ClaretPath.com – Identitas Ditemukan dalam Etika| Manusia memiliki suatu konsep atau pemahaman untuk mencari dan mengenal diri sendiri. Dalam pergumulannya, manusia membongkar semua jejaring sisi hidup dengan suatu intensi akan menemukan siapa dia sesungguhnya. Ini adalah suatu nuansa bahwa manusia memiliki suatu pemikiran rasionalitas untuk dimainkan dalam bayang-bayang “manusia pencari makna”. Hal semacam ini sangat ditekankan dalam sebuah pengalaman dan respon untuk mengalami formulasi sehingga dijadikan sebuah pembelajaran atau keyakinan. Konsepsi ini mengandaikan bahwa kita manusia selalu ingin bergerak maju, yang pada dasarnya sudah menjadi suatu habitus nature. Hemat saya bahwa semua ini terjerumus dalam suatu pemahaman, yakni manusia ruang identitas visioner.
Identitas dari Pengalaman?
J. Sudarminta dalam bukunya tentang Epistemologi Dasar (2002) mengatakan, bahwa tidak semua pengalaman itu bisa berkembang menjadi pengetahuan. Kalimat ini sangatlah bernuansa kritikan bagi manusia, dimana kita yang selalu bermodalkan pengalaman untuk mengambil suatu kesimpulan untuk memukul kalah apa yang datang untuk diri kita. Apalagi Descrates dan pemikir lainya mengungkapkan hal yang sama, menolak kesaksian sebagai salah satu dasar dan sumber pengetahuan (Sudarminta, 2002: 36-37). Dengan demikian kita paham bahwa sebagai manusia, kita tidak boleh memahami semua pengalaman sebagi tolak ukur untuk menilai pengalaman. Kita perlu bermodalkan etika moral yang mampu membawah kita pada kririkan atas tradisi yang begitu sulit untuk dihapus dalam posisi hidup.
Demikian juga, kita dapat menjelaskan penilaian dengan suatu putusan moral sangat ingin kita kuasai. Tentu pengaruh budaya yang memiliki tradisi seperti itu akan terus membawa suatu polah pikir ingin mengubah. Kehilangan identitas disini mulai hilang. Manusia selalu terpukau dengan pengalaman tradisi budaya yang dianggap berkat baginya. Kita lupa bagaimana pengalaman itu belum semua terpenuhi dalam suatu pandangan khusus. Penilaian moral untuk mengkritisi suatu pengalaman buntu ini akan diteruskan oleh etika khas penilaian. Apalagi, ujaran yang selalu kita banggakan atas pengalaman-pengalaman yang harmonis maupun usik sudah menjadi suatu hadiah bagi diri kita. Tidak lupa sering kita jumpai manusia berkata, pengalaman adalah guru terbesar. Terkadang kata-kata seperti ini lazim untuk sesuatu hal tetentu, tetapi kita lupa kita dimana dan dengan siapa dan untuk apa. Andaikan pengalaman itu merupakan suatu bentuk yang harus terus diterima dimanakah letak penilaian khusus etika moral.
Identitas Itu Etika
Manusia merupakan pelopor utama etika. Jika manusia gagal dalam memenuhi arti dan tindakan dari etika, etika akan berubah menjadi salah etika. Tentu banyak peristiwa yang akan dialami dan dinilai. Identitas manusia akan menjadi membusuk sebagai penggema dari etika itu sendiri. Dalam dunia etika kita mengenal bagiamana proses etika itu bermain dalam kehidupan kesehariaan kita. Kita mengenal corak etika di Asia Timur yang selalu menekankan ajaran bagaimana jalan yang harus ditempuh oleh manusia bila manusia ingin menemukan eksistensi diri yang mantap dan bermakna. Tidak lupa kita melihat bagaimana dalam etika klasik Cina, kita sebagai manusia diajak untuk menemukan dao-nya untuk dapat menemukan jalan yang baik baginya (Magnis-Suseno,2005:264). Pemahaman ini merupakan suatu nuansa bagaimana etika itu berperan penting dalam filsafat Cina.
Identitas manusia tidak bisa lepas dari sebuah etika. Manusia ketika menemukan dirinya dalam kondisi apapun selalu kembali ke etika. Apa yang saya lakukan? Pertanyaan seperti inilah yang terkadang membuat kita ragu akan keberadan kita sebagai yang memiliki identitas, akan perbuatan yang baik maupun yang jahat.
Saat studi tentang etika bersama dosen di fakultas, saya selalu terkesan dengan etika ini. Etika sendiri menurut pemahaman kami merupakan suatu studi atau refleksi terhadap apa yang benar atau salah, tindakan yang baik atau jahat dan tindakan patut dipuji atau disalahkan. Ketika saya menemukan oase ini dalam kehidupan sehari-hari saya selalu berpikir bahwa ini merupakan suatu wacana normative, tetapi tidak selalu imperative, kadang juga bernuansa hipotesis. Jadi tak akan dijadikan suatu patokan.
Kesimpulan Mini
Identitas merupakan suatu gerak maju (vision) dari manusia. Kita adalah makhluk yang beridentitas. Kadang kita memilih sebuah pengalaman sebagai suatu penilaian atau tolak ukur untuk menanggapi suatu fenomena hidup akan menjawab siapa kita sebenarnya. Tetapi kita lupa bahwa tidak semua pengalaman itu bisa dijadikan sebagai pengetahuan – menemukan siapa diri kita. Untuk menjawab itu semua kita perlu lagi melihat seberapa perbuatan kita yang menunjang kepribadian yang memiliki identitas ini. Jawabanya, kita adalah makhluk yang beretika. Dengan etika kita akan menemukan siapa diri kita.
ClaretPath.Com adalah ruang pengembangan bakat menulis dan media kerasulan, terinspirasi dari Santo Antonius Maria Claret, Pelindung Pers Katolik.