Oleh: Frido Afrido, CMF*
Jumat, 23 Juli 2021, Pekan Biasa Ke- XVI
Matius: 13: 18-23
Sahabat Pena Claret yang budiman.
Pernah nggak dikatain sama temanmu, kalau kamu itu Katolik “KTP”? Atau imanmu “Napas” (Natal-Paskah)? Jika pernah, bermenunglah sejenak, jika tidak, bersyukurlah! Injil hari ini menyiratkan celotehan remeh-temeh tersebut dalam bahasa yang lebih menikam. Penginjil Matius dalam warta sabdanya menampilkan perumpamaan Yesus tentang penabur dan jenis-jenis tanah tempat benih itu jatuh. Ada tanah di pinggir jalan, ada tanah yang berbatu-batu, ada tanah yang penuh dengan semak berduri dan ada tanah yang baik.
Benih-benih itu jatuh di tanah yang berbeda-beda, menggambarkan empat respons manusia terhadap Firman Allah. Pertama, orang mendengar Firman Allah tetapi tidak mengerti. Kedua, orang yang segera menerima Firman, tetapi tidak kuat bertahan karena tidak berakar. Ketiga, orang yang tak kuat menahan aneka tantangan dalam merespons Firman. Keempat, orang yang mendengar Firman, mengerti, dan berbuah. Respons yang terakhir inilah yang disebut Matius sebagai “tanah yang baik”.
Hal yang membedakan tanah yang baik ini dengan jenis tanah lainnya hanyalah satu kata, yaitu berbuah. Seorang penabur ketika menaburkan benih pasti yang diharapkan adalah hasil dari benih itu. Bila tanpa hasil maka benih yang ditaburkan itu menjadi sia-sia. Hal inilah yang membedakan mana murid yang sejati dan mana yang bukan; mana Katolik sejati dan mana yang KTP, yakni bahwa mereka berbuah banyak dan dengannya layak untuk disebut pengikut Kristus atau orang Katolik sejati.
Iman yang sejati adalah iman yang menghasilkan buah. Menghasilkan buah berarti siap untuk berbagi dengan yang lainnya, karena tidak mungkin buah itu hanya ada untuk diri sendiri. Bagaimana caranya agar benih itu terus bertumbuh dan berbuah? Sederhana saja guys. Tipsnya: Gemburkanlah selalu ladang hati kita dengan kehidupan doa yang baik, siramilah selalu dengan Sabda Tuhan, dan singkirkanlah penghalang-penghalang yang memperlambat pertumbuhan benih itu.
Lahan subur bagi benih Firman itu ialah hati yang terbuka untuk mendengarkan, merenungkan, dan mengambil hikmah dan setiap Firman Tuhan. Firman itu bergema dan menjadi pelita bagi langkah kita kalau kita mau dengan sadar dan bebas menghidupinya. Dari pihak Allah selalu mengetuk pintu hati kita: Apakah kita mau membuka hati agar Firman itu bersemai dalam hidup kita? Jangan sampai, kedegilan hati kita menghambat pertumbuhan benih Firman itu. Mari kita membuka hati lebar-lebar; membiarkan hidup kita dituntun oleh Firman Allah Yang Hidup. Firman itu akan menuntun kita ke padang rumput yang hijau-membentang dan ke sumber-sumber air yang tenang. Festina Lente!
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat Keilahian Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Sekarang sedang menyelesaikan tulisan akhir. Pengagum Axel Honeth.
ClaretPath.Com adalah ruang pengembangan bakat menulis dan media kerasulan, terinspirasi dari Santo Antonius Maria Claret, Pelindung Pers Katolik.