungkam selamanya.
Cerita Jorge Galán, mengingatkan kita pada film, Of Gods and Men (2010), tentang apa yang terjadi pada komunitas Cistercian Prancis di Tibhirine Aljazair 1996: para rahib berhadapan muka dengan ancaman para milisi Islamis selama perang saudara. Film itu menceritakan ketegangan dalam diri mereka tentang keputusan untuk “tinggal” atau “lari”.
Saya rasa, baik Yesuit El Salvador dan Trappists of Tibhirine diperkuat oleh keputusan bersama. Namun ikatan dan kesetiaan semacam itu, sayangnya, tidak tersedia bagi mereka yang bertindak sendiri layaknya Santo Yosafat dan pengikut terbarunya Oscar Romero. Ketika Santo Romero sendiri berkotbah pada 23 Maret 1980 di Katedral Metropolitan San Salvador, dengan pesan mengecam regu kematian untuk berhenti membunuh sesama campesinos, ia tahu hari-harinya telah dihitung. Namun, bagaimanapun, Romero itu unik. Ia selalu berasumsi bahwa orang-orang kudus adalah manusia super dan kebal dari ketakutan manusia. Pada saat menatap kematian, menuruni laras pistol, dia tidak memilih lari atau melawan, namun tinggal, sendiri dan tidak berdaya.
Para sahabat pena Claret! Sebetulnya Romero sudah diperingatkan bahwa kritiknya yang semakin tajam terhadap pemerintah militer akan mengarah pada kematiannya yang prematur. Namun semakin diperingatkan, Romero semakin lantang berviat: “Jika mereka membunuhku,” katanya, “aku akan bangkit kembali dalam perjuangan orang-orang Salvador.” Sebetulnya apa yang membuat dia atau mereka termasuk Santo Yosafat yang kita peringati hari ini begitu berani? Semua itu tidak lain adalah “Cinta abadi”, kata Pastor Christian de Chergé, kepala komunitas Cistercian ketika memilih untuk tetap tinggal dan menghadapi agresor. Yah “Cinta abadi”— “Barangsiapa berusaha memelihara nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya, ia akan menyelamatkannya” (Luk 17:33). Semoga iman kita dikuatkan!
Misionaris Claretian di Medan