Lakukan Sesuatu Dengan Hati

LAKUKAN SESUATU DENGAN HATI
sumber gambar; pos kupang .com

Senin, 16 Januari 2023

Bacaan Injil: Markus 2:18-22

ClaretPath.com – Setiap manusia lahir dari budaya dan tradisi tertentu. Hal inipun membentuk pola pikir dan cara bertindak kita.  Adalah keganjilan dan keanehan bagi kita jika ada orang atau kelompok tertentu melakukan sesuatu atau kebiasaan yang tidak sesuai.

Persis hal ini yang dibicarakan dalam Injil hari ini, tetapi lebih spesifik tentang hal berpuasa dalam tradisi Yahudi. Perlu diketahui bahwa berpuasa merupakan ritual umum yang dilakukan orang Israel di zaman Perjanjian Lama di mana hukum Taurat menentukan bahwa orang Israel di Hari Raya Perdamaian wajib melakukan puasa (Im. 16:29; 23:27-32).

Selain itu, berpuasa dalam tradisi mereka adalah sebagai bentuk kerendahan hati ketika datang beribadah kepada Yahwe. Bahkan berpuasa dalam konsep Perjanjian Lama memiliki beberapa makna, seperti membuka diri untuk menjadi alat dalam pekerjaan Allah, ekspresi dukacita atas dosa-dosa yang dilakukan dan gambaran kebergantungan kepada Allah. Sedangkan dalam tradisi orang Yahudi di zaman Perjanjian Baru tidak hanya menerapkan puasa satu kali dalam satu tahun melainkan berpuasa 2 kali seminggu (hari Senin dan Kamis), bahkan puasa bisa ditambahkan di waktu-waktu khusus

Baca juga :  Kesetiaan Wanita

Dengan tradisi dan kebiasaan ini, muncul Yesus dan murid-murid-Nya yang menjadi tanda keheranan bagi orang-orang Yahudi, yang hari ini diwakili para murid Yohanes dan orang Farisi. Karena Yesus dan kelompok-Nya membawa sesuatu yang baru di luar tradisi dan kebiasaan yang ada.

Tanda keheranan dan keanehan mereka terimplisit dalam pertanyaan dan perkataan murid-murid Yohanes Pembaptis: “Mengapa kami dan orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?” (ayat 18).

Rupanya murid-murid Yohanes Pembaptis dan orang Farisi secara teratur dan rutin melakukan puasa menurut tradisi dan kebiasaan Yahudi. Oleh karena itu ketika murid-murid Yohanes Pembaptis dan orang Farisi melihat murid-murid Yesus tidak berpuasa seperti yang mereka lakukan, maka hal itu wajar untuk dipertanyakan.

Jawaban Yesus kepada murid-murid Yohanes Pembaptis adalah “Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berdukacita selama mempelai itu bersama mereka?” (19).

Yesus menjawab bahwa untuk saat itu murid-murid-Nya tidak berpuasa karena Ia sendiri masih ada bersama dengan mereka, nanti saat Ia telah tidak ada lagi bersama dengan mereka, barulah para murid itu akan berpuasa. Kehadiran-Nya di dunia, Ia gambarkan sebagai kedatangan mempelai laki-laki dalam pesta pernikahan bersama dengan sahabat-sahabatnya, dalam suasana pesta yang penuh sukacita tentu tidak etis  dan tidak baik. Mereka harus bersukacita dan berbahagia  bersama mempelai-Nya. Artinya tuntutan tradisi Yahudi yang dihidupi oleh mereka bukanlah standar utama dalam kehidupan.

Baca juga :  Berjumpa Yesus, Mata Buta | Renungan Harian

Anehkan jika ada sebuah pesta pernikahan, tetapi berpuasa. Ini adalah logika kontrakdiktif yang tidak dapat diterima secara etis. Pesta adalah tanda sukacita, dan berpuasa adalah tanda dan ekspresi dari dukacita, penyesalan dan pertobatan.

Di dalam teks hari ini, Kristus, Sang Pengantin Pria, telah dalam pengorbanan dan kasih memilih gereja menjadi mempelai perempuanNya, yang diwakili oleh para murid dan orang yang hadir pada saat itu (bdk. Efesus 5:25-27).

Dari teks ini Injil hari ini, Tuhan mau bilang kepada kita bahwa dalam hidup sehari-hari kita harus mampu menemukan apa yang menjadi esensi dari keberimanan kita sebagai seorang Kristiani. Iman tidak sebatas pada ritual, rubrik dan tradisi melulu, tetapi yang terpenting adalah motivasi yang terkandung di dalamnya. Bukan persoalan puasa dan tidak puasa, doa dengan teriak dan doa dengan lembut, dan membantu orang atau tidak membantu dan lain sebagainya. Ini bukanlah takaran iman yang mau dikatakan Yesus bagi kita pada hari ini. Apalah arti doa kita jika tanpa motivasi dari hati. Motivasi menjadi dasar dari setiap ritual kehidupan yang kita lakukan setiap hari.

Baca juga :  Harga Sebuah Kebenaran

Dalam hal berpuasa, Yesus mau menegaskan bahwa berpuasa adalah bentuk penyangkalan diri, dukacita, dan pertobatan akan dosa, bukan tentang pamer rohani seperti orang-orang Farisi. Berpuasa bukan soal orang berbondong-bondong untuk melakukannya, tetapi sebuah seni iman yang termuat di dalamnya. Realitas kita meluluh berpuasa karena momen saja, bukan sebuah kerinduan dari hati.

Orang banyak mengidap penyakit lambung saat masa puasa (Prapaskah) mungkin adalah benae, karena tidak dari hati. Mungkin ya, mungkin tidak, hehehehe! Ini hanya sebuah asumsi belaka yang bisa kita renungkan lebih jauh puasa makna puasa dalam pengalaman kehidupan kita masing-masing.

Untuk itu, motivasi dari hati menjadi penting bagi segalanya, bukan sekadar melakukan. Paling tidak Tuhan mau bilang pada kita hari ini, lakukanlah segala sesuatu dalam hidup sesuai panggilan dan tugas kita masing-masing dengan hatimu.

Tuhan memberkati*