ClaretPath.Com–ChatGPT yang Meresahkan…
Pengantar
Belum lama ini, Mark Zuckerberg, CEO dan Pendiri Facebook, meluncurkan sebuah program akbar yang kemudian kita sebut sebagai“metaverse”, sebuah “kenyataan” dunia virtual. Dalam channel resmi Facebook yang ditayangkan Youtube, video berdurasi lebih dari satu jam tersebut memaparkan tentang keyakinan seorang Mark Zuckerberg bahwa akan ada suatu masa di mana manusia akan menjalani dua kehidupan sekaligus, yakni dunia nyata, yang mana bisa kita benar-benar merasakan dengan panca indra seperti saat ini, dan dunia virtual. Mengenai dunia virtual ini, Mark mengungkapkan bahwa dunia yang dimaksud tidak berarti tidak memiliki dampak terhadap dunia nyata. Dunia virtual akan terhubung langsung dengan dunia nyata. Bagaimana bisa?
Dalam dunia virtual, atau untuk ini kita sebut metaverse, kita akan melaksanakan kegiatan sebagaimana dalam kehidupan nyata. Namun, kehadiran kita dalam metaverse akan tampak lewat kehadiran avatar kita sendiri yang merepresentasikan diri. Makan, minum, berdoa, olahraga, tidur, bekerja, dan sebagainya, akan terjadi atau terlaksana di dalam dunia metaverse. Bahkan, pekerjaan kita dalam metaverse akan menghasilkan uang dalam kehidupan nyata! Misalnya kita memiliki lahan bisnis dalam dunia metaverse, sebut saja seorang desainer pakaian, kita akan benar-benar menghasilkan uang yang nantinya akan juga kita terima dalam dunia nyata. Semua kegiatan ekonomi dalam metaverse akan menggunakan alat tukar yang kita sudah kenal yakni krypto atau bitcoin.
Sampai saat ini, kita belum benar-benar merasakan dampak dari metaverse. Rasa-rasanya masih jauh. Namun, ada satu antisipasi masa depan yang kehadirannya sudah dekat pada masa sekarang. Dia adalah ChatGPT…
Superior Algoritma
Dalam buku seri kedua yang berjudul “Homo Deus”, Yuval Noah Harari, seorang sejarawan, menggambarkan tiga kemungkinan kondisi manusia di masa depan yakni; 1) Manusia Super, 2) Cyborg dan 3) Robot.
Pertama, Manusia super. Saya menulis “manusia super” (Yuval menulis “rekayasa biologis”) sebab perubahan DNA pada manusia telah mengakibatkan perubahan besar dalam sejarah keberadaan manusia pada zaman dahulu. Kemunculan Sapiens membuktikan bahwa ada sesuatu pada DNA manusia yang membawa dampak besar bagi tempat atau planet di mana manusia berada. Jika manusia sebelumnya, Neanderthal dan Siberian, hanya berfokus pada kehidupan seputar memburu-mengumpul, manusia Sapiens mampu menciptakan hal-hal yang dulu bahkan tidak berani diimpikan. Pesawat luar angkasa, komputer, sistem politik, perbankan, lembaga adalah pencapaian-pencapaian yang rasanya tak ada bandingannya sampai saat ini. Lewat imagenary collective, fiksi bersama, manusia sapiens telah bergerak lurus seirama waktu dalam kecepatan tinggi hingga tak ada yang mampu menghentikannya.
Dengan “menulis ulang” DNA, bayangkan apa yang dapat dilakukan oleh manusia yang berada “setingkat” di atas Sapiens. Jika Sapiens mampu menciptakan pesawat luar angkasa, bayangkan apa yang dilakukan oleh manusia super, hasil rekayasa biologis DNA manusia. Bisa saja saat ini, selagi kita sedang belajar atau membaca tulisan ini atau berolahraga, tenggelam dalam aktivitas sehari-hari, di sebuah laboratorium entah di mana, para ilmuwan sedang merekayasa ulang DNA manusia, menggabungkan DNA manusia Sapiens saat ini dan kemampuan fisik manusia Neanderthal dalam berburu-mengumpul. What a man!!! Dalam hal ini, mungkin satu di antara sekian banyak probabilitas mengenai “manusia super”, hasil menulis ulang DNA manusia, ialah Captain America. Tokoh fiksi Marvel dan sekaligus pemimpin tim Avengers ini merupakan produk laboratorium di mana seorang manusia biasa (dan lemah) setelah disuntik dengan serum super soldier, berubah drastis bukan hanya dari segi fisik tapi juga intelektual (pemahaman akan taktik perang di lapangan).
