Penaclaret.com – Insiden kematian pria berkebangsaan Afrika-Amerika, George Floyd (46 tahun) ramai diperbincangkan masyarakat dunia pada Juni 2020 lalu. Kematiannya membuahkan kerusuhan besar di beberapa kota di Amerika Serikat (AS), khususnya di Kota Minneapolis yang menyerukan Justice for George. Pembunuhan Floyd yang terekam dalam sebuah video menyebabkan kemarahan dan memicu demonstrasi di berbagai kota di seluruh wilayah Amerika Serikat. Dikutip dari Tempo.co, Floyd meninggal di rumah sakit setelah dirinya tidak sadarkan diri setelah insiden Derek Chauvin, seorang petugas Kepolisian AS menginjak bagian leher belakangnya menggunakan lutut.
Mantan Presiden AS, George W. Bush, pada saat itu angkat bicara mengenai kematian pria kulit hitam itu. Ia meminta AS mencermati ‘kegagalan tragisnya’ terkait dengan ketidakadilan rasial di negara itu. Bush mengungkapkan kesedihannya atas apa yang dialami Floyd. Banyak orang Afrika-Amerika, kata dia, dilecehkan dan diancam di negara mereka sendiri. “Tragedi ini, dalam serangkaian panjang atas tragedi yang serupa, menimbulkan pertanyaan yang sudah lama tertunda, ‘Bagaimana kita mengakhiri rasialisme sistemik dalam masyarakat kita?’” kata Bush, seperti dikutip dari Channel News Asia, Rabu (3/6).
Baca juga:
Politisasi Tembok dan Defisit Relasionalitas
Cuplikan peristiwa tragis di atas merupakan salah satu dari sekian banyak tragedi kemanusiaan yang terjadi di berbagai belahan dunia saat ini. Kematian George hanyalah salah satu dari begitu banyak insiden brutal kemanusiaan yang terjadi. Kasus ini membuka mata kita bahwa praktik kezaliman hingga saat ini masih menjadi persoalan fundamental yang menyobek kemanusiaan kita. Tak salah jika kita menilai bahwa sesungguhnya dalam lintasan sejarah kemanusiaan, praktik ketidakadilan itu terus melanda, menembus tembok-tembok peradaban.
Kezaliman seakan menjadi kebal terhadap perubahan zaman. Dia bertengger dalam setiap pusaran masa. Masa berganti masa, kezaliman sebagai suatu praktik kedurjanaan yang mencekik humanitas masih tetap saja mewarnai sejarah dengan tinta merah darah para korban. Zaman seolah haus akan darah segar kemanusiaan. Tragedi-tragedi berdarah terus menghiasi gemerlapnya kemajuan. Kemajuan zaman dengan segala kemegahannya berjalan bersamaan dengan mundurnya rasa kemanusiaan.
Peperangan antarnegara, gencatan senjata, kasus pembantaian masal, peristiwa pengeboman, pembunuhan, kasus diskriminasi, dominasi mayoritas-minoritas, perang antarsuku, ras, agama, etnis, kasus pemerkosaan, dan berbagai insiden brutal lainnya memenuhi catatan sejarah peradaban. Dibalut pita merah, lambang para korban dan pita hitam simbol kebengisan para penguasa.
Baca juga:
Covid-19 dan Guncangan Pendidikan Indonesia
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat Keilahian Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Sekarang sedang menyelesaikan tulisan akhir. Pengagum Axel Honeth