Jejak Langkah | Renungan Harian

Picture By pikist,com

Hari Biasa Pekan I Prapaskah

PF St, Perpetua dan Felisitas, Martir

Bacaan Pertama: Im 19:1-2,11-18

Bacaan Injil: Matius 25: 31-46

Penaclaret.com – Ini adalah kisah pengembaraan di negri beludak, atah berantah, yang manusia-manusianya berjuang untuk menjauh dari angkara murka— tapi bersama Tuhan yang baik. Dalam sebuah puisi yang tak tahu siapa penulisnya sampai hari ini berkisah tentang seorang pemimpi di malam hari. 

Dalam mimpinya ia berjumpa dengan Tuhan yang baik (dalam kalimatnya My Good Lord). Ia sedang berjalan di pesisir pantai bersama si Tuhan yang baik ini. Dalam perjalanan ia menemukan ada dua jejak kaki di pasir. Dia tahu, pahwa jejak-jejak kaki itu, satunya milik Tuhan, dan satunya miliknya sendiri. 

Si pemimpi berjalan bersama Tuhannya sepanjang tepi pantai. Dalam perjalanan di pesisir pantai itu, Tuhan lalu menunjukkan kepadanya keindahan langit serta mega-meganya, lautan beserta siluet batu karang. Namun kehangatan itu tidak berlangsung lama. Kilat mulai menyambar, menunjukkan akarnya yang perkasa pada kabut yang gelap di langit. Juga guntur bergemuruh di antara riuhnya saujana. Gemanya mengatasi letusan merapi dan membuat ciptaan menjadi sadar akan keterbatasannya. Tapi, yang lebih menyakitkan si pemimpi, dia lalu melihat ke pasir, dan sayangnya, di situ hanya terdapat sepasang jejak kaki. Dia mulai mengingat akan begitu banyak dosanya yang telah dia lakukan dalam hari-hari hidupnya di masa yang silam di bawah kolong langit. 

Baca juga :  Tidak Butuh Tanda untuk Percaya || Renungan Harian

Ia menatap getir Tuhan, bertanya, “Tuhan-ku, mengapa di saat aku sangat membutuhkanMu, Kau meninggalkanku?”

Tuhan yang Baik menghentikan langkahnya, menatapnya, sambil tersenyum berkata, “Anak-ku, Anak-ku yang berharga. Saat kau merasa terpuruk, merasa seolah tak berarti, dan sadari mengapa hanya ada sepasang jejak kaki di pasir, saat itu aku tengah menggendongmu”.

Puisi itu amatlah klasik, Footprints, jejak-jejak langkah. Sebuah puisi yang berakhir dengan percakapan namun tidak dengan tujuan akhir perjalanan. Ia ditutup dengan percakapan yang usai, namun dengan pengembaraan bersama Tuhan yang Baik yang tak rampung. Lebih dari itu, ia berakhir justru dalam perjalanan. 

Kisah tentang sang pemimpi mengingatkan saya akan kisah tentang kedatangan Anak Manusia dalam Kemuliaan-Nya. Kisah yang ditulis oleh injil Matius, injil untuk komunitas Kristen-Yahudi, yang di Abad Patristik diyakini sebagai injil tertua. Kendati sebenarnya tidak, injil tertua adalah Markus— demikian kata para peneliti Kitab Suci. 

Sudah barang tentu, teks Matius 25 adalah kisah tentang penghakiman. Dikisahkan bahwa Anak Manusia yang datang dalam Kemuliaan adalah seorang Raja yang tampaknya bertindak sewenang-wenang. Dia Raja sekaligus menjadi hakim. Ini aneh, seorang yang monopoli, tidak hanya sebagai raja tapi juga hakim. Tidak hanya itu, ia lalu mengumpulkan orang-orang dari segala bangsa kemudian memisahkannya lagi menjadi dua bagian. Ini juga aneh, sudah dikumpulkan dengan susah payah, bukan hanya satu kampung tapi dari segala bangsa, lalu dipisahkannya lagi. Kemudian layaknya gembala, ia memisahkan domba dari kambing. Yang kambing di sebelah kiri-Nya dan domba di sebelah kanan-Nya. Ini lebih aneh, masa manusia disamakan dengan hewan. 

Baca juga :  Melawan atau Lari

Tapi memang demikianlah yang tertulis. Ada yang sering mengatakan, kekuasaan melegalkan segala cara. Dan memang orang yang punya kuasa, segala sesuatu yang dilakukannya diyakini baik. Bahkan dia menyangka, mereka yang dikuasainya pun menganggapnya baik. Padahal, kadang juga dengan pahit keputusan seorang penguasa diamini. 

Keanehan-keanehan hakim dan Raja dari Anak Manusia ini semakin menjadi. Namun ini yang membuat saya atau mungkin si pemimpi hilang kata. 

“Ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku”.

Baca juga :  Kekuatan Kata-Kata

Seorang Raja, Anak Manusia yang datang dalam kemuliaan, justru memastikan bahwa Dialah orang lapar, Dialah orang haus, Dialah orang asing yang tidak punya tumpangan. Seorang Raja tanpa kuasa, tanpa sangan, tanpa pangan. Seorang mulia, tanpa tujuan, tanpa papan untuk berteduh. Zygmund Bauman menyebutnya, Vegabonds, istilah untuk pengungsi yang berbeda dari tourism. Kaum Vagabonds adalah mereka yang mengembara tanpa tujuan, tanpa perlindungan. Akhirnya bertindak “anarki” (di luar aturan dan norma), menjadi telanjang, di sangka sakit jiwa, lalu dimasukan ke dalam penjara—ini sungguh aneh. Raja ini, izinkanlah saya menyebutnya sebagai Yesus Kristus dari Nazaret, yang tanpa segalanya namun menyentuh sejarah segenap manusia bahkan masuk ke alam mimpi  si Pemimpi dalam puisi Jejak-jejak langkah. Sekali lagi, puisi itu selesai namun tak rampung. Si pemimpi sudah hilang kata untuk bertanya. Dan bukankah di musim berahmat Tessarakonta, demikian sebutan Konsili Nicea untuk Prapaskah, kita pun akan memasuki keanehan yang mengagumkan ini: ekstremitas dosa manusia dihadapan cinta Allah yang tanpa batas? Selamat Merenungkan!

Penulis: Chen CemeEditor: Firminus