Kedua, Cyborg. Gambaran seorang cyborg yang paling “utuh” adalah apa yang bisa kita saksikan dalam film “justice league” karya Zack Snyder. Tokoh cyborg di situ berwujud setengah manusia setengah robot. Dia hidup berkat kecanggihan teknologi di tubuhnya, terintegrasi ke tubuhnya. Gambaran kedua dari masa depan ini bukan merupakan seuatu yang masih jauh di sana, seolah menjadi utopia belaka.
Saat ini pun, apa yang masih dianggap utopis ini sudah dekat dengan keseharian kita. Dalam dunia medis, ketika seseorang mampu untuk melanjutkan hidup dengan mengandalkan teknologi pada tubuhnya, di situ sebenarnya kita “sudah menjadi cyborg”. Ring yang dipasang pada jantung, alat bantu pendengaran, adalah contoh di mana cikal-bakal manusia cyborg sudah kelihatan. Bahkan, di luar dunia medis pun, tubuh kita sering “terintegrasi” dengan teknologi. Manusia modern di kota-kota besar, bepergian ke mana-mana menggunakan headset di telinga. Bukankah tubuh kita sudah melekat pada teknologi?
Ketiga, robot atau non-organik. Jujur, ini yang amat meresahkan. Jika Yuval menggambarkan kemungkinan ketiga masa depan bumi ialah robot atau benda non-organik, itu sama saja dengan mengatakan tentang kepunahan manusia. Ya… kita punah. Artinya, dalam perjalanan waktu ke masa depan, kita akan mengalami kekalahan melawan para robot. Kita yang menciptakan robot dan robot-robot tersebut balik mendominasi penciptanya (bukankah ini pola yang tak asing?).
Ketergantungan manusia yang begitu besar terhadap teknologi di zaman sekarang telah melahirkan inovasi dalam dunia teknologi yang disebut artificial intelligence (AI). Para robot cerdas berbasis kecerdasan buatan menunjukkan bahwa kecerdasan mereka tak sama lagi dengan 15-20 tahun yang lalu. Google memiliki Lamda (Language Model For Dialogue Applications), sebuah algoritma yang bisa diajak berdialog oleh manusia mengenai banyak topik di dunia. Ingat, ini berarti para engineer, tidak lagi hanya menciptakan sebuah algoritma yang memprogram data dan menggantikan manusia dalam pekerjaan-pekerjaan repetitif dan beresiko besar, tapi juga sebuah mesin algoritma yang bisa diajak bicara laiknya kita berbicara dengan seorang sahabat dan rekan kita. Seorang engineer Google, Black Lemoine, mengklaim bahwa Lamda sudah mampu untuk berpikir dan memiliki perasaan seperti manusia. Ketika sebuah robot sudah memiliki kemampuan berpikir dan berperasaan, lalu apa yang membuat dia berbeda dari manusia? Tak ada lagi batas hitam di atas putih mengenai manusia dan robot. Ini tentu masih bisa diperdebatkan.
Kemungkinan poin ketiga yang dipaparkan Yuval Noah Harari ini membuat kita was-was atau juga cemas. Namun, sampai saat ini, beruntungnya segala bentuk teknologi masih bisa dikontrol oleh kecerdasan dan kemampuan manusia. Namun, bagaimana untuk masa depan? Kita bersama akan menjadi saksi sejarah apakah analisa dan asumsi Yuval tersebut benar atau salah.
ChatGPT
ChatGPT memperkenalkan diri ke panggung dunia algoritma pada Desember 2015. Dibuat oleh Perusahaan “Open AI”, milik Elon Musk dan Sam Altman, pelan tapi pasti ChatGPT mulai mendisrupsi dunia pengalogaritmaan. Hanya dalam waktu 1 minggu sejak diluncurkan, sudah ada satu juta pengguna yang tersebar di seluruh dunia. Mengapa ChatGPT begitu menggemparkan saat ini?
ChatGPT dibuat oleh perusahaan Open AI dengan tujuan membantu manusia agar dapat mengatasi masalah-masalah dalam kehidupan. Satu hal yang begitu membedakan ChatGPT dari mesin algoritma lainnya adalah ChatGPT mampu untuk melakukan dialog atau diskusi dengan manusia, berinteraksi laiknya kita dengan sahabat di sekitar kita. Ini merupakan keunggulan masif ChatGPT atas mesin algoritma lainnya seperti Google (di luar Lamda, sebab Lamda belum dipublikasi luas).
Selama ini, berhadapan dengan masalah-masalah atau pertanyaan-pertanyaan manusia yang beragam, Google selalu memberikan jawaban berupa teks atau video (referensi ke youtube). Google tak pernah menghadirkan sebuah mesin algoritma yang mampu bercengkrama dengan manusia. Jawaban-jawaban yang diberikan mengharuskan pengguna untuk menggali lebih jauh lagi, membaca lebih jauh lagi yang tentunya akan memakan waktu yang cukup banyak. Singkat kata, Google seolah memberikan lembaran-lembaran jawaban dalam buku-buku yang mesti dibaca.
Namun, lewat ChatGPT, semua kesulitan tersebut dipangkas. Dalam pengalaman saya sendiri ketika menggunakan ChatGPT, kita benar-benar merasakan asyiknya mengobrol dengan sebuah mesin algoritma. Sensasinya seperti mengobrol dengan seseorang di seberang sana yang cerdas. Jawaban ChatGPT benar-benar tangkas dan to the point. Namun, karena ChatGPT baru diresmikan ke publik tahun 2021 kemarin, maka ChatGPT tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar kejadian yang terjadi sesudahnya. Misalnya, pertanyaan “siapa yang menjadi juara piala dunia 2022?”, tidak bisa dijawab oleh ChatGPT.
Akan tetapi, itu tidak mengurangi superior dan dominasi ChatGPT atas mesin algoritma lainnya. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh ChatGPT antara lain menjawab pertanyaan apa saja (kecuali seperti yang disebutkan sebelumnya), membuat pemrograman dasar, melakukan analisis keuangan, menulis puisi dan membuat lagu. Ya… kita tidak salah menyebut. ChatGPT dapat membuat lagu dan puisi yang mana kita semua tahu itu membutuhkan emosi dan perasaan. Pada titik ini, bukankah manusia seharusnya merasa sedikit cemas? Jika robot atau mesin algoritma sudah mampu mengaduk-aduk perasaan dan emosi manusia, lalu apa yang membuat mereka berbeda dari kita?
Saking canggihnya, ChatGPT dapat mengekstrak sebuah data yang tidak terstruktur dan mengubahnya ke dalam format yang terstruktur. Ini mengingatkan kita pada proses mengurai sebuah kode atau sandi di mana manusia membutuhkan waktu berjam-jam bahkan bertahun-tahun, sedangkan ChatGPT dapat melakukannya dalam hitungan menit, ringkas beserta kemungkinan-kemungkinan format terstruktur lainnya. Sampai di sini, sungguh, apa yang kita bisa bayangkan mengenai masa depan dengan melihat kemampuan ChatGPT yang mungkin masih di tahap-tahap awal ini? Apakah pada akhirnya ChatGPT akan menggantikan pekerjaan manusia seutuhnya?
Jika kita bertanya pada ChatGPT mengenai pertanyaan yang terakhir ini, ChatGPT dengan “rendah hati” mengatakan bahwa ia “merasa” masih sangat tergantung pada keunggulan dan kecerdasan manusia, bahwa ia tidak bisa menggantikan manusia. Tapi, di masa depan, ketika ChatGPT terus-menerus disempurnakan oleh para penciptanya, sangat amat mungkin ChatGPT akan mendominasi dunia. ChatGPT memiliki ukuran penyimpanan yang besar yang memampukan dia untuk menyerap setiap informasi yang ada di dunia. Bahkan ketika kita sedang berinteraksi dengannya, ia juga menganalisis dan menyerap informasi dengan seseorang yang sedang berbicara dengannya. Dengan kata lain, ChatGPT akan selalu meng-upgrade dirinya secara otomatis dan itu berarti kemampuannya dari waktu ke waktu makin menakutkan. Apakah manusia mampu untuk meng-upgrade dirinya setiap hari hingga mampu menyamai kecanggihan ChatGPT? Rasa-rasanya seorang Albert Einstein pun tidak akan mampu seperti itu.
Ada satu peristiwa menarik yang berkaitan dengan ChatGPT semenjak diluncurkan ke publik belum lama ini. Beberapa Kampus di dunia melarang mahasiswanya untuk membuat karya tulis atau makalah. Ujian yang dilaksanakan tidak akan lagi melalui bentuk karya tulis atau makalah melainkan ujian lisan atau makalah tulisan tangan. Mengapa? Ini semua gara-gara ChatGPT. Kecanggihan ChatGPT yang sedemikian superior membuat mahasiswa memanfaatkannya untuk mengerjakan tugas-tugas kampus seperti karya tulis atau makalah tadi. Dengan cerdik, para mahasiswa tinggal meminta kepada ChatGPT untuk membahas suatu topik dan mengembangkannya menjadi sebuah karya ilmiah (luar biasa bukan).
Para dosen yang mengamati “tanda-tanda aneh” dari para mahasiswa, pada akhirnya menemukan bahwa karya tulis para mahasiswa bukan milik mereka. Ini cukup lama sampai para dosen mengetahuinya, sebab karya tulis yang dihasilkan oleh ChatGPT benar-benar seperti dibuat oleh manusia. Bahasa, diksi, dan lain sebagainya, yang menjadi ciri-ciri umum sebuah karya ilmiah juga dapat ditemukan dalam karya ilmiah yang dibuat oleh mesin algoritma ChatGPT. Kampus ternama seperti Harvard University, George Washington University, Yale University dan University Rhode of Island, sudah merasakan kehebatan ChatGPT yang dimanfaatkan oleh para mahasiswanya. Bak kebakaran jenggot, selain meminta para mahasiswanya untuk mengerjakan tugas dengan cara tradisional, para Dosen mengajukan “GPT Zero” yang merupakan sebuah program algoritma yang bisa mendeteksi dengan cepat teks yang dihasilkan oleh sebuah artificial inteligence. Dengan ini, terjadilah “the battle of algoritms”, sebuah pertempuran antara algoritma melawan algoritma.
Penutup
“ChatGPT memang meresahkan….” Mungkin inilah ungkapan yang paling tepat mengenai fenomena ChatGPT saat ini. Keresahan yang dialami bisa dibandingkan dengan keresahan seorang wanita karena menyukai seorang pria idolanya. Kehadiran pria tersebut membuat si wanita tak tenang, khawatir, kalau-kalau pria pujaannya menyukai orang lain atau tidak menyukai si wanita yang memujanya atau tak bisa ditaklukannya. Tapi juga sekaligus membuat si wanita tak kuasa berpaling daripadanya. Keresahan yang ditimbulkan oleh ChatGPT juga membuat kita takut dan khawatir kalau-kalau ChatGPT bertindak sendiri tanpa bisa dikontrol oleh kita atau ditaklukan oleh kita. Tapi juga sekaligus kita tak bisa meninggalkan ChatGPT sendiri karena memang semakin hari dunia akan menuntun kita untuk membutuhkannya. ChatGPT mungkin ada baiknya dilihat sebagai “rekan” yang mampu memaksimalkan potensi manusia untuk diwujudnyatakan. Kita belajar menjadi lebih cepat, memecahkan persoalan menjadi lebih cepat. Kehadiran teknologi memang selalu membawa dampak besar bagi kehidupan manusia. Demikian halnya dengan ChatGPT…
ClaretPath.Com adalah ruang pengembangan bakat menulis dan media kerasulan, terinspirasi dari Santo Antonius Maria Claret, Pelindung Pers Katolik.