Etika dan Media Komunikasi dalam Pemilu 2024

Etika dan Media Komunikasi dalam Pemilu 2024
Picture by astrixinc.com

ClaretPath.com – Etika dan Media Komunikasi dalam Pemilu 2024

Kehadiran media komunikasi menjadi sarana yang tepat untuk menyebarkan informasi. Media komunikasi hadir dalam dua bentuk: audio-visual (televisi dan radio) dan tertulis (koran dan majalah). Sejak awal kemunculannya, keduanya memainkan peran penting. Dengan kata lain, media komunikasi mampu menjadi sarana penggerak perspektif masyarakat. Media-media tersebut menggunakan logika waktu pendek (informasi yang cepat, akurat dan terpercaya). Mereka selalu update dengan situasi yang sedang terjadi. Logika ini benar pada kejadian tertentu. Informasi mudik, misalnya. Kita melihat banyak liputan dari televisi yang menjadikan arus mudik sebagai laporan utama. Tak kalah menarik, halaman depan dari koran dan majalah menulis arus mudik. Menariknya, mereka mengemas laporan bukan hanya pada satu sudut pandang saja, melainkan bervariasi.

Media komunikasi meskipun mempunyai peranan penting, perlu diketahui bahwa setiap media platform mempunyai cara tersendiri. Selain melaporkan berita dari sudut pandang lain, mereka juga melaksanakannya untuk memperoleh viewrs yang banyak. Ketika dalam pemilihan umum, mereka mengangkat aktivitas dua tokoh dan meliput dengan waktu yang sama dalam aktivitas kedua tokoh yang berbeda. Ternyata liputan atau laporan kegiatan ini seringkali, secara tidak langsung, merendahkan satu orang terhadap lainnya karena berada dalam situasi yang berbeda.

Ketika menyampaikan informasi kepada publik, media mempunyai satu pertimbangan tentang bagaimana mendapat banyak pembaca, pendengar, atau penonton dengan kontennya. Jika media mengikat penonton dengan hal tersebut, maka media bisa mendapat keuntungan dengan cara mendapat banyak tawaran iklan. Bagi media, iklan adalah ladang dana selain pembaca, pendengar, atau penonton. Hal ini ternyata memberikan efek negatif bagi pembaca, pendengar, atau penonton dalam membangun opini khalayak umum.

Baca juga :  Musik Liturgi, Musik Rohani dan Musik Profan

Aktivitas dari media sering kali tidak memperhatikan batas-batas dan sejauh mana harus meliput. Bahkan, sulit membedakan antara ruang privat yang semestinya tidak diketahui orang banyak dan ruang publik. Menurut saya, hal ini menjadi satu momok tersendiri jika tetap eksis. Lebih dari itu, pembaca, pendengar, atau penonton terbawa narasi media. Dengan demikian, apa saja landasan dan titik pijak media dalam meliput dan melaporkannya?

Etika menggunakan media

Media komunikasi di samping prinsip komersial (bisnis) perlu memperlihatkan etika dalam pemberitaan. Apalagi hak untuk membagi informasi. Menurut Haryatmoko (2007:43), tiga dimensi dasar etika komunikasi yang harus diketahui oleh media: pertama, hormat dan perlindungan atas hak warga negara akan informasi dan sarana-sarana yang perlu untuk mendapatkannya. Hal ini berbicara tentang sarana berupa platform yang serba canggih dalam penyampaiannya kepada pembaca, pendengar, atau penonton. Ketika penyampaian informasi menggunakan televisi, maka perlu mempertimbangkan siapa saja yang bisa menikmatinya. Dalam hal ini, media bisa menyimpulkan bahwa semua orang bisa mengakses tanpa membedakan umur, profesi atau status karena keterbatasan media dalam menjangkau dan memilahnya.

Baca juga :  Persatuan Menuju Keselamatan

Kedua, hormat dan perlindungan atas hak individual warga negara. Jika cara pertama adalah untuk objek penyampaian, maka kedua berbicara tentang menghargai setiap orang dari isi konten informasi. Hal ini menjadi perhatian penting karena menghargai setiap pribadi dalam menyampaikannya informasi sangat sulit menentukan mana yang menjadi urusan pribadi dan mana yang menjadi pemberitaan umum. Untuk menjalani hal ini dan tidak menjadi persoalan, media perlu mengembangkan diskusi dengan tokohnya sebelum menyampaikannya kepada publik. Terakhir, ajakan untuk menjaga harmoni masyarakat. Hal ini berhubungan dengan efek dari sebuah pemberitaan. Memang, setiap orang mempunyai kemampuan memahami isi informasi berbeda. Media perlu menyikapi hal ini dengan menyederhanakan isi berita dengan kata-kata yang mudah dipahami. Alhasil, media mampu menjaga perdamaian dengan cara demikian.

Meskipun ketiga hal di atas sudah menjadi pegangan setiap media, saya menambahkan bahwa media perlu memperhatikan netralitas dalam menyampaikan informasi. Netralitas mengacu pada informasi yang tidak memberitakan dari satu pihak saja tapi secara menyeluruh dan komprehensif (teliti dan meliputi banyak hal). Hal ini sangat krusial dalam masalah atau konflik. Media tentu memainkan posisi penting dalam memecahkan sebuah konflik seperti liputan dan analisisnya yang tidak memihak atau bersikap netral. Kita telah melihat konflik di Ambon pada 2001 di mana media mengambil posisi untuk menjaga kasus tersebut tidak meluas di luar Ambon.

Baca juga :  Kesadaran dan Kesengajaan?

 Netralitas sejati bukan berarti menjaga dan memelihara perdamaian lebih dari itu mengacu pada sinergitas dukungan terhadap setiap insan bernegara. Artinya, media mampu mengkoordinir program-program vertikal (pusat menuju daerah dan sebaliknya). Dalam hal ini, media menjadi sarana dari pemerintah untuk lebih dekat dengan rakyat dan sebaliknya. Oleh karena itu, apa saja prospek media ke depan?

Media dan Pemilu 2024

Pada tahun 2024, negara Indonesia akan memasuki pesta demokrasi. Kita tahu bahwa pesta ini merupakan sebuah event besar untuk melihat pemimpin dan wakil-wakil rakyat mengajukan diri sebagai presiden-wakil presiden dan DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten. Semua orang secara perlahan-lahan menggunakan media komunikasi sebagai sarana untuk menyampaikan aspirasinya kepada publik. Para calon eksekutif maupun legislatif tersebut menggunakan televisi, radio, dan lain-lain sebagai sarana untuk mengampanyekan diri kepada masyarakat. Hal ini benar dan tepat menggunakan sarana yang baik. Dalam hal ini, media hadir untuk menjaga agar pesta ini berakhir sesuai harapan semua orang, yakni damai.