Claretpath- Teologi, Teknologi
Lebih dari separuh abad pasca kreta api masuk dalam sejarah, Thomas Hardy menulis novel dengan judul Jude the Obscure. Sue Bridehead – tokoh dalam novel tersebut menolak tawaran Jude untuk duduk bersama dia di Katedral: “Katedral? Ya. Meskipun saya lebih suka ke stasiun. Itu adalah pusat kehidupan kota sekarang.”
Apa yang dapat ditarik keluar dari dialog Sue Bridehead dan Jude dalam Jude the Obscure adalah suatu cara pandang baru yang merupakan anak kandung kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi membawa suatu peralihan cara pandang: dari memeluk Katedral sebagai ruang suci, kepada rasa cinta pada stasiun kreta api sebagai pusat koneksi – antar kota, antar manusia.
Meminjam istilah Harold Perkin, seorang sejarawan Inggris – perubahan seperti disebut di atas merupakan akibat laten, atau biar lebih keren kita sebut saja “kontribusi tersembunyi” dari kemajuan teknologi. Perkin membuat perbandingan dengan kemajuan transportasi: para pembangun kreta api –“kata Perkin”– tidak hanya membuat alat transportasi tetapi juga berkontribusi terhadap kelahiran suatu masyarakat baru, dengan cara pandang baru.
Sebagai seorang pakar, kata-kata Perkin tersebut pasti lahir dari suatu analisa yang ketat terhadap realita sejarah. Dan, perlu dicatat bahwa konklusi Perkin di sini, bukan rupa antipati terhadap teknologi tetapi suatu pengakuan yang berani, bahwa: selain berkontribusi bagi peradaban, teknologi juga menjadi preseden bagi kelahiran suatu masyarakat baru, dengan cara pandang baru, bahkan kebiasaan baru.
Kini, dialog Sue Bridehead dan Jude dalam Jude the Obscure, pun analisa Perkin tersebut menemukan semacam “mode baru” di era internet, era inter–koneksi. Internet – seperti disebut oleh John Brockman dan kawan-kawan dalam karya bersama mereka: telah mengubah pola pikir dan cara pandang masyarakat manusia, “internet changging our way of thingking”.
Hari ini Internet, teknologi digital bukan lagi sekadar piranti komunikasi tetapi suatu pusat koneksi, yang pada giliranya mengubah pola pikir manusia. Sebagai misal: di era internet, logika kehadiran tidak harus dipahami dalam arti korporal (secara fisik) tetapi bisa juga dalam rana virtual, di balik layar digital.
Dalam nada yang sama dengan analisa Perkin tadi, dan dari realitas aktual seperti disebut di atas, maka hampir tidak bisa dinafikan lagi bahwa: hari ini internet tak hanya eksis sebagai piranti komunikasi tetapi juga punya “kontribusi tersembunyi” yang menjadi rahim bagi kelahiran masyarakat baru, dengan cara pandang yang serba baru.
Penggiat literasi