ClaretPath.com – Ignatius Joseph Kasimo: Politikus Katolik Yang Berjiwa Nasionalis dan Kokoh Berprinsip
Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono[1] lahir di Yogyakarta, 10 April 1900. Pendidikan dasarnya dijalani di Tweede Inlandsche School. Setelah menamatkan Sekolah Dasar, ia melanjutkan sekolahnya di Kweekschool, Muntilan. Tahun 1918 ia melanjutkan pendidikannya di Middelbare Landbouw School (Sekolah Menengah Pertanian) di Britenzorg (sekarang Bogor). Tahun 1924, ia menjadi ketua pertama Partai Politik Katholiek Djawi/PPKD (tahun 1925 berubah nama menjadi Perkoempoelan Katholiek di Djawa, tahun 1930 menjadi Partai Politik Katolik Indonesia/PPKI). Pada tahun 1931-1924, ia masuk Volksard. Setelah kemerdekaan, ia diangkat menjadi anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) tahun 1945 dan ikut terlibat dalam perjuangan diplomasi pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia secara de jure melalui koferensi Linggarjati pada November 1946.
Tahun 1947-1949 Kasimo menjadi Menteri Muda Kemakmuran kabinet Amir Sjarifuddin. Setahun kemudian, ia merangkap sebagai Menteri Persediaan Makanan Rakyat dan Menteri Gerilyawan di Jawa Tengah kabinet Hatta I dan Hatta II. Kemudian menjabat sebagai menteri pada kabinet Soesanto Tirtoprodjo atau kabinet Peralihan. Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) ia menjabat sebagai wakil RI, namun setelah RIS dilebur, jabatannya pun berganti menjadi anggota DPR. Pada masa Agresi Militer II (Politiomele Actie) ia pun ikut bergerilya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada tahun 1960, ia menjabat sebagai anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung) yang kemudian dibubarkan PKI. Tahun 1967, ia bergabung dalam Tim Pemberantasan Korupsi, dan setahun kemudian kembali duduk di DPA hingga 1973.
Kasimo sungguh menyadari bahwa keterlibatannya dalam dunia politik merupakan sebuah panggilan. Sebagai wakil Gereja, ia berusaha sebisa mungkin agar dalam praktek, politiknya betul-betul mencerminkan identitas Katolik yang senantiasa peduli pada kemanusiaan. Baginya, kerjasama dengan pemerintah merupakan prinsip yang muncul dari iman suci katolik[2]. Karena itu, politik sama sekali tidak dilarang gereja sebab hakekat politik itu sendiri adalah demi kesejahteraan dan kebaikan bersama (Bonum Commune). Sebagai wakil katolik, ia telah menunjukan kekhasannya dalam berpolitik yang penuh prinsip dan sungguh didasarkan pada nilai-nilai kekatolikannya.
Politik berprinsip yang diterapkan Kasimo seringkali membuat dirinya ditentang dan dikritik. Hal ini dapat dilihat dalam kekokohannya menolak konsepsi presiden Soekarno tentang demokrasi terpimpin dan keikutsertaan PPKD dalam ‘Kabinet kaki empat’ yang dianggap berbahaya karena menyembunyikan unsur-unsur komunis yang bertentangan dengan prinsip demokrasi. Dengan menolak keduanya, tentu saja partai katolik tidak dapat menempatkan wakilnya di pemerintahan. Hal ini tentu bukan sesuatu yang menguntungkan bagi partai. Kasimo dengan tegas menolak memanfaatkan kedudukannya sebagai menteri untuk bertindak sesuka hati bahkan oportunis demi melanggengkan kekuasaan partai katolik. Politik demikian lazim dibuat oleh anggota-anggota partai lain namun tidak dengan Kasimo. Ia lebih mengedapankan perjuangan bersama dalam kesederhanaan, ketekunan dan kejujuran sebagai identitas yang harus dihayati dan dihidupi secara sungguh oleh partai katolik. Hanya dengan cara itu kehormatan partai bisa dicapai. Berhadapan dengan kekokohan prinsipnya, tidak jarang banyak anggota partai yang mengeluh. Menanggapi hal itu, ia mengatakan bahwa politik berdasarkan agama katolik bukanlah politik berdasarkan kesempatan untuk berkuasa, melainkan politik berdasarkan hati nurani demi kesejahteraan banyak orang.[3] Dengan demikian Kasimo telah memperlihatkan bahwa politik yang tujuan sejatinya adalah untuk mencapai kesejahteraan negara adalah jalan untuk merealisassikan penghayatannya akan nilai-nilai katolik.
Kasimo selalu menekankan bahwa perjuangan umat katolik tidak hanya untuk kepentingan Gereja tetapi juga bangsa. Rasa keberpihakannya pada bangsa sangat dipengaruhi Van Lith, mantan gurunya. Van Lith sebagai seorang katolik-Belanda telah menanamkan dalam dirinya kesadaran untuk mencintai bangsa sendiri. Kasimo menegaskan bahwa orang katolik yang baik seharusnya mempunyai rasa kebangsaan, rasa untuk menjadi bangsa yang mandiri. Menjadi katolik berarti serentak harus nasionalis.Itu berarti salah satu sumbangan yang paling penting dari umat katolik bagi bangsa dan negara menurut Kasimo adalah dengan menunjukan rasa patriotisme dan nasionalisme-konstruktif. Menjadi katolik berarti harus berjuang untuk kepentingan bangsa dengan jalan keberpihakan pada kemanusiaan dan bukan menjadi nasionalis yang frontal. Iman katolik yang mengajarkan kecintaan kepada kemanusiaan seharusnya menjadi dasar bagi munculnya kesadaran nasionalis. Menjadi katolik tidak selamanya berkutat dengan aspek spiritual-religius tetapi juga sekular, dengan melibatkan diri dalam hidup bernegara. Dalam negara itulah orang katolik dituntut untuk terlibat secara aktif dalam perjuangan untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Ignatius Joseph Kasimo sangat gigih meperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sebagai orang katolik -meski merupakan kaum minoritas kala itu- ia telah berjuang dengan jujur sesuai semangat iman yang dihayati. Keikutsertaannya dalam dunia politik tidak menjadikannya sebagai orang yang sungguh sekular, tetapi merupakan kesempatan untuk semakin mengasah dan menghayati imannya secara mendalam. Penghayatan terhadap iman katolik yang mendalam tidak lantas membuat dia berjuang hanya untuk kepentingan Gereja tetapi juga bangsanya. Ia sungguh menjadi seorang warga Gereja dan Negara yang menjunjung tinggi nilai keadilan, kesetaraan, perdamaian dan kesejahteraan. Gagasannya tentang ‘Kerjasama dengan pemerintah merupakan prinsip yang muncul dari iman suci katolik’ sungguh menjiwai kehidupan politiknya.
Sebagai apresiasi atas perjuangannya, tahun 1980 Paus Yohanes Paulus II menganugerahkan Bintang Ordo Gregorius Agung dan diangkat menjadi Kesatria Komandator Golongan Sipil dari Ordo Gregorius Agung. Ia wafat pada 1 Agustus 1986 di Jakarta. Pada tanggal 8 November 2011, pemerintah Indonesia melalui Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden RI keenam) memberikan gelar “PAHLAWAN NASIONAL” kepadanya.
Melihat politik à la Kasimo dan politik à la politikus abad 21 ini, timbul keprihatinan dalam diri saya. Betapa tidak, politikus kita saat ini cenderung untuk menerapkan politik oportunis, cara berpolitik yang sangat ditentang oleh Kasimo. Politikus kita saat ini menjadikan jabatan sebagai kesempatan untuk memperoleh kekayaan sebanyak-banyaknya bagi diri sendiri, keluarga dan golongan. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam negara kita korupsi telah menjadi sesuatu yang ‘”membudaya” bahkan gaya hidup wakil rakyat.
Lebih menyedihkan lagi, bahwa tindakan ‘menyerong’ dari para pemimpin kita antara lain juga melibatkan tokoh-tokoh yang memiliki keyakinan sama dengan Kasimo. Orang tidak lagi sadar bahwa menjadi pemimpin berarti harus menjadi suara Gereja yang selalu menyerukan keadilan dan perdamaian kepada semua orang. Seorang pemimpin katolik harus pertama-tama memperhatikan kesejahteraan mereka yang kecil sebagaimana dihayati dalam iman katolik. Ia menjadi wakil Gereja dan bersuara atas inspirasi nilai-nilai katolik. Dapatkah kita menemukan pejuang seperti itu?
Kasimo sangat gigih membela kepentingan kaum marginal. Hal ini sangat kontras dengan para petinggi pemerintah saat ini -meski tidak semua-, yang tidak mampu bersuara membela yang kecil. Lebih mengerikan kehadiran para pemimpin justeru menjadi ancaman dan bukan perlindungan. Rakyat kecil yang seharusnya berlari kepada para pemimpin yang adalah wakil mereka, justeru merasa takut karena harus berhadapan dengan “singa-singa lapar bertaring panjang dan mematikan”. Rakyat hidup dalam ‘ketakutan’, karena pemimpin mereka tidak lagi bersura untuk mereka. Masih banyak yang merasa dijajah oleh negara sendiri, oleh pemimpin sendiri. Para pejabat tidak lagi berjuang untuk kepentingan warga negaranya tetapi untuk kepentingan diri. Sikap yang sangat kontras dengan apa yang diperlihatkan Kasimo.
Ignatius Joseph Kasimo: Politikus Katolik Yang Berjiwa Nasionalis dan Kokoh Berprinsip
[1] Informasi seputar riwayat hidup I. J. Kasimo diperoleh dari sumber-sumber: J.B Sudarmanto, Politik Bermartabat: Biografi I.J Kasimo, Gramedia Pustaka Utama, bdk juga Gerry Van Klinken 5 Penggerak Bangsa yang terlupa Nasionalisme Minoritas Kristiani, diterjemahkan dari minorities, Modernity and the Emerging Nation, oleh Amiruddin, Lkis, Yogyakarta 2010, 73-99.
[2] Van Klinken, 5 Penggerak Bangsa yang Terlupa Nasionalisme Minoritas Katolik. 91.
[3] Sudarmanto, Politik Bermartabat: Biografi I.J Kasimo, 68.
Menamatkan Studi S1 di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Staf pengajar di SMA Pancasila, Borong. Tinggal di Paroki Borong.