Maria dan Claret

By Fr. Jery Mamput, CMF

Mentalitas Misi Edukatif: Claret dan Kaum Sofis
Picture by Claretian Publication.com

ClaretPath.com Maria dan Claret

Evangelisasi bertolak dari rasa syukur dan terima kasih yang mendalam terhadap Allah yang telah mengutus putranya ke dunia untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Paus Paulus VI menerbitkan dokumen Evangeli Nuntiandi  (EN) 8 Desember 1975. Dokumen menjelaskan Evangelisasi dilihat sebagai panggilan yang khusus bagi Gereja, jati dirinya yang terdalam. Pemahaman tentang evangelisasi dalam EN merupakan pemahaman yang luas. Evangelisasi berarti membawa kabar baik kepada segala tingkat kemanusiaan (Kirchberger, 2004: 55).” Evangelisasi berpuncak pada pewartaan kabar gembira (injil) Yesus Kristus. Eksistensi evangelisasi dilatarbelakangi sebuah misi atau karya perutusan.

Misi merupakan suatu kata yang sekarang ini memiliki suatu resonansi yang khusus di dunia sekuler (apa itu misi hal. 26). Misi dalam arti ini tidak secara geografis melainkan berkaitan dengan iman Katolik. Essensi misi adalah “segala sesuatu di mana Gereja diutus ke dunia untuk melakukan evangelisasi yang diwarnai komitmen kesaksian.

Misi bisa berjalan jika ada yang mengalami misi itu sendiri. Secara intuitif sebutan untuk pelaku misi adalah misionaris. Lumrahnya pelaku misi terdiri dari kaum clerus, imam, biarawan/bairawati, serikat-serikat sekuler, dam kaum awam. Tupoksi awam lebih konkret dan objektif. Mereka secara khusus mendahului kaum clerus dan merintis jalan di mana evengelisasi akan diproyeksi. Hakikat sasaran misi evangelisasi para misionaris secara eksplisit kepada mereka yang gegap gempita akan iman dan melakukan penobatan (conversion). Seyogyanya misi evangelisasi tidak pernah terlepas dari sejarah pelaku misi pada mulanya. Sosok yang melakukan pertama kali evangelisasi atau pewartaan  injil adalah Maria.

Maria

Dahulu wanita mendatangkan maut, sekarang wanita yang mendatangkan kehidupan (KV II art.II NO.56). Maria hawa baru menjadi hamba karena Allah menghendaki demikian. (Krytiyanto, 1987: 29). Maria Putri Sion tampil sebagai personifikasi Yerusalem dan seluruh umat Allah serta pengharapan di masa depan (Krytiyanto, 1987: 34) . Maria miskin dan rendah tetapi unggul di hadapan Allah. Dia bukanlah kaum borjuis yang flamboyan tetapi dedikasinya filantropi. Gratia Plena memperlihatkan bahwa Maria perwan Nazareth setuju untuk menjadi Bunda Yesus (Krytiyanto, 1987: 40). Maria secara de facto menjadi elektif Allah sebagai ibunda penyelamat. Perawan Maria menerima kabar gembira dari Legatus Tuhan dengan animo yang akuntabel tanpa mendegradasi fiatnya “terjadilah padaku menurut kehendak-Mu” (Luk 1:38). Elaborasi Maria memaksanya untuk kuat dalam segala bentuk risiko yang akan dihadapinya yakni perempuan mengandung tanpa suami adalah aib besar. Dalam tradisi Yahudi pada masa itu jika perempuan diketahui  hamil tanpa suami diinklusi perempuan naif, berzinah konsekuensinya dialienasikan bahkan harus dihukum rajam sampai mati. Akan tetapi, Maria menginterpretasikan  dirinya sebagai elektif yang harus intensif menghadapi peristiwa yang hegemoni dirinya karena ia daring Allah. Oleh karena itu, Maria bersua dan butuh intervensi Allah menghadapi peristiwa yang mengekangnya.

Baca juga :  SINODALITAS DALAM PERSPEKTIF ASIA DAN INDONESIA

Sumbangsih Maria dalam karya evangelisasi tercatat sangat besar dan kontinuitas bagi umat Katolik sampai saat ini.  Wanita dari Nazareth itu adalah misionaris pertama sekaligus ibu dari semua misionaris. Jiwa kemisionarisan Maria yang asketik tampak ketika  mengandung sang sabda itu sendiri, mewartakannya kepada Elisabeth saudarinya, serta perjalanannya ke Mesir. Dedikasi Maria kepada Allah patut menjadi teladan bagi para misionaris  untuk memproyeksi diri berevengelisasi di seluruh dunia dan meniscayakan katarsis sebagai keutamaan.  

Misionaris Claretian

Misi evangelisasi (pewartaan injil) di permudah oleh eksistensi ordo-ordo, kongregasi-kongregasi, dan instansi sekuler lainnya.  “Sebelum Konsili Vatikan II ordo-ordo, kongregasi-kongregasi adalah tangan kanan Takhta suci (paus) dalam urusan-urusan eksklusif” (Waga, 2009: 76 ). Kongregasi diberi kebebasan mengatur atau bertanggung jawab terhadap daerah misi sesuai kharisma masing-masing. Kongregasi Claretian hadir menjawab panggilan misi tersebut. Kongregasi Putra-Putra Hati Tak Bernoda Maria (CMF) didirikan oleh Santo Antonius Maria Claret bersama kelima rekannya Esteban Sala, Domingo Fabregas, Manuel Villaro, dan Jaime Clotet di Vich Spanyol. Tujuan utama kongregasi adalah menyelamatkan jiwa-jiwa, kekudusan anggota, dan demi kemuliaan Allah yang lebih besar.

Baca juga :  Inspirasi Dari Sebuah Dialog

Kongregasi CMF ditilik sebagai kongregasi misionaris. Meraih gelar tersebut tidaklah mudah. Bapak pendiri (Claret) mengalami banyak pukulan maut yang fluaktif. Claret pernah beranimo menjadi rahib Chartusian, Imam Jesuit, dan Imam diosesan di paroki Sallent. Akan tetapi, tidak di legitimasi Allah. Allah mengingingkan sesuatu yang berbeda pada dirinya. Claret merefleksikan pengalaman itu sebagai penyelenggaraan ilahi. Allah menginginkannya beritineran ke mana saja untuk berevangelisasi tidak hanya berkarya di satu tempat. Analogi yang dibuatnya  untuk mengerti hal tersebut adalah Imam diosesan memiliki satu talenta sedangkan misionaris memiliki lima talenta. Lima talenta itu mengantarnya bermisi ke mana saja berbeda dengan imam diosesan yang berkarya hanya di satu tempat. Heredilitas kemisionarisan Claret sepenuhnya berimplikasi pada karya misioner semua anggota kongregasi. Para Misionaris Claretian dituntut ambil andil menyemarakkan misi perambatan iman di seluruh dunia secara intuitif terlebih khusus di 68 negara tanah misi Claretian saat ini.

Polemik

Claret tidak hidup di tahun milenial otomatis karya evangelisasi mengalami degradasi secara definitif. Diferensiasi cara bermisi, tempat bermisi Claret tidak mudah diimitasikan secara radikal oleh misionaris Claretian saat ini. Penerepan cara berevangelisasi dengan berjalan kaki pada abad XXI ini bisa menimbulkan absurditas diskursus. Selain itu, godaan terbesar misionaris menjadi organisasi besar yang mungkin tak sadar dan tak sengaja, bersekutu dengan kekuasaan, politik duniawi, dalam segala hal larut ke dalamnya (Bangunwijaya 1999: 101). Iklim dunia juga semakin tergila-gila pada birokrasi yang melumpuhkan sekaligus membiarkan keserakahan, uang, kenikmatan tubuh, konsumerisme, dan gengsi fana yang tidak tahu solidaritas kepada yang lemah dan miskin. (Bangunwijaya 1999: 102). Materialistis dan egosentris unggul dibandingkan konformitas. Claretian ditantang distorsi zaman oleh anomie masyarakat yang deviasi. Eksistensi Claretian pun dituntut mengalahkan persoalan yang timbul.

Baca juga :  Agama Shinto dan Kehidupan Sosial Masyarakat Jepang

Melawan permasalahan di atas, Claretian tidak pernah berjalan sendiri. Maria hadir sebagai ibu pelindung dan pendiri kongregasi mulanya. Kongregasi mengetahui dan merasakan bahwa hal berevangelisasi para misionaris merupakan karya Maria. “Keputraan Cordi Marian merupakan suatu tanda yang essensil dan karisma misioner para misionaris (Bocos 1998: 24). Oleh karena itu para Misionaris Claretian zaman now harus lebih kreatif dan dilecut cinta kasih. Flecher seorang toko etika mengatakan Cinta kasih merupakan satu-satunya prinsip moral yang kategoris, semua norma dan aturan moral lain bersifat hipotesis atau relatif (Suzeno, 2000: 116). Ekspresi hidup dari cinta kasih menyatukan para misionaris dengan Allah dan semangat apostolik demi keselamatan manusia (Misionaris Sumus 2015: 35) Misionaris Claretian dituntut untuk menjadi pewarta yang memiliki roh yang di dalamnya api berkobar, dihidupi oleh nafas doa dan permohonan